Kemerdekaan
sebagai Kebermampuan Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia |
MEDIA INDONESIA,
17 Agustus 2021
MERDEKA, bung!
Dua kata pekikan ritus jalanan ini bukan sekadar slogan kosong, melainkan
juga jiwa dari perjuangan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Dari bahasa
Kawi/Sanskerta maharddhika, kata merdeka secara etimologis berarti rahib/biku
atau sakral, bijak atau terpelajar. Dalam bahasa
Jawa kuno (Kawi), kata ini sering dinisbahkan kepada para pandita atau biku
Buddha. Mengingat status para biku yang begitu tinggi dalam sistem
stratifikasi sosial umat Buddha, kata merdeka mengandung arti ‘seseorang/sesuatu
yang memiliki kedudukan yang terhormat dan mulia’. Ditinjau dari
sudut ini, pekik kemerdekaan merefleksikan cita-cita emansipatoris untuk
membebaskan diri dari pelbagai bentuk ketidakadilan, dalam distribusi
pemilikan, kesempatan, dan kehormatan. Orangorang dari segala kelas dan
kelompok sosial berbagi impian untuk diperlakukan setara sebagai warga
terhormat. Di zaman
revolusi kemerdekaan, cita-cita kesetaraan kehormatan itu diberi aksentuasi,
dengan kejamakan pemakaian imbuhan ‘bung’. Kata ini bisa berarti saudara,
menyerupai kemunculan istilah citoyendari Revolusi Prancis atau comrade dari
Revolusi Rusia. Dalam arti
yang lebih luas, sapaan ‘bung’ menyiratkan cita-cita persaudaraan dalam
kesederajatan kewargaan (citizenship). Segregasi dan diskriminasi kolonial
berdasar pengelompokan etnik dan agama, harus diakhiri dengan memuliakan hak
individu warga negara, untuk memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum. Cita-cita
kesetaraan itu berkelindan dengan impian persemakmuran bersama. Masyarakat adil
dan makmur ialah impian kebahagiaan yang telah berkobar ratusan tahun
lamanya, dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagiaan itu
terpahat dalam ungkapan Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Untuk bisa
meningkatkan kesejahteraan umum, telah lama pula dikobarkan seruan untuk
mencapai kemajuan di berbagai bidang, dimulai dengan kemajuan di bidang
pendidikan dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demi
perwujudan kesetaraan, keterdidikan, dan kesejahteraan, yang diperlukan tidak
hanya redistribusi pemilikan (harta), tetapi juga kesetaraan akses terhadap
basis-basis pengembangan kapabilitas (kemampuan), seperti pendidikan,
kesehatan, permodalan, dan ruang-ruang pengembangan potensi diri. Hal itu
juga mengandung arti bahwa kemerdekaan memperoleh kepenuhan, artinya dalam
tingginya derajat kecerdasan serta keberfungsiannya dalam meningkatkan
kualitas hidup. Para pendiri
bangsa menyadari benar arti pentingnya pendidikan bagi perwujudan cita-cita
kesetaraan, kesejahteraan, dan kemajuan bangsa. Atas dasar renungan sejarah
akan pentingnya pendidikan sebagai sarana emansipasi, kesejahteraan, dan
kemartabatan bangsa dalam menyusun Pembukaan UUD 1945, para perancang yang
mewakili kesadaran ini, secara terang menempatkan usaha ‘mencerdaskan
kehidupan bangsa’ sebagai salah satu basis legitimasi negara kesejahteraan
Indonesia, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945. Reorientasi pembangunan Dengan
demikian, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak terbatas pada kebebasan
negatif (bebas dari berbagai bentuk ancaman dan pe nindasan), tetapi juga
kebebasan positif (bebas untuk mengembangkan diri dan kehidupan). Proyek
historisnya tidak hanya untuk melawan dan menjebol, tapi yang lebih penting
ialah merawat dan membangun. Dasar-dasar
pemikiran pembangunan sebagai wahana pembebasan melalui peningkatan
kapabilitas manusia mendapatkan artikulasinya yang solid dari Amartya Sen,
penerima penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi pada 1998, atas karyakaryanya
dalam pemikiran ekonomi kesejahteraan. Tema utama dalam karya-karyanya ialah
menawarkan perspektif tentang bagaimana cara mengevaluasi kesejahteraan
manusia (human well-being), yang memusat di sekitar isu kesetaraan
(equality), kebebasan (freedom), dan hak dasar (rights). Sen
melancarkan kritik terhadap pendekatan kesejahteraan yang terlampau
menekankan aspek-aspek pertumbuhan ekonomi (GDP), komoditas, standar hidup,
dan pemahaman keadilan sebatas fairness. Baginya, ukuran yang harus
dikedepankan ialah pembangunan manusia, dalam arti bagaimana meningkatkan
kualitas hidup. Kalau bicara kualitas hidup, isu utamanya ialah mengembangkan
kapabilitas (capability). Sen
mendefinisikan kapabilitas sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan
tindakan bernilai (valuable acts) atau meraih kondisi keadaan yang bernilai
(valuable states of being). Hal itu merepresentasikan kombinasi dari beberapa
hal alternatif yang membuat seseorang bisa melakukan atau bisa menjadi
sesuatu. Alhasil, kapabilitas ialah kesempatan (opportunities) dan kebebasan
(freedom) untuk meraih apa yang dilihat seseorang secara reflektif sebagai
sesuatu yang bernilai. Pemahaman
pembangunan manusia dalam pendekatan kapabilitas itu juga terlihat dalam
konsepsi United Nations Development Programme (UNDP). Dalam Laporan
Pembangunan Manusia (Human Development Report) yang pertama, yang terbit pada
1990, dijelaskan bahwa pembangunan (pengembangan) manusia ialah proses
perluasan pilihan-pilihan manusia (the process of enlarging people’s
choices). Tidak hanya pilihan di antara berbagai sabun detergen, saluran
televisi, atau model mobil, tapi juga pilihanpilihan yang bisa direngkuh,
berkat pengembangan kapabilitas, dan keberfungsian manusia--apa yang orang
kerjakan dan dapat kerjakan dalam kehidupannya. Di semua
tingkatan pembangunan, sejumlah kapabilitas sangat esensial bagi pembangunan
manusia, yang tanpa hal itu berbagai pilihan dalam hidup tak bisa direngkuh.
Kapabilitas-kapabilitas tersebut, terutama menyangkut kemampuan mengembangkan
kehidupan yang sehat dan panjang, berpengetahuan luas, dan memiliki akses
terhadap sumber daya yang diperlukan bagi standar hidup yang layak. Selain itu,
juga banyak pilihan yang harus dinilai manusia sendiri. Termasuk kebebasan
politik, sosial, ekonomi, dan budaya, rasa terhubung dengan komunitas, dengan
ketersediaan kesempatan untuk menjadi kreatif dan produktif, dan penghargaan
diri atas hak-hak asasi manusia. Dalam proses pengejaran pilihanpilihan
tersebut, dilalui dengan cara yang setara, partisipatif, produktif, dan
berkelanjutan. Urgensi pembangunan kapabilitas Pandemi
covid-19, menyadarkan kita betapa pentingnya paradigma pembangunan yang lebih
mengedepankan ukuran-ukuran kualitas hidup dan kapabilitas manusia ketimbang
ukuran-ukuran kuantitatif. Implikasi korona yang memutus (membatasi), lalu
lintas perhubungan dan perdagangan antarbangsa, memberi kita kesadaran bahwa
untuk negara yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang banyak, terlalu
riskan menggantungkan kebutuhan dasar hanya dengan impor. Saat
negara-negara lain lebih fokus mengurusi rumah tangganya, banyak kebutuhan
mendesak untuk kelangsungan hidup bangsa, seperti bahan pangan, vaksin,
obat-obatan, alat-alat kesehatan, tak mudah kita penuhi. Paradigma
ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus segera
diakhiri. Tanpa usaha menanam atau memproduksi sendiri dengan penguasaan
teknologi sendiri, kita kehilangan wahana experiencial learning dan
kapabilitas belajar dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan cara
demikian, kita juga akan terus mengalami defisit neraca pedagangan seraya
berkesulitan mengembangkan kemakmuran yang luas dan inklusif. Disrupsi korona
juga memberi kita terang pikir untuk mengakhiri tendensi pembangunan ekonomi
secara ekstraktif, yang dapat memboroskan sumber daya dan merusak lingkungan,
dengan nilai tambah pertumbuhan dan kemakmuran yang rendah, dan tak
berkesinambungan. Dengan prinsip
seperti itu, kita tak akan bisa memasuki ekonomi-pengetahuan, dengan
kemampuan memberi nilai tambah ilmu-pengetahuan dan teknologi bagi sumber
daya yang kita miliki. Kalau kita
memiliki bahan dan bisa mengolahnya, mengapa harus memperlemah diri dengan
lebih mengutamakan pembelian produk asing. Menyia-nyiakan anugerah Tuhan,
tanpa usaha kreatif-inovatif berarti kita juga tak pandai bersyukur, cukup
puas dengan meletakkan tangan di bawah tanpa kemuliaan tangan di atas yang
bisa memberi sumbangsih pada dunia. Pendidikan untuk kemajuan Dalam
memperjuangkan kemajuan sebagai perwujudan kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara
menyatakan, bahwa “Pendidikan berarti memelihara hidup-tumbuh ke arah
kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin.
Pendidikan ialah usaha kebudayaan, berasas keadaban, yakni memajukan hidup
agar mempertinggi derajat kemanusiaan.” Dalam gerak berkelanjutan ke arah
kemajuan, kita harus mempertahankan warisan, baik dari masa lalu seraya
mengambil unsurunsur baru yang bisa meningkatkan mutu yang sudah ada. Dalam kaitan
itu, Amartya Sen mengemukakan bahwa semua kasus pemanfaatan secara cepat dari
kesempatan yang terbuka oleh perdagangan global untuk mengurangi kemiskinan
dan mengejar kemajuan menemukan topangannya dari basis yang luas dalam
pencapaian pendidikan dasar. Sebagai contoh, bisa dilihat dari kepesatan
kemajuan Jepang. UndangUndang Fundamental tentang Pendidikan Tahun 1872
(hanya beberapa tahun setelah restorasi Meiji dimulai pada 1868),
mengeskpresikan komitmen publik untuk memastikan bahwa tidak ada komunitas
dengan keluarga yang tidak melek huruf dan tidak ada keluarga dengan anggota
keluarga yang tidak melek huruf. Dengan
menciutkan kesenjangan dalam pendidikan, sejarah perkembangan ekonomi Jepang
yang menakjubkan itu pun dimulai. Pada 1910, bangsa Jepang sudah hampir
semuanya melek huruf dan pada 1913, meskipun masih jauh lebih miskin dari
Britania dan Amerika, Jepang telah menerbitkan lebih banyak buku daripada
Britania, dan lebih dari dua kali lipat dari Amerika. Konsentrasi pada pendidikan
menentukan dengan begitu besar terhadap watak dan kecepatan kemajuan sosial
dan ekonomi bangsa Jepang. Trayek
tersebut, khususnya pada paruh kedua abad ke-20, diikuti Korea Selatan,
Tiongkok, Taiwan, Hong Kong, Singapura, yang
memberikan perhatian besar pada ekspansi pendidikan, dengan capaian
kemajuan yang juga mengagumkan. Bagaimanapun usaha partisipasi luas dalam
perekonomian global akan sulit diwujudkan, manakala banyak orang tidak mampu
membaca dan menulis secara fungsional, atau tidak mampu memproduksi sesuai
dengan spesifikasi dan instruksi, atau untuk melakukan kontrol mutu. Dalam
mengantisipasi kecepatan perubahan teknologi, strategi kemajuan yang tepat
ialah mengembangkan pendidikan berbasis kapabilitas, yang menuntut penyiapan
peserta didik sebagai manusia pembelajar seumur hidup. Manusia yang selalu
update dengan perkembangan baru, dengan kesediaan terus belajar memperbarui
dirinya untuk bisa menjawab segala macam tantangan. Manusia
pembelajar harus dibekali dengan kapabilitas dasar dengan dua macam
kemampuan. Di satu sisi harus memiliki kelenturan untuk menyesuaikan diri
dengan angin perubahan. Di sisi lain, harus memiliki akar yang kuat agar
tidak mudah roboh diterjang angin. Yang pertama memerlukan daya
kreatif-inovatif. Yang kedua memerlukan daya karakter. Dalam
perubahan budaya teknologis yang sangat pesat, seiring dengan perkembangan
ekonomi berbasis informasi, ide-ide kreatiflah yang menjadi sumber daya
terpenting. Mendidik anak, tentang bagaimana menumbuhkan kreativitas dan keingintahuan,
seraya terus menyediakan fondasi yang sehat bagi pengembangan budi pekerti,
pemikiran kritis, literasi, dan matematika, ialah cara terbaik untuk
mempersiapkan anakanak menghadapi dunia dengan perubahan teknologi yang
begitu pesat. Pendidikan berorientasi
kreatifinovatif harus menghilangkan diskriminasi manusia berdasar jenis
inteligensia tertentu--yang membuat orang dengan inteligensia lain dianggap
sampah masyarakat. Demokrasi pendidikan harus memberi ruang aktualisasi bagi
keragaman kecerdasan. Usaha
menumbuhkan kapabilitas kreatif peserta didik itu hanya bisa menghasilkan
karya dan luaran yang konstruktif dan produktif bila dibarengi kekuatan
karakter yang memberi landasan nilai integritas dan etos kerja. Pendidikan
karakter diperlukan untuk menempa siswa menjadi pribadi baik (karakter
pribadi) sekaligus warga negara baik (karakter kolektif). Antara karakter
pribadi dan karakter kolektif bisa dibedakan, tapi tidak bisa dipisahkan. Urgensi
pendidikan untuk menanamkan kapabilitas nilai karakter itu justru kian
penting dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi baru yang bersifat
hadir di mana-mana (omnipresent). Pada masa ketika disrupsi teknologis jadi
normalitas, segala sesuatu yang tak bisa didigitalisasi, seperti etika,
spiritualitas, emosi, intuisi, dan imajinasi, justru menjadi kian penting.
Mesin memang bagus dalam simulasi, tapi tidak dalam proses ‘menjadi’.
Teknologi merepresentasikan ‘bagaimana’ berubah, tapi tidak soal ‘mengapa’. Pendidikan
harus memberikan kapabilitas agar manusia dapat melampaui jangkauan teknologi
dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, dan
kebijaksanaan. Peserta didik harus menguasai cara kerja baru dengan kemampuan
untuk mendekap teknologi, bukan membuat diri jadi mesin. Dengan teknologi,
manusia harus tetap memiliki jiwa merdeka, yang dapat menemukan ‘rumah’
kemanusiaan, bukan menjerumuskannya ke tempat pengasingan. Demikianlah,
setiap kali kita peringati Hari Proklamasi Kemerdekaan, kita diingatkan untuk
terus mengembangkan jiwa merdeka dengan meningkatkan kapabilitas dalam
kerangka kesetaraan kehormatan dan kesejahteraan umum. Untuk itu,
kita harus senantiasa berjuang dengan jiwa persatuan dan etos pembangunan
kreatif-inovatif. Seperti diingatkan Bung Karno, “Semangat proklamasi adalah
semangat rela berjuang, berjuang mati-matian dengan penuh idealisme. Semangat
proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan
tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah
semangat membangun negara. Dan manakala sekarang ada tanda-tanda kelunturan
dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenarasi itu,
hidupkanlah kembali semangat proklamasi!”
● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/kolom-pakar/425695/kemerdekaan-sebagai-kebermampuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar