Hak
Gugat Korban Korupsi Nefa Claudia Meliala ; Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan Bandung |
KOMPAS, 1 Agustus 2021
Senin,
21 Juni 2021, untuk pertama kalinya korban tindak pidana korupsi mengajukan
gugatan ganti rugi. Mereka yang mengajukan gugatan adalah 18 korban korupsi
Bantuan Sosial (Bansos) pada masa pandemi Covid-19 yang diduga dilakukan oleh
mantan Menteri Sosial sekaligus politisi PDIP, Juliari Batubara. Argumentasi
yang dibangun adalah selama ini dalam perkara korupsi, uang yang dirampas
hanya akan disetor ke kas negara. Kedelapan belas korban menuntut agar
Juliari membayar ganti rugi secara langsung kepada mereka sebagai warga yang
haknya telah terampas. Senin,
21 Juli 2021, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
menolak permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut. Alasan
penolakan mengacu pada hukum acara perdata karena tidak sesuai dengan alamat
tempat tinggal Juliari di Jakarta Selatan, sementara tergugat sedang
disidangkan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Indonesia
telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Sebagai konsekuensi logis dari
ratifikasi tersebut, Indonesia tentu harus menyesuaikan aturan hukum
nasionalnya dengan UNCAC. Pasal 35
UNCAC pada prinsipnya mengatur mengenai kewajiban negara untuk menjamin hak
setiap orang yang menderita kerugian sebagai akibat dari tipikor untuk dapat
mengajukan gugatan terhadap pelaku dan memperoleh kompensasi atas kerugian
yang dialami. Pengaturan dalam hukum nasional Terdapat
setidaknya beberapa pasal yang dapat digunakan sebagai dasar hukum bagi
korban korupsi untuk mengajukan gugatan, yaitu Pasal 1.365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) tentang perbuatan melawan hukum dan Pasal
98-101 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang penggabungan
perkara gugatan ganti kerugian. Sekalipun
secara teoritis gugatan perbuatan melawan hukum dapat diajukan, walaupun
belum terdapat putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum, dalam
praktik korban akan lebih sulit membuktikan telah terjadi perbuatan melawan
hukum tanpa adanya putusan pidana. Namun di sisi lain, apabila gugatan
perbuatan melawan hukum harus menunggu keluarnya putusan pidana tentu
prosesnya akan memakan waktu yang cukup lama. Persoalan
lain adalah dalam tipikor, tidak mudah untuk mengidentifikasi korban. Belum
lagi membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan (tipikor) dengan
kerugian yang dialami korban. Sementara
itu, penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang diatur dalam KUHAP
memiliki kelemahan. Yang paling menonjol adalah KUHAP membatasi bahwa ganti
kerugian yang dapat dituntut korban hanya sebatas penggantian biaya yang
telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Permasalahannya,
korban dalam tipikor kerap kali tidak mengalami kerugian secara langsung.
“Kerugian” yang dialami sangat mungkin berupa terhambatnya akses untuk
memperoleh hak-hak dasar seperti misalnya hak atas layanan kesehatan atau
pendidikan. Di
luar KUHP dan KUHAP, terdapat beberapa pengaturan terkait kompensasi dan
restitusi bagi korban tindak pidana, namun pengaturan tersebut memang tidak
mencakup korban tipikor. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban misalnya, mengatur mengenai hak atas kompensasi
dan restitusi bagi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia berat melalui Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (Pasal 7). Ada juga Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap
Korban Pelanggaran HAM Berat. Kompensasi
diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku
tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya. Sementara itu, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan
kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa
pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu (Pasal 1 angka 4
dan 5 PP 3/2002). Pengaturan belum memadai Dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku, pengaturan
terkait kompensasi dan restitusi bagi korban tipikor sebagaimana diamanatkan
UNCAC belum optimal. Spesifik
berbicara mengenai penolakan gugatan korban korupsi Bansos, dengan mengacu
pada ketentuan Pasal 98 KUHAP, hakim ketua sidang (dalam hal ini hakim pada
pengadilan tipikor) seharusnya dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan ganti kerugian dan perkara pidana yang prosesnya sedang berjalan
tanpa harus mempersoalkan domisili hukum tergugat. Namun, itu baru satu soal
yang menyangkut teknis hukum acara. Persoalan
lain yang juga harus mendapat perhatian adalah undang-undang perlu secara
tegas mengatur mengenai hak gugat masyarakat sebagai korban tipikor baik
untuk memperoleh restitusi maupun kompensasi atas kerugian yang diderita,
termasuk juga mendefinisikan atau mengklasifikasikan korban tipikor,
menentukan dan menilai kerugian dari tipikor dan juga mekanisme hukum yang
dapat digunakan oleh korban. Ini sebagai bentuk optimalisasi peran serta
masyarakat dan wujud keseriusan serta komitmen dalam agenda pemberantasan
korupsi yang dalam konteks Indonesia masih tergolong sebagai kejahatan luar
biasa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar