Kali
ini Hilirisasi Abdul Kohar ; Dewan Redaksi Media Group |
MEDIA INDONESIA,
28 Agustus 2021
DULU, saat
generasi seusia saya masih sekolah dasar, kami kerap diingatkan tentang
pentingnya reboisasi. Awalnya, reboisasi bermakna penanaman kembali
hutan-hutan yang gundul. Lambat laun, karena kampanye reboisasi di era '90-an
sebatas meriah di meja-meja kelas, diperdebatkan secara sengit di forum-forum
seminar, dan jadi bahan pidato di mimbar-mimbar pejabat, makna reboisasi pun
terpaksa meluas. Menjadi, 'penanaman kembali hutan-hutan yang digunduli'. Kini,
pemerintah gencar mengampanyekan hilirisasi. Apa itu? Saat saya mengetikkan
kata 'hilirisasi' pada kamus bahasa Indonesia daring, saya dituntun membuka
kata 'penghiliran'. Maka, ketika saya ketikkan kata 'penghiliran', makna yang
muncul ialah, 'proses, cara, perbuatan untuk melakukan pengolahan bahan baku
menjadi barang siap pakai'. Sama dengan
reboisasi, hilirisasi atau penghiliran ialah kata kerja. Karena itu, mestinya
ya dikerjakan. Namun, saya tidak hendak mengajak Anda berdebat soal kata.
Yang pasti, penghiliran atau hilirisasi sudah terjadi di lapangan. Sudah
berjalan, bahkan melampaui kata-kata. Walk the talk, istilah yang kerap
dipakai. Presiden Joko
Widodo (Jokowi) pun sampai bisa menunjukkan contoh nyata. Kata Jokowi,
hilirisasi atau penghiliran bukan sekadar tekad dan kampanye. Hilirisasi
sudah dimulai dengan menghentikan ekspor bahan mentah seperti bijih nikel
mulai 1 Januari 2020. Hasilnya, ekspor bijih nikel berganti menjadi ekspor
utuh besi baja (olahan dari bijih nikel mentah) senilai US$10,5 miliar. Kepala Negara
pun menginginkan hilirisasi diterapkan di komoditas lain, seperti bahan
mentah emas dan tembaga. "Bahan-bahan mentah itu bisa menjadi barang
minimal setengah jadi, syukur-syukur bisa menjadi barang jadi," ujar
Jokowi dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia secara virtual, Kamis, 26 Agustus
2021. Mengapa Jokowi
ngotot agar bangsa ini bergegas melakukan penghiliran sumber daya alamnya?
Padahal, ekspor bahan mentah selama ini menghasilkan devisa yang tidak
main-main. Bijih nikel, misalnya, Indonesia menguasai 27% pasokan bijih nikel
dunia. Itu menjadikan Indonesia sebagai eksportir nikel terbesar kedua untuk
industri baja negara-negara Uni Eropa. Itu sebabnya, banyak industri logam di
Eropa sangat bergantung pada bahan mentah dari Indonesia. Nilai ekspor
bijih nikel Indonesia ke Uni Eropa juga meningkat tajam dalam beberapa tahun
terakhir. Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18%
pada kuartal kedua 2019 jika dibandingkan dengan periode yang sama di 2017.
Sepanjang 2019, nilai ekspor nikel Indonesia mencapai US$1,7 miliar. Kendati
demikian, Indonesia selama puluhan tahun hanya mengekspor nikel mentah.
Uangnya pun langsung masuk dalam jangka pendek. Namun, untuk jangka panjang,
bangsa ini jelas merugi. Tanpa hilirisasi, saat barang mentah itu sudah habis,
kita akan bergeser menjadi konsumen yang harus membeli lagi bijih nikel yang
sudah diolah negara tujuan ekspor itu dengan harga berlipat ganda. Dampaknya,
cadangan devisa yang kita dapat dari hasil penjualan bijih nikel itu bakal
habis untuk membeli lagi produk turunan nikel. Apalagi,
menurut para ahli, nikel merupakan mineral yang sangat berharga di masa depan
karena pesatnya perkembangan kendaraan listrik. Nikel adalah salah satu logam
terbesar dalam pembuatan baterai listrik. Ia bahan lithium-ion, yang bisa
diibaratkan jantungnya revolusi mobil listrik. Kandungan baterai lithium-ion
itu terdiri atas anoda, katoda, dan elektrolit. Nikel merupakan komponen
logam yang dominan dalam komposisi baterai listrik, khususnya katoda. Selama dua
dekade terakhir, produsen telah berupaya meningkatkan kadar nikel dalam
komponen bahan baku utama baterai mobil listrik, mengingat harga nikel
relatif lebih murah. Bahkan, dengan teknologi baterai lithium-ion yang
semakin berkembang seiring pesatnya pertumbuhan kendaraan listrik, kandungan
nikel diprediksi akan semakin besar karena memiliki penyimpanan daya yang
lebih baik. Maka, jangka
panjang, penghiliran bahan mentah kita ialah keniscayaan. Ia aset dan harapan
cerah masa kini dan masa depan. Dengan mengolah bijih nikel menjadi
feronikel, misalnya, harganya dapat meningkat dari US$55 per ton menjadi
US$232 per ton, atau memberikan nilai tambah sekitar 400%. Itu baru nikel.
Masih banyak riset perguruan tinggi atas sumber daya alam kita yang juga amat
menjanjikan untuk segera dihilirkan. Jadi, jangan
pesimistis dengan hilirisasi karena ia dijalankan secara berbeda dengan saat
awal-awal kampanye masif reboisasi. Hilirisasi sudah terjadi. Keputusan
berani penghiliran nikel bukannya tanpa risiko. Gugatan keras Uni Eropa yang
selama ini amat bergantung pada bijih nikel Indonesia ialah risiko yang tidak
main-main atas keputusan berani tersebut. Tapi, mengapa harus takut risiko.
Tidak ada jalan yang mudah dan mulus untuk meraih kejayaan bangsa. Seperti kata
sejarawan HG Wells. “Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa?” Lantas
ia simpulkan sendiri, bahwa, “Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu
bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekadnya.” Bangsa ini
sudah bulat bertekad mengolah hasil buminya sendiri, dan itu tidak akan
ditarik kembali. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2237-kali-ini-hilirisasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar