"Garuda
Shield" dan Perimbangan Politik Luar Negeri Alfin Febrian Basundoro ; Mahasiswa di Departemen Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta |
DETIKNEWS, 26
Agustus 2021
Latihan
militer bersama antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) bertajuk Garuda
Shield dimulai pada 1 Agustus 2021 lalu. Hingga 14 Agustus, total 2.161
prajurit TNI AD dan lebih dari 2.000 tentara Angkatan Darat AS berpartisipasi
dalam latihan militer terbesar yang diagendakan oleh kedua negara tersebut. Latihan yang
dibuka oleh Kepala Staf AD Jenderal Andika Perkasa dan Komandan Tentara AS di
Pasifik Jenderal Charles A. Flynn ini tidak hanya melibatkan pasukan
infanteri saja, namun juga sejumlah kendaraan tempur, seperti tank, panser,
hingga helikopter serang. Sebanyak tiga area latihan—Baturaja di Sumatra
Selatan, Amborawang di Kalimantan Timur, dan Makalisung di Sulawesi
Utara—menjadi lokasi latihan militer tersebut. Maka tidak
mengherankan apabila Garuda Shield begitu istimewa bagi kedua negara,
mengingat bahwa edisi latihan ini menjadi yang pertama pada era pemerintahan
Presiden Joe Biden. Setelah sempat mengalami fluktuasi relasi sejak akhir era
Orde Baru yang ditandai dengan embargo militer, agaknya relasi Indonesia dan
AS dalam sektor pertahanan-keamanan (hankam) telah mengalami perbaikan yang
signifikan. Apalagi, latihan gabungan tahun ini merupakan yang ke-15,
menunjukkan kian intensnya interaksi antara militer kedua negara selama lebih
dari satu dasawarsa. Menteri Luar
Negeri Retno Marsudi juga telah menyatakan harapannya terkait peningkatan
relasi antara Indonesia dan AS di kemudian hari. Ia bahkan menyatakan latihan
militer tersebut sebagai "era baru relasi kedua negara". Pernyataan
Menlu Retno tentunya tidak berlebihan. Sebelumnya, ia telah berkunjung ke
Washington DC dan bertemu dengan sejumlah petinggi pemerintahan Negeri Paman
Sam, seperti Menlu Antony Blinken. Kedua pihak
telah menyepakati akan saling mendukung dalam berbagai sektor, mulai dari
perdamaian dan stabilitas Indo-Pasifik, urusan Laut China Selatan, hingga
krisis iklim global. Pihak AS sendiri menyebut bahwa latihan ini menjadi
komitmen AS bersama Indonesia untuk mendukung kawasan Indo-Pasifik yang bebas
dan terbuka. Tentunya, hal ini merupakan pertanda positif bagi relasi
strategis AS-Indonesia dalam sektor pertahanan dan geopolitik regional. Selain itu,
latihan ini juga dapat menjadi momentum Indonesia untuk menyeimbangkan
politik luar negerinya di tengah pengaruh politik AS dan China. Apabila
melihat pelaksanaannya, prinsip bebas-aktif dan nonblok dalam politik luar
negeri Indonesia membutuhkan seni politik perimbangan. Rizal Sukma
dalam analisisnya (2019) menilai bahwa upaya perimbangan tersebut kerap dilakukan,
utamanya pada era Presiden Joko Widodo yang menjadi saksi memanasnya
rivalitas China sebagai kekuatan global baru dan AS di kawasan Indo-Pasifik.
Misalnya, dengan menempatkan China dan AS sebagai mitra yang setara dalam
forum bilateral dan multilateral hingga penguatan sentralitas ASEAN sebagai
kekuatan penengah di antara kedua negara adidaya ini. Latihan
gabungan Garuda Shield juga pada hakikatnya merupakan bentuk dari politik
perimbangan Indonesia guna menjaga agar posisi Indonesia "tetap di
tengah" dan tidak terpengaruh salah satu kekuatan tersebut. Bagaimana
latihan gabungan ini dapat menjadi momentum meningkatnya relasi strategis
Indonesia-AS? Mendayung Antara Dua Karang Sebagaimana
negara "kekuatan tengah" (middle power) lainnya di dunia, politik
luar negeri Indonesia memiliki ciri khasnya, yakni berupaya untuk menjaga
posisi agar tidak terseret arus rivalitas geopolitik di antara negara-negara
besar. Hal ini diwujudkan Indonesia sejak pemerintahan Sukarno, misalnya
dengan mendirikan gerakan nonblok. Hingga kini,
prinsip bebas-aktif masih menjadi landasan politik luar negeri Indonesia,
diwujudkan dengan berhubungan baik dengan berbagai negara di dunia dalam
aneka sektor dan tidak tergabung dalam aliansi politik dengan negara
tertentu. Tujuan idealisnya, agar Indonesia dapat menjadi stabilisator dan
"juru pendamai" pada tingkat regional dan internasional seiring
dengan relasi baik Indonesia dengan negara-negara lain secara imparsial. Sementara
secara pragmatis, Indonesia diharapkan mampu memperoleh aneka keuntungan
multisektoral, misalnya kemudahan perdagangan dengan berbagai negara di dunia
dan peluang untuk bergabung dengan aneka organisasi internasional—menjadi
momentum peningkatan nilai tawar Indonesia. Masalahnya, pemerintahan Joko
Widodo justru menjadi momen menguatnya relasi Indonesia dengan China,
terutama dalam bidang ekonomi dan pembangunan. Data dari
Observatory of Economic Complexity (2019) menunjukkan bahwa ekspor Indonesia
ke China meningkat sebesar US$10 miliar antara tahun 2014-2019, sementara
impor Indonesia dari China pada periode sama meningkat sebesar US$8,45
miliar. Sementara itu, data Kementerian Luar Negeri (2020) menyatakan bahwa
nilai perdagangan Indonesia dengan China mencapai US$78.5 miliar. Praktis,
China menjadi mitra dagang terbesar Indonesia hingga kini, mengungguli AS dan
bahkan negara-negara ASEAN sekalipun yang merupakan mitra regional Indonesia. Tidak sampai
di situ, Indonesia juga merupakan target utama investasi dari China dalam
berbagai bidang. Tahun ini, China masih menjadi negara investor terbesar di
Indonesia dengan nilai investasi mencapai US$4.8 miliar. Proyek Prakarsa
Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative—BRI) yang dicanangkan oleh Presiden
Xi Jinping sejak 2013 juga menempatkan Indonesia sebagai mitra strategis,
terutama dalam pembangunan infrastruktur dan pertambangan. Beberapa
contoh proyeknya adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung serta pabrik dan tambang
litium di Morowali, Sulawesi Tengah. Total nilai proyek BRI di Indonesia
mencapai US$16.8 miliar antara tahun 2014 hingga 2018. Selain kian bergantung
kepada China dalam sektor ekonomi, kondisi ini menunjukkan kian pragmatisnya
politik luar negeri Indonesia pada era Joko Widodo, apalagi seiring dengan
gencarnya pembangunan infrastruktur pada era ini, mendorong Indonesia untuk
mencari mitra yang lebih menguntungkan untuk mewujudkan visi pembangunan
nasionalnya. Maka, apabila
Indonesia masih berupaya untuk melaksanakan politik luar negeri yang
berimbang, perlu pula untuk melakukan pendekatan kepada AS secara strategis.
Apalagi, tensi antara AS dan RRT kian meningkat setelah narasi Perang Dagang
digaungkan oleh Presiden Donald Trump dan masih berlanjut hingga pemerintahan
Joe Biden saat ini. Ketegangan di
antara AS dan China juga telah meluas ke ranah geopolitik, seiring dengan
pembentukan aliansi Quadrilateral Security Dialogue (Quad) oleh AS, India,
Australia, dan Jepang untuk menangkal ekspansi RRT dalam bidang pertahanan
dan keamanan di kawasan serta mendukung narasi kawasan Indo-Pasifik yang bebas
dan terbuka. Situasi ini juga harus dihadapi Indonesia, yang dengan prinsip
bebas aktifnya diibaratkan sedang "mendayung di antara dua
karang"—berupaya untuk mengarungi lautan percaturan politik global yang
penuh dengan aneka konflik kepentingan negara besar. Momentum Perimbangan Dengan eratnya
relasi ekonomi antara Indonesia dengan China, sektor pertahanan memang perlu
menjadi fokus bagi Indonesia dalam mendekatkan relasi dengan AS. Keputusan
Menhan Prabowo yang sejak awal berinisiatif untuk meningkatkan interaksi
dengan para petinggi pertahanan dan keamanan AS adalah suatu tindakan yang
cukup rasional. Indonesia tidak hanya berpeluang memperoleh aneka alutsista
yang bermanfaat untuk modernisasi TNI di waktu mendatang, melainkan juga
dapat memperoleh daya tawar politik yang lebih tinggi dengan adanya dukungan
AS, terutama dalam aneka forum internasional. Kendati dunia
telah menyaksikan kebangkitan dua negara adikuasa AS dan China, namun hingga
kini AS memang masih memegang kendali global atas berbagai organisasi
internasional, mulai dari Dewan Keamanan PBB hingga Bank Dunia dan IMF. Belum
lagi, AS sendiri memiliki mekanisme sanksi Countering America's Adversaries
Through Sanctions Act (CAATSA) yang perlu sebisa mungkin dicegah dengan
pendekatan kompromistis kepada AS. Latihan
bersama Garuda Shield ke-15 yang terbesar dalam sejarah hubungan Indonesia-AS
ini menjadi salah satu momentum peningkatan relasi kedua negara yang
seiringan dengan upaya perimbangan politik luar negeri agar tetap pada jalur
prinsip bebas-aktif. Pasalnya, selain Indonesia tidak menjadi mitra strategis
AS dalam sektor ekonomi di Asia—dibandingkan dengan Australia, Jepang, dan
negara-negara Timur Tengah-- Indonesia juga memperoleh ancaman keamanan dari
RRT. Kian seringnya
provokasi kapal-kapal penjaga pantai dan Angkatan Laut China di sekitar
perairan Natuna Utara menjadi urgensi bagi Indonesia untuk meningkatkan kerja
sama pertahananannya dengan AS. Lebih dari itu, Garuda Shield juga
menunjukkan bahwa kerja sama pertahanan bilateral lebih dari sekadar
jual-beli alat utama sistem persenjataan (alutsista). Evan Laksmana,
analis pertahanan CSIS dalam East Asia Forum juga menyatakan bahwa meskipun
modernisasi alutsista penting bagi penguatan TNI, namun peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) militer juga penting, salah satunya dengan
pelaksanaan latihan bersama. Peningkatan kerja sama strategis Indonesia-AS
panjang, maka akan terbentuk rencana jangka panjang yang tentunya sangat
substantif bagi peningkatan kualitas SDM TNI, apalagi terkait dengan kesiapan
menghadapi operasi militer. Tidak dapat
dipungkiri bahwa AS memang memiliki keunggulan tersendiri dalam hal ini,
seiring dengan pengalaman militer AS di berbagai medan pertempuran. Maka,
latihan bersama ini perlu dipandang secara positif sebagai bagian dari
tindakan strategis untuk menjaga politik luar negeri Indonesia tetap seimbang
di tengah aneka ketegangan geopolitik antara AS dan China. Dengan
kedekatan relasi ekonomi Indonesia kepada China pada era Joko Widodo,
perimbangan relasi dalam sektor pertahanan dengan AS menjadi keputusan yang
rasional. Ditambah, peningkatan kualitas SDM melalui latihan bersama juga
perlu menjadi fokus untuk modernisasi dan transformasi militer Indonesia. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5696973/garuda-shield-dan-perimbangan-politik-luar-negeri |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar