Senin, 09 Agustus 2021

 

Gerakan #MeToo di China, Hanya di Permukaan atau Kian Menukik

Laraswati Ariadne Anwar ;  Wartawan Komppas

KOMPAS, 8 Agustus 2021

 

 

                                                           

Akhir-akhir ini di China seolah muncul berbagai gebrakan terkait penanganan kejahatan pelecehan seksual. Mulai dari penangkapan megabintang Kris Wu, pekan lalu, hingga baru-baru ini pernyataan korporasi raksasa Alibaba untuk mendukung penyelidikan polisi terhadap salah seorang pegawainya yang diduga melakukan pelecehan seksual. Meskipun demikian, patut terus dipantau, apakah penanganan kekerasan seksual dan berbasis jender ini mencapai akar atau baru sekadar di permukaan.

 

Direktur Utama Alibaba Daniel Zhang mengeluarkan pernyataan pada Minggu (8/8/2021) bahwa perusahaan teknologi digital raksasa itu sama sekali tidak menoleransi pelecehan jenis apa pun, apalagi berupa kekerasan seksual. Pernyataan ini keluar setelah polisi mengumumkan penyelidikan terhadap salah seorang manajer di perusahaan tersebut.

 

Kasus ini berawal dengan laporan seorang perempuan yang bekerja di Alibaba kepada polisi pekan lalu. Korban yang namanya tidak disebutkan demi melindungi keselamatannya itu mengaku mengalami kekerasan seksual beberapa bulan sebelumnya ketika sedang melakukan perjalanan dinas ke Provinsi Shandong bersama manajernya.

 

Korban mengatakan, ia dipaksa minum miras hingga tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dilecehkan oleh klien Alibaba, yaitu seorang petinggi dari perusahaan supermarket Jinan Hualian. Manajer korban mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat apa-apa alias membiarkan begitu saja.

 

Sekembali dari perjalanan dinas, korban mengadu kepada divisi sumber daya manusia di Alibaba. Pengaduan ini pun tak membuahkan hasil. Laporannya tidak diacuhkan. Oleh sebab itu, korban kemudian memutuskan melaporkan hal itu kepada pihak kepolisian. Setelah Direktur Alibaba Zhang memberi pernyataan akan bekerja sama dengan polisi, pihak Jinan Hualian Supermarket juga mengeluarkan komitmen serupa dan tidak akan membela petinggi perusahaan mereka apabila terbukti bersalah.

 

Skandal Kris Wu

 

Bulan lalu, megabintang Kris Wu (30) dituduh memerkosa salah satu penggemarnya. Wu adalah aktor sekaligus penyanyi keturunan China yang berkewarganegaraan Kanada. Ia naik daun ketika bergabung dengan band Exo dan merintis solo karier sejak tahun 2014. Wu merupakan pesohor yang paling diminati di China. Ia adalah duta berbagai jenama, mulai dari mi instan hingga mobil mewah.

 

Skandal bermula ketika seorang perempuan bernama Du Meizhu  menulis di media sosial bahwa ia diperkosa oleh Wu ketika sedang tidak sadarkan diri akibat dipaksa minum miras. Menurut Du, ia dikontak oleh Wu dan timnya di media sosial dengan iming-iming hendak dijadikan model video klip untuk salah satu lagu Wu.

 

Ketika bertemu di rumah Wu, Du diajak minum miras meskipun baru berusia 17 tahun dan setelah itu diperkosa. Manajer Wu beberapa waktu setelah itu memberikan uang tutup mulut yang oleh Du dikembalikan. Akibat unggahan Du, setidaknya ada 24 perempuan yang tampil di media sosial dan mengaku telah dilecehkan juga oleh Wu. Beberapa di antaranya berusia 14-16 tahun. Modusnya juga serupa, yaitu ditawari menjad model iklan ataupun video klip.

 

Wu menyangkal tuduhan-tuduhan itu, tetapi berbagai jenama yang menyokong namanya beramai-ramai memecat dia. Pekan lalu, polisi China pun menangkap Wu atas tuduhan pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan. Jika terbukti, hukuman penjara seumur hidup menantinya.

 

Pascapenangkapan Wu, Pemerintah China kemudian melakukan kampanye menyerang industri hiburan di negara itu. Menurut pemerintah, industri hiburan memberi masyarakat idola-idola palsu yang tidak menganut nilai moral sesuai adat istiadat China, dalam hal ini adalah Partai Komunis China (PKC).

 

Bahkan, PKC juga menyerang media sosial, antara lain WeChat dan Weibo agar mereka menghapus daftar pesohor terpopuler di China. Alasannya adalah nama-nama artis ataupun pengimbas (influencer) yang ditampilkan tersebut memiliki kepribadian tidak sesuai dengan moral partai.

 

Di permukaan

 

Penangkapan Wu dan penyelidikan kasus di Alibaba ini disambut baik oleh warganet China. Banyak yang menyuarakan bahwa orang-orang yang berada di posisi berkuasa, baik karena uang maupun status sosial, kini tidak bisa lari dari tanggung jawab. Namun, para pemerhati isu jender dan kekerasan justru mencemaskan fenomena tersebut menjadi celah bagi pemerintah untuk menyikut industri-industri yang dinilai tidak sesuai ideologi PKC.

 

Dosen Ilmu Komunikasi Chinese University in Hong Kong, Fang Kecheng, menilai Pemerintah China mengambil kesempatan di tengah kasus yang melibatkan orang terkenal. ”Dalam hal ini, pemerintah justru menegasikan gerakan Me Too (saya juga) yang melawan semua jenis kekerasan berbasis jender. Pemerintah memasukkan agenda politik, yaitu menyetir narasi kepada moral PKC. Saat ini yang menjadi sasaran mereka adalah industri hiburan dengan tuduhan tidak memberi masyarakat konten sesuai nilai-nilai PKC,” paparnya kepada majalah Vice.

 

Secara teori, China telah mengakui kesetaraan jender jauh sebelum negara-negara lain melakukannya. Konstitusi pertama China di tahun 1954 menyatakan bahwa setiap laki-laki dan perempuan setara di bidang politik, ekonomi, dan budaya. China juga termasuk negara pertama yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Jenis Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) di tahun 1980.

 

Namun, kenyataan berbeda di atas kertas. Tahun 2011, Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) mengeluarkan hasil kajian di China. Terungkap bahwa 52 persen laki-laki yang mengalami hubungan jangka panjang—baik berupa pernikahan, pertunangan, maupun pacaran—pernah melakukan kekerasan fisik ataupun seksual kepada pasangannya. Sebanyak 39 persen perempuan dalam hubungan jangka panjang mengaku pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual.

 

Diteliti lebih lanjut, 86 persen pelaku mengaku melakukan kekerasan seksual bukan karena marah atau dalam keadaan mabuk, melainkan karena menganggap dirinya berhak melakukannya terhadap pasangannya. Laporan itu turut menjelaskan bahwa 42 persen laporan kekerasan seksual di polisi tidak ditindak. Sisanya dilakukan tindakan, tetapi tidak tuntas.

 

Pakar ilmu komunikasi dari Universitas Jinan, Guangzhou, Lin Zhongxuan dan Liu Yang, dalam makalah mereka di Asian Journal of Women’s Studies edisi 2019 menjelaskan, gerakan Me Too dari Amerika Serikat yang merupakan kebangkitan para korban pelecehan untuk memastikan keadilan ditegakkan  tiba di China pada tahun 2018.

 

Gerakan ini awalnya menjamur di perguruan tinggi. Universitas Beihang adalah kampus pertama yang melaporkan adanya pelecehan oleh dosen kepada mahasiswi, kemudian disusul oleh Universitas Peking. Setelah itu, laporan juga muncul dari industri media dengan adanya aduan wartawan senior di stasiun televisi pemerintah, CCTV, melecehkan seorang pegawai magang. Total di tahun 2018 ada 36 kasus yang diadukan kepada publik dan tidak ada yang ditindak.

 

”Pemerintah justru membungkam gerakan Me Too. Berbagai unggahan korban di media sosial diblokir dengan alasan meresahkan masyarakat dan tidak sesuai dengan nilai budaya yang menyanjung keselarasan,” tulis makalah tersebut.

 

Oleh sebab itu, publik China menanti jika penangkapan Kris Wu dan penyelidikan atas Alibaba adalah titik tolak pemberian keadilan kepada para korban kekerasan berbasis jender atau ini hanya sebatas upaya pemerintah memperoleh dukungan untuk kasus yang populis dan tanpa ada penerapan nyata di akar rumput. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar