Indonesia
sebagai Keterberian Politik Max Regus ; Dekan FKIP Unika Santu Paulus Ruteng, Flores
Alumnus S-3 Tilburg University, Netherlands |
MEDIA INDONESIA,
20 Agustus 2021
INDONESIA
ialah sebuah keterberian politik. Kita menerima negeri ini sebagai hadiah
politik puncak para bapak bangsa. Negeri ini bukan hanya susunan
ketatanegaraan. Dia ialah bangunan peradaban politik. Di atasnya, ada dimensi
pengetahuan dan kebijaksanaan politik. Ada cetakan pengalaman perjuangan dan
kepahlawanan yang panjang dari para pendahulu. Negeri ini tidak kalah
penting, ialah sebuah imajinasi tentang kemakmuran sosial. Bangsa ini
menggenggam niat untuk bergerak di atas basis estetika dan etika sosial-politik.
Namun,
perjalanan 76 tahun Republik Indonesia (RI) bukan semata lukisan indah
linearitas waktu. Sejarah bangsa ini sekian sering juga terbekap dalam serial
penistaan politik dan kekuasaan. Negeri ini saban waktu diwarnai pertengkaran
politik. Sebagiannya berujung pada kekerasan sosial. Rasa kebangsaan pernah
amblas dihantam keangkaraan politik. Pengabdian politik para elite terkikis
hebat akibat ikhtiar rakus memperkaya para sanak. Meski begitu,
Indonesia harus menjejakkan kaki di antara patahan-patahan sejarah—yang
sebagiannya menganga begitu lebar dan dalam. Ada saat negeri ini berada di
titik terdalam dari kisah kejatuhan politik. Beberapa pemimpin politik
nasional harus berakhir secara tragis. Seolah kekuasaan (politik) di
Indonesia memanggul kutukan sejarah. Sesuatu yang menyebabkan bangsa ini
kehilangan sebagian nilai-nilai keagungan politik. Dalam beberapa dimensi
krusial, politik menyelipkan kepedihan ke dalam lembaran-lembaran sejarah
negeri ini. Pengeroposan keutamaan politik Hingga pada
bentuknya yang paling mutakhir, sejak lama politik dianggap sebagai salah
satu keutamaan (virtue). Politik mendefinisikan sistem nilai serentak etos
pelayanan pejabat publik. Para filsuf politik mengajarkan politik sebagai
bagian dari aktualisasi diri manusia menuju kesempurnaan. Politik ialah suatu
cara berada. Sebagai cara berada, politik mesti memancarkan keadaban. Dengan
itu, politik bernilai dalam dirinya sendiri. Politik,
kemudian lebih banyak beririsan dengan kekuasaan. Konsep politik kemudian
berhubungan dengan segala privilese sosial dan ekonomi. Di titik ini, pada
tangan sekelompok orang, yang kemudian sebagiannya muncul sebagai kelas
oligarki, politik mengeropos dan membusuk tanpa terkendali. Ada penghancuran
optio fundamentalis politik. Politik kemudian menyempit, sekadar sebagai
ruang kerumunan keluarga dan kerabat kekuasaan. Politik
melesat jauh dari substansi. Politik kehilangan karakter konseptual asali.
Politik tidak lagi menjadi basis nilai-etik. Di ranah praksis, politik kemudian
hadir sebagai alat (instrumen) kepentingan kekuasaan—dari segelintir orang.
Politik menjadi alat akumulasi keistimewaan, yang hanya boleh direngkuh
kelas-kelas penguasa tanpa batas. Politik
menjadi jalan bagi elite. Mereka meraih banyak kemudahan, kenikmatan, dan
pengecualian dari suatu kewajiban. Studi Johnston (2017) menyingkapkan
politik sebagai pemulus akses bagi kelas penguasa ke dalam penguasaan
aset-aset ekonomi. Di Indonesia,
politik kemudian berlaku lebih jahat dengan daya rusak yang tidak terkendali.
Politik mengobrak-abrik ruang hidup bersama. Semua dimensi
sosial-kemanusiaan, terhisap ke dalam kawah persaingan politik. Bahkan, bau
amis politik menelusup masuk hingga ke dusun-dusun yang polos dan nir
kebencian. Pertarungan kekuasaan meninggalkan borok-borok sosial yang
membusuk dalam lingkaran kebencian tanpa akhir. Pengelolaan konflik Politik dalam
kejumudan praktis seperti ini, cenderung membunuh dirinya sendiri. Salah
satunya melalui konflik dan brutalitas politik. Politik Indonesia merekam ini
dengan baik. Kita bisa menyebut deretan partai politik yang terpanggang dalam
bara panas perselisihan. Bentangan
kenyataan historis ini sebetulnya membicarakan satu hal penting. Politik kita
sering kali hanya tenggelam dalam kesibukan menggelembungkan volume dukungan
politik. Mereka hanya berkutat dengan simpati publik. Sesuatu yang dikuburkan,
ketika kekuasaan ada dalam jepitan ketiak politik mereka. Pada ranah
internal, pelembagaan nilai-nilai demokrasi kelihatannya tidak mengakar.
Energi politik terhisap tanpa batas, untuk membangun dinasti politik. Secara
implisit, ikhtiar busuk ini mungkin saja menggeser sumber daya lainnya
(Kenawas, 2015). Di titik ini, sebuah kekuatan politik terlihat sangat solid.
Namun, sebetulnya serentak ada dalam kerapuhan yang tidak terlihat. Pada
aspek eksternal, kekuatan politik juga dipengaruhi eskalasi keterbukaan.
Situasi yang mempercepat tumbuhnya pusat-pusat kekuatan politik alternatif,
baik secara institusional maupun personal. Bukan hanya
pada aspek kelemahan, bagaimana kecerdasan mengelola kekuatan juga sebenarnya
menentukan perjalanan kekuatan-kekuatan politik. Secara sosiologis,
kekuatan-kekuatan politik tidak memiliki kemampuan mengatur, dan mengelola
agensi-agensi politik mereka, baik ke dalam maupun ke luar. Padahal,
konflik-konflik politik semacam ini selalu berkaitan dengan baik pada faktor
eksternal, tetapi terlebih faktor internal mereka sendiri. Kesemrawutan yang
sering tersaji di ranah politik sebagiannya muncul dari tidak memadainya
profesionalitas dalam manajemen konflik (Vercesi, 2016). Kesadaran politik Dalam situasi
semacam ini, kita tidak menemukan dialektika wacana politik demi kematangan
demokrasi. Para elite politik hanya mempertontonkan nihilisme etik. Kondisi
politik ini, merujuk pada dua aspek fundamental berikut. Pertama, naluri
dinasti kekeluargaan dan perkoncoan cenderung melenyapkan orientasi etis
politik. Politik kekuasaan tanpa batas, cenderung berakhir tragis dengan
membusukkan dirinya sendiri. Kedua, para elite tidak segan memperlihatkan
kontestasi tanpa rasionalitas demokrasi. Kerakusan terus menggusur
nilai-nilai utama etika politik. Dua aspek di
atas mendedahkan buramnya budaya politik. Tragisnya, berangkat dari
potongan-potongan ketidakbecusan pengurusan sumber daya politik, situasi
kontemporer ini mencuatkan divergensi pekat ketika kita sedang terengah-engah
menghadapi krisis kesehatan di bawah ancaman pandemi covid-19. Para elite
tanpa malu bergulat di atas panggung politik dengan urusan yang sarat bau
amis kekuasaan. Negeri ini, kemudian lunglai ketika kemanusiaan tidak menjadi
jiwa kunci keberadaan, sebagai kebersamaan politik. Tidak ada
waktu untuk mengelak dari luka-luka sejarah yang terus menguntit kesadaran
bersama. Negeri ini harus terus berjalan melampaui kepedihan-kepedihan
sosial-politik yang terpahat dalam ingatan. Pakar Indonesia, NS Nordholt
(2001), di awal perjalanan reformasi dua dekade lalu mengingatkan kita pada
panggilan politik abadi, bahwa Indonesia ialah perjalanan pencarian akan jati
diri serentak proses mematangkan struktur dan mentalitas politik-kenegaraan. Kesadaran
bersama mesti mengalir pada panggilan merawat negeri ini sebagai sebuah
keterberian politik. Indonesia sebagai anugerah politik abadi. Di dalamnya,
ada kandungan tanggung jawab sosial-politik bersama—sebagaimana tema
peringatan kemerdekaan RI 2021 ini—mengawal Indonesia yang terus tumbuh
menjadi semakin tangguh. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/426767/indonesia-sebagai-keterberian-politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar