Infrastruktur
Melampaui Dampak Ekonomi Yulius Rudi Haryatno ; Pemenang Lomba Karya Tulis Favorite PUPR
Kategori Umum |
DETIKNEWS, 20
Agustus 2021
Pembangunan
infrastruktur menjadi salah satu prioritas kerja pembangunan dalam dua
periode Pemerintahan Presiden Jokowi. Hal ini dapat dilihat, tidak hanya dari
peningkatan anggaran untuk pembangunan infrastruktur per tahun, tetapi juga
hasil dan sasaran pembangunan yang mencakup hampir setiap daerah di negeri
ini. Wilayah luar Jawa, terkhusus bagian Timur dan daerah perbatasan
(NTT-Timor Leste, Merauke-Papua Nugini, dan Kalimantan Barat-Malaysia) yang
tidak tersentuh secara masif sebelumnya, serentak mendapat prioritas lebih
pada era Pemerintahan Presiden Jokowi. Pergerakan
masif pembangunan infrastruktur ini juga seakan tidak dihalangi oleh hantaman
wabah COVID-19. Dalam catatan Biro Komunikasi Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) yang dirilis pada akhir Desember 2020, dari total
anggaran TA 2020 sebesar Rp 94,12 triliun, tercatat realisasi penyerapan
anggaran sebesar Rp 87,59 triliun atau 93,06%. Bahkan di tahun 2021, yang
mana hantaman COVID-19 varian delta mengerikan, sepertinya tidak menghalangi
secara total gerak pembangunan infrastruktur. Dalam rilis
Biro Komunikasi Kementerian PUPR pada awal Februari 2021, dari total anggaran
kementerian PUPR TA 2021 sebesar Rp 149,8 triliun, tercatat realisasi
penyerapan anggaran mencapai Rp 10,6 triliun atau 7,08%. Jadi, pertanyaannya,
sepenting apa pembangunan infrastruktur di negeri ini? Tulisan ini
tidak bermaksud membandingkan gerak pembangunan infrastruktur era
Pemerintahan Presiden Jokowi dengan era presiden-presiden sebelumnya. Tulisan
lebih menelisik lebih jauh urgensitas pembangunan infrastruktur di negeri
yang terdiri dari 34 provinsi ini. Menelisik lebih jauh di sini, berarti
melihat nilai kontributif infrastruktur di balik pengaruh ekonomi, investasi,
dan kesejahteraan masyarakat yang jamak didengungkan selama ini. Urgensitas Pembangunan Infrastruktur Sejumlah besar
akademisi dan praktisi yang melakukan penelitian tentang pembangunan
infrastruktur mengakui, bahwa pembangunan infrastruktur berkontribusi penting
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengatasi ketimpangan. Sebab,
infrastruktur mempunyai pengaruh multi-effects, seperti membuka lapangan
kerja, memungkinkan berbagai kegiatan ekonomi, seperti hadirnya minimarket,
restoran, dan lain-lain (Faradis dan Afifah, 2019), membuka jalan bagi
hadirnya investasi, meningkatkan konektivitas, dan memungkinkan hasil
produktivitas masyarakat mudah didistribusikan ke pasar. Ketersediaan
infrastruktur pun serentak berpotensi mengurangi biaya produksi dan transaksi
(Gannon dan Liu, 1997). Lebih lanjut,
sebagaimana diterangkan dari hasil penelitian Calderon & Serven (2004)
dalam The Effects of Infrastructure Development on Growth and Income
Distribution, bahwa 'pertumbuhan dipengaruhi secara positif oleh stok aset
infrastruktur, dan ketimpangan pendapatan menurun dengan kuantitas dan
kualitas infrastruktur yang lebih tinggi'. Dengan demikian, secara negatif
dapat pula dijelaskan bahwa minusnya kuantitas dan kualitas infrastruktur
pada sebuah negara berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan dan
ketimpangan. Dalam keterbatasan infrastruktur jalan misalnya, masyarakat dan
hasil produksinya akan sulit didistribusikan ke pusat kegiatan ekonomi,
seperti pasar, karena biaya yang tinggi. Harga logistik, seperti minyak
goreng, beras, sabun, dan lain-lain pun ikut melambung. Bagi Calderon
& Serven (2004), infrastruktur pada galibnya mempunyai daya pengaruh
kontribusi yang besar dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Konektivitas sebagai implikasi dari ketersediaan infrastruktur, seperti
transportasi (jalan jembatan, dan pelabuhan), telekomunikasi, dan listrik
akan mempermudah lalu lintas hasil produksi masyarakat, dan serentak membuka
peluang kerja atau kegiatan ekonomi masyarakat. Pada titik ini, infrastruktur
bisa menjadi strategi penting sebuah negara dalam upaya mengatasi kemiskinan.
Dan karena itu, secara meyakinkan Calderon & Serven (2004)
mengatakan,'pembangunan infrastruktur harus menempati urutan teratas dalam
agenda pengentasan kemiskinan'. Mengikuti
Calderon & Serven (2004), maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
kemasifan pembangunan infrastruktur di era Pemerintahan Presiden Jokowi
berada pada momen yang tepat, terutama dalam mengatasi ketimpangan dan
kemiskinan yang terus eksis dalam kehidupan masyarakat Indonesia sekarang.
Dalam catatan BPS 15 Juli 2021, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021
berjumlah 27,54 juta orang, turun 0,01 juta orang jika dibandingkan pada
September 2020, tetapi naik 1,12 juta orang jika dibandingkan pada Maret
2020. Dengan gerakan masif pembangunan infrastruktur, baik yang sudah dan sedang
berjalan, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Indonesia sudah
mempunyai dan sedang membangun dasar yang kuat untuk memulihkan ekonomi. Infrastruktur
yang sudah dan sedang dibangun tersebut bisa menjadi dasar optimisme bangsa
untuk keluar lebih cepat dari krisis akibat pandemi COVID-19 kelak. Namun,
satu hal yang mesti dicatat di sini adalah pembangunan infrastruktur mesti
juga memperhatikan kualitasnya. Sebab, sebagaimana dijelaskan Calderon &
Serven (2004), kualitas infrastruktur sangat mempengaruhi intensi dasar dalam
upaya menyejahterakan rakyat. Ketersediaan
infrastruktur yang berkualitas rendah akan mempengaruhi aktivitas (ekonomi)
hingga konektivitas masyarakat. Infrastruktur jalan yang ambruk pada musim
hujan, misalnya, akan mempengaruhi distribusi logistik dan hasil
produktivitas masyarakat. Karena itu, pengejaran pencapaian kuantitas
infrastruktur mesti dibarengi dengan kualitasnya. Ini diharapkan agar,
infrastruktur yang tersedia benar-benar membantu masyarakat dalam memudahkan
konektivitas dan mendukung aktivitas (ekonomi)-nya. Melampaui Dampak Ekonomi Realitas
ketimpangan merupakan sebuah gambaran terkait ketidakadilan. Ketimpangan
pembangunan infrastruktur akan berkonsekuensi pada ketimpangan pendapatan,
menciptakan kemiskinan atau lebih umumnya melanggengkan ketidaksejahteraan
rakyat. Selain itu, ketimpangan pembangunan infrastruktur akan memunculkan
anggapan, terutama dari wilayah yang terbelakang, sebagai kelompok masyarakat
yang tidak diperhatikan, atau dalam bahasa yang lebih ekstrim,
'dianaktirikan' dalam pembangunan. Pada titik
ini, kegesitan dan komitmen Pemerintahan Presiden Jokowi dalam menggerakkan
pembangunan infrastruktur hampir di setiap pelosok negeri, termasuk di daerah
perbatasan, menunjukkan sebuah upaya untuk menghapus anggapan pesimistis
seperti itu di kalangan masyarakat. Dan secara tidak langsung membangun
spirit cinta tanah air. Jika dilihat
secara holistik, pembangunan infrastruktur bukan hanya sebatas sebagai
strategi primer dalam menarik investasi, membuka lapangan kerja, mengatasi
ketimpangan, dan menciptakan kesejahteraan, tetapi lebih dari itu, ia menjadi
instrumen dalam meningkatkan integrasi bangsa. Dengan gerak pembangunan
infrastruktur yang merata pada setiap wilayah, dan tentu yang sesuai dengan
kebutuhan, maka tidak ada rakyat atau wilayah merasa diasingkan, tidak
diperhatikan atau dianaktirikan. Jimmy Demianus
Ijie, SH dalam opininya di detik.com (29/9/2020), misalnya, mengaku
kontribusi positif-konstruktif dari pembangunan Jalan Trans Papua. Di mana,
pembangunan jalan yang menghubungkan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
itu, bukan hanya berkontribusi membuka isolasi atau membangun konektivitas
antar-wilayah, tetapi juga mempengaruhi biaya distribusi logistik dan
memungkinkan harga barang terjangkau. Selain itu,
Anggota DPR F-PDI Perjuangan Dapil Papua Barat tersebut mengakui, bahwa
inilah sebuah pendekatan yang baik dalam menghadapi pergolakan di Papua,
yakni bukan hanya dengan kekuatan militer, tetapi juga pembangunan infrastruktur.
Adanya Jalan Trans Papua dan berbagai pembangunan infrastruktur di Papua (dan
wilayah Timur lainnya) serentak membangun kesadaran masyarakat akan hadirnya
negara dalam mengatasi persoalan ekonomis, keterisolasian, dan kesejahteraan
rakyat. Selain itu,
dengan pembangunan infrastruktur, masyarakat akan terdorong untuk
berpartisipasi dalam proses demokrasi, terkhusus dalam pemilihan kepala
negara, legislator (daerah atau pusat), dan kepala daerah. Walaupun tidak ada
penelitian khusus perihal hubungan antara antusiasme-partisipasi masyarakat
dalam pemilihan umum dengan pembangunan infrastruktur, tetapi penulis
berargumen bahwa keduanya mempunyai keterkaitan yang erat. Terlihat dari
partisipasi masyarakat Papua Barat dalam Pemilu 2019, yang mencapai hampir
90%, misalnya. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua Barat,
Periode 2015-2020 , Amus Atkana, di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Jakarta Pusat, Sabtu 18 Mei 2019 menginformasikan, bahwa partisipasi
masyarakat Papua Barat dalam Pemilihan Presiden mencapai 88%, dalam pemilihan
DPR dan DPD masing-masing 87% (medcom.id, 18/05/2019). Angka 88% partisipasi
rakyat dalam pemilihan presiden ini melampaui angka yang ditargetkan, yakni
78,5%. Dan secara umum, partisipasi masyarakat Indonesia dalam pemilihan umum
2019 mencapai 81%, meningkat 10% dari tahun 2014 (kompas.com, 27/05/2017). Salah satu
alasan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpinnya
adalah adanya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan juga pada calon
pemimpin (Capres-Cawapres). Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan itu
terlahir dari kerja pemerintah selama tahun-tahun sebelumnya (2014-2019) yang
masif menggerakkan pembangunan infrastruktur. Sebab pembangunan
infrastruktur, seperti transportasi, telekomunikasi, listrik, dan sebagainya,
merupakan hasil kerja pemerintah yang dirasakan, dinikmati, dan bersentuhan
langsung dengan aktivitas dan kehidupan riil masyarakat. Kepercayaan
masyarakat pada pemerintah-negara tidak hanya dibutuhkan untuk meningkatkan partisipasi
politik dalam kultur demokrasi pemilihan presiden, kepala daerah dan
legislator, tetapi juga lebih dari itu, yakni untuk menjaga kohesivitas atau
integrasi bangsa. Tanpa adanya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, maka
legitimasi pemerintah (terancam) terdegradasi. Rakyat akan mudah bersikap
antipati dan bahkan anarkis terhadap kebijakan kebijakan pemerintah. Dengan
demikian, meningkatnya kuantitas dan kualitas pembangunan infrastruktur
sangat berpengaruh, selain meningkatkan kultur demokrasi, juga meningkatkan
integrasi bangsa. Secara
ringkas, pembangunan infrastruktur melampaui intensi ekonomi. Pembangunan
infrastruktur mau menunjukkan salah satu simbol nyata kehadiran negara di
tengah masyarakat. Pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari salah satu
bentuk nyata kepedulian negara terhadap rakyat. Sebab, infrastruktur sangat
dekat atau bahkan tidak terlepas dari aktivitas masyarakat. Dengan
demikian, meningkatnya kuantitas dan kualitas infrastruktur serentak
mendorong masyarakat untuk semakin mencintai tanah air, merasa tidak
dipinggirkan atau dianaktirikan, dan serentak meningkatkan integrasi bangsa. Kritik Lantas,
melihat pentingnya pembangunan infrastruktur, apakah ia netral dari kritik?
Eksistensi urgensitas pembangunan infrastruktur tidak secara otomatis
menjadikannya netral dari kritik. Kritik, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, adalah 'kecaman atau tanggapan, atau kupasan
kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya,
pendapat dan sebagainya'. Dalam konteks
praktik pembangunan infrastruktur kritik hadir sebagai tanggapan dan
pertimbangan baik buruk, baik terhadap kebijakan maupun praktik pembangunan
infrastruktur. Karena itu, kritik bukan sebuah upaya (provokatif) yang
menghalangi upaya pemerintah dalam menggerakan pembangunan demi kepentingan
rakyat. Kritik lebih dilihat sebagai bentuk pengawasan terhadap kebijakan dan
praktik pembangunan infrastruktur, agar tidak keluar dari orientasi dasarnya,
yakni untuk menyejahterakan rakyat. Pertanyaan
selanjutnya, adalah kalau kritik penting dalam gerak pembangunan
infrastruktur, maka siapa aktor yang menjalankannya? Dalam negara demokrasi,
dengan kedaulatan tertinggi ada pada tangan rakyat, maka rakyat sendiri
menjadi aktor utama dalam melayangkan kritik. Secara spesifik, Gramsci (1976)
menyebutnya sebagai civil society, yakni organisasi masyarakat yang berjarak
atau tidak berafiliasi dengan negara dan korporasi, seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat, organisasi agama, dan organisasi masyarakat lain, yang tentu
berafiliasi dengan masyarakat sendiri. Kritik dalam
konteks ini mesti dibedakan dari provokasi. Kritik tetap dihadirkan sebagai
yang bisa menawarkan solusi alternatif dalam setiap kebijakan pembangunan
infrastruktur. Atau, sebuah cara untuk mengkolaborasi secara kritis dan
demokratis antara rakyat dan pemerintah dalam gerak pembangunan
infrastruktur. Dalam kritik ada upaya untuk melahirkan keputusan atau
kebijakan yang meyakinkan antara rakyat dan pemerintah. Sementara provokasi
adalah sebuah upaya membenturkan atau mempertentangkan rakyat dengan
pemerintah dalam gerak pembangunan infrastruktur. Orientasinya untuk
mendegradasi legitimasi pemerintah. Dengan
demikian pembangunan infrastruktur dan kritik yang menyertainya sejatinya
sama-sama hadir dalam upaya mewujudkan tujuan yang sama, yakni menunjang
kesejahteraan masyarakat. Karena itu, pemerintah selaku yang berotoritas
dalam menentukan kebijakan mesti menanggapi kritik secara positif, bukan
secara negatif. Demikian sebaliknya, civil society mesti melayangkan kritik
pada hal-hal substansial dan penting. Substansi kritik tersebut kemudian,
sejatinya menjadi salah satu materi dalam mempertimbangkan kebijakan
pembangunan. Lebih dari itu
semua, melihat pentingnya pembangunan infrastruktur bagi terciptanya
kesejahteraan masyarakat dan integrasi bangsa, maka masyarakat atau civil
society dan pemerintah mesti bergandengan tangan untuk terus menyukseskan
pembangunan infrastruktur yang terus digalakkan sekarang ini. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5689293/infrastruktur-melampaui-dampak-ekonomi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar