Jebakan
Rasa Iba Iqbal Aji Daryono ; Penulis, tinggal di Bantul |
DETIKNEWS, 24
Agustus 2021
Sore saat saya
mulai menulis cerita ini, suasana hati saya sedang tidak nyaman. Orang suruhan
yang dipanggil emak saya untuk memangkasi cabang-cabang pohon jati di halaman
belakang rumah saya menjatuhkan sepotong kayu, dan kayu itu menimpa atap
rumah kos-kosan milik tetangga. Pecahlah asbes di teras kosan itu. Tentu saya
segera mengontak empunya kos, dan bilang akan segera membetulkan atap
asbesnya. Sekilas masalah tampak akan lekas beres. Namun, saya memikirkan
sesuatu yang lain, yang lebih memperbesar rasa tidak tenang itu. *** Alkisah, di
halaman belakang saya ada beberapa batang pohon jati. Dua di antaranya agak
mepet dengan batas pekarangan, dan daun keringnya kerap jatuh di halaman kos
sebelah. Sebenarnya, para penghuni kos tidak keberatan dengan itu, karena
pohon itu bikin halaman kos mereka agak teduh. Tapi, emak saya khawatir cabang-cabang
besar itu patah saat kena hujan atau angin, dan mungkin akan fatal akibatnya.
Maka, dia pun tiba-tiba memanggil seseorang untuk memangkasi cabang-cabang
itu. Yang jadi
masalah adalah orang yang dipanggil itu. Namanya Nono, dan dia saudara jauh kami.
Sehari-hari dia bekerja sebagai tukang las, tapi orderannya sedang sepi
karena pandemi. Maka tempo hari dia sudah dimintai tolong untuk mengecat
rumah Emak, dan belakangan Emak agak mengeluh karena hasil garapannya tidak
bagus. Sekarang Nono dipanggil lagi, kali ini untuk melakukan jenis pekerjaan
yang tidak ada hubungannya dengan las ataupun cat tembok. Ketika saya
bertanya kenapa Nono yang dipanggil, Emak menjawab, "Mesakke. Kasihan.
Aku tuh cuma mau menolong." Ya sudah, saya
maklum saja. Di usianya yang mulai merambat senja, kebahagiaan hati emak saya
cuma tiga: beribadah, main sama cucu, dan menolong siapa pun yang bisa dia
tolong. Saya pun menunggu saja Nono membereskan tugasnya. Tugas utama
Nono memang akhirnya selesai, tapi menyisakan asbes pecah itu. Boro-boro
masalah beres semua, ternyata muncul collateral damage yang konsekuensi
pembiayaannya lebih besar dari tugas utama. Dari situ saja saya sudah
langsung mengambil kesimpulan bahwa Nono tidak cukup terampil dalam bidang
panjat-memanjat dan pangkas-memangkas pohon. Dan, seketika
saya terkejut sendiri ketika menyadari satu situasi, yaitu jatuhnya kayu di
atap tetangga itu cuma peringatan kecil bahwa dalam situasi yang sedikit saja
lebih buruk, yang jatuh bukan kayunya, melainkan Nono-nya! Ini membuat saya
tiba-tiba bergidik ngeri. Bagaimana
tidak ngeri? Pohon jati itu lumayan tinggi, ada kalau cuma sepuluh meter.
Nono memanjat sampai pucuk, tanpa alat pengaman apa pun, dan ternyata juga
tanpa keterampilan apa pun. Semata-mata karena dia punya otot, pernah melihat
orang memotong dahan pohon, dan dia menjalankannya atas suruhan emak saya.
Sungguh jatuhnya tubuh Nono dari ketinggian sepuluh meter bukan sebuah risiko
yang "jauh". Begitu pikiran
itu terlintas di kepala, buru-buru saya bicara dengan emak saya. Lain kali,
kata saya, jangan lagi panggil Nono untuk urusan seperti itu. "Lha
mesakke je. Kasihan, dia lagi nggak punya pemasukan," begitu lagi-lagi
jawab emak saya. Namun kemudian saya sampaikan pelan-pelan bahwa kalau Emak melulu
menuruti rasa kasihan, yang akan rugi bukan cuma kami sendiri karena hasil
garapan yang buruk. Sebab bukan mustahil itu sikap yang njlomprongke,
menjerumuskan, dengan risiko yang bisa-bisa sangat mengerikan. Saya jadi
ingat peristiwa bertahun-tahun silam, ketika kakak sepupu saya menjadi
korban. Dia meminta orang suruhan untuk menyedot air di sumur rumahnya. Si
tukang itu bukan orang yang cukup paham perkara sumur. Tapi dengan percaya
diri dia membawa turun mesin kompresor, lalu mulai menyedot air kotor. Tak disangka,
itu tindakan bodoh. Asap solar kompresor itu langsung menyembur di sebelah
operatornya, di dalam ruang sangat sempit di dasar sumur sana, sehingga dalam
hitungan detik tukang itu pasti sadar bahwa semburan asap telah membekap
paru-parunya. Dengan sisa napas dia pun berteriak-teriak minta tolong, sepupu
saya melesat turun untuk menolong, tapi akhirnya riwayat kedua lelaki itu
berakhir di situ gara-gara kebodohan yang terus kami sesali hingga hari ini. Saya tidak
hendak bicara tentang arti profesionalisme, karena toh di negeri ini tidak
selalu ada sistem yang menjaga profesionalisme pada tempatnya. Tidak ada
aturan ketat keselamatan kerja untuk pekerjaan-pekerjaan dalam wilayah
informal, tidak ada standar prosedur dan standar keahlian untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan tertentu, tidak ada juga mekanisme hukum yang menciptakan
efek lanjut untuk membentuk kehati-hatian bersama (kecelakaan kerja dalam
wilayah informal selalu selesai dengan uang duka, bukan?). Maka
setidaknya saya benar-benar menekankan kepada emak saya bahwa rasa iba, welas
asih, compassion, tidak bisa diterapkan semena-mena. Apalagi pada masa
kalabendu seperti tahun-tahun ini, ketika ada banyak sekali orang di sekitar
kita yang layak diberi iba. Alih-alih
bersikap karena iba, saya sendiri lebih memilih menjalankan mekanisme
"pasar bebas" untuk soal-soal begitu. Kepada pengamen, misalnya,
kalau suaranya jelek tapi tetap memaksa bernyanyi, bahkan memberikan sekeping
koin pun saya tak sudi. Tapi kalau ada pengamen yang suaranya enak dan saya
terhibur karenanya, tak segan saya masukkan lembaran rupiah jauh di atas
kewajaran. Demikian juga untuk polisi cepek di simpang-simpang jalan. Ketika
dia memang sangat membantu perjalanan saya, tak pernah saya perlakukan dia
sebagai preman jalanan, sebab kadangkala mereka memang lebih berguna daripada
polisi sekalipun. Lebih baik
memberi lebih kepada orang yang memang keahliannya layak diberi penghargaan,
daripada berbagi semata karena rasa kasihan. Dari situ orang-orang yang
memang mendatangkan banyak manfaat akan semakin mendapat ruang, semakin
berdaya karena peran-peran kebermanfaatan, lalu ruang-ruang profesionalisme
akan membentuk dirinya sendiri, dan hasilnya roda ekonomi akan berputar cepat
sekali. Di sisi lain,
meneteskan oli pada sela-sela roda ekonomi hanya karena rasa iba bisa-bisa
malah membuat orang-orang yang tidak kompeten terus nyaman pada posisinya,
berada di situ terus tanpa menyadari kekeliruannya, dan kita para pengobral
iba sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas kondisi mereka yang tidak
pernah beranjak ke mana-mana. *** Sampai di
situ, tiba-tiba saya kembali terkejut sendiri. Memangnya ada berapa juta
manusia di negeri ini yang beruntung bisa bergerak dalam wilayah keahlian
mereka? Semua yang saya bayangkan tadi rasa-rasanya hanya berlaku dalam
sebuah lanskap situasi yang ideal, yang memberikan banyak pilihan, sehingga
orang-orang bisa memilih apakah mereka mau bergerak dalam ruang kompetensi
mereka ataukah tidak. Celakanya,
dunia yang kita hadapi hari-hari ini adalah dunia yang hanya memberikan
sedikit pilihan. Masih mending kalau ada sedikit pilihan. Yang lebih sering
terjadi adalah bahkan di depan mata tak lagi ada satu pun pilihan. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5695104/jebakan-rasa-iba |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar