Ini
Masalah Kita Erry R Hardjapamekas ; Warga Negara, Mantan Komisioner Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003—2007 |
KOMPAS, 5 Agustus 2021
Hampir
satu setengah tahun pandemi Covid-19 berlangsung. Hari-hari yang berat.
Hari-hari berikutnya mungkin semakin berat. Pakar pandemi meramalkan bulan
Agustus ini menjadi puncak wabah gelombang kedua di Indonesia. Lebih baik
kita percaya ketimbang abai. Covid-19
sungguh membuat kita semua gundah dan susah. Tak peduli kaya, miskin, tua,
dan muda. Semua orang terkena imbas, langsung atau tidak. Ibarat kita sedang
ikut arisan, menunggu kocokan siapa terpapar atau terdampak. Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro dengan sendirinya menghantam
ekonomi kita. Semakin banyak orang terputus sumber nafkahnya. Tetapi, kita
tak punya banyak pilihan. Pengetatan
pada lingkup zonasi terkecil ini bertujuan menekan laju penularan. Zona lain
yang relatif aman mendapat peluang pembatasan yang lebih longgar. Maka, PPKM
Mikro harus didukung, dengan satu titipan catatan. Strategi pengetatan hanya
efektif bila pemerintah berhasil melakukan uji massal untuk mencari mereka
yang tertular, memisahkan mereka, dan merawatnya. Di
antara warga pun mesti tanpa henti saling mengingatkan soal 6M—yang juga tak
mudah. Mungkin mulai ada yang lupa, saya bantu ingatkan, 6M: menggunakan
masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari keramaian, membatasi
mobilitas, dan menghindari makan bersama. Tidak mudah, bahkan untuk M yang
terpenting dan mudah sekali pun: menggunakan masker. Masih ada keraguan untuk
menegakkan aturan wajib pakai masker. Solidaritas sosial Meski
hari-hari rasanya semakin suram, kita tak boleh menyerah. Harapan itu masih
ada. Titik-titik terang, suar yang memancar, ternyata hadir di sekeliling
kita. Banyak warga bergerak tanpa ada yang memerintah atau meminta,
semata-mata karena didorong keinginan menolong sesama. Gerakan
solidaritas ini bergerak seperti ombak, tak ada sekat, dan kian mengeras. Ada
orang per orang, berkelompok, hingga dalam bentuk yang lebih terorganisasi.
Kita yakin negara akan selalu hadir memperlebar jalan mereka agar makin
kencang bergerak, sekaligus membuang ganjalan birokrasi agar keluwesan
gerakan solidaritas ini tetap terjaga. Solidaritas
sosial ini sesungguhnya adalah kritik spontan bahwa negara belum bisa penuh
melayani semua rakyatnya. Apa boleh buat, pemerintah tentu sadar akan
keterbatasannya. Tak perlu sungkan mengakui bahwa yang dikerjakan saat ini
belum maksimal dan terpadu. Kita tidak sendirian, banyak negara mengalami hal
serupa. Sebaiknya,
lebih proaktif mengajak masyarakat untuk membantu, bekerja kolaboratif.
Jangan pula alergi dengan kritik, apalagi membalas kritik dengan cara yang
sama dengan si pengkritik, sayangi energi. Pemimpin
terbaik adalah yang menganggap kritik sebagai pemicu untuk terus berbenah
diri demi keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Singkirkan ego Di
pihak lain —memang— alih-alih memberikan masukan yang berbasis data dan bukti
nyata, masih saja muncul kritik-kritik berbau politik dari orang dan kelompok
yang tidak mampu mengusik empatinya untuk bersolidaritas. Sebaiknya
buang ego itu, simpan dulu kritik politik, tunda pasang kuda-kuda penguasa
versus oposisi. Kadar pengetahuan dan ketidaktahuan kita kira-kira berada
pada derajat yang sama, kecuali para pakar di bidangnya tentu saja. Jangan
demi ego merasa paling jago. Ego, menurut Albert Einstein, berbanding
terbalik dengan pengetahuan. Semakin tinggi ego, semakin terbatas
pengetahuannya. ‘Ego=1/Pengetahuan’. More
the knowledge lesser the ego, lesser the knowledge more the ego. Mari
kita bergerak bersama. Lupakan perbedaan, abaikan pengelompokan dan galang
kebersamaan seraya menebalkan kesamaan. Ini
bukan perkara politik, bukan ajang yang adab untuk berkompetisi, apalagi
dikaitkan dengan 2024. Bukan pula soal kepemimpinan, karena tak seorang pun
di antara kita yang pernah mengalami krisis global semasif ini, walau peran
pemimpin tetap utama. Ini
masalah global, urusan kemanusiaan, yang menimbulkan dampak bagi kesehatan
masyarakat dan ekonomi bangsa. Semoga
saat merayakan Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 2021 kelak, kita bisa pula
mengumumkan kepada dunia bahwa Indonesia mulai mampu mengendalikan pandemi
Covid-19. Sebab —sekali lagi— ini bukan soal aku dan engkau, atau kami dan
mereka. Ini soal kita. Para pemimpin, warga yang dipimpin. Ini masalah kita. Dirgahayu bangsaku! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar