Senin, 09 Agustus 2021

 

Dokter Bukanlah Tumpuan Permasalahan

Ova Emilia ;  Guru Besar Bidang Pendidikan Kedokteran Pertama di Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM

KOMPAS, 9 Agustus 2021

 

 

                                                           

Sebanyak 598 dokter gugur sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia. (kompas.com, 28/7/2021). Gugurnya para pahlawan kesehatan itu disinyalir menjadi kerugian sekaligus kekhawatiran negara akan terjerembab dalam krisis pandemi berkepanjangan.

 

Kelelahan tenaga kesehatan dan paparan Covid-19 disebut menjadi pemicu tingginya angka kematian dokter. Pelayanan kesehatan kolaps. Jumlah dokter tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Beragam alternatif solusi pun mulai banyak ditawarkan. Penggunaan calon tenaga kesehatan sebagai sebuah solusi juga mulai digulirkan.

 

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kondisi darurat kesehatan di masa pandemi Covid-19 an sich karena kurangnya jumlah dokter? Ataukah karena karut-marutnya sistem layanan kesehatan yang gagap dalam menghadapi pandemi?

 

Kondisi darurat memang menuntut cara berpikir di luar ‘kenormalan’. Namun, pemetaan masalah yang komprehensif dan sistematis tetap penting untuk dilakukan, agar tidak menjadi tindakan serampangan yang justru hanya akan menambah keresahan.

 

Dokter dalam angka

 

Data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) 2019 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 89 fakultas kedokteran yang terdiri dari 38 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 51 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Jumlah kelulusan dokter umum di Indonesia berada dalam kisaran angka 13.000 per tahun. Tahun 2025 bahkan Indonesia diprediksikan akan berhasil meluluskan lebih dari 14.000 dokter baru per tahun.

 

Melimpahnya tenaga dokter menyimpan pertanyaan utama. Ke manakah mereka akan melabuhkan diri untuk mengabdi bagi negeri? Untuk distribusi tenaga dokter di Indonesia, masih cukup sulit untuk menemukan keharmonisan ‘data tunggal’. Data KKI bersumber pada jumlah Surat Tanda Registrasi (STR) dokter yang akan praktik.

 

Sedangkan data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Kementerian Kesehatan cenderung menunjukkan jumlah tenaga dokter yang menjalankan praktik klinik di rumah sakit (RS) ataupun puskesmas. Untuk data tenaga dokter dengan praktik klinik, belum terangkum di dalamnya.

 

Data BPPSDMK Kemenkes 2020 menunjukkan bahwa pada 2019 Indonesia memiliki 188.868 dokter. Dengan pertumbuhan jumlah lulusan dokter 13.650 per tahun (KKI, 2020) maka PPSDMK optimistis di 2030 Indonesia akan berhasil mencetak 325.368 dokter dengan tingkat atresi 2,5 persen per tahun.

 

Posisi ini akan membuat Indonesia mengalami surplus jumlah tenaga dokter 43.783 dalam kurun waktu 10 tahun dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 281.585 dokter (75 persen). Ini berarti Indonesia akan mencapai target SDGs setelah 7-8 tahun.

 

Data kecukupan jumlah tenaga kesehatan di Indonesia sejak awal sudah harus diperhitungkan. Pemerintah optimistis untuk meningkatkan jumlah lulusan ataupun pengadaan tenaga dokter. Namun, data sebaran jumlah dokter di Indonesia masih luput dari perhatian.

 

Sudah saatnya distribusi dokter bukan lagi bicara angka atau kecukupan berbasis rasio, tetapi harus mulai mempertimbangkan pemetaan karakteristik permasalahan kesehatan masing-masing wilayah, agar masyarakat mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan.

 

Undang-undang Pendidikan Kedokteran tahun 2013 telah menegaskan bahwa jumlah produksi tenaga dokter perlu melihat konteks kebutuhannya. Selain itu, jumlah dokter yang dihasilkan oleh institusi pendidikan perlu mempertimbangkan pos pengabdian yang akan diduduki, sehingga kerja sama Kementerian Kesehatan selaku pengguna serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, harus solid. Produksi dokter ini harus dijaga agar tidak menjadi surplus ataupun minus karena akan berdampak kurang baik bagi negara.

 

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) RI No 26 Tahun 2019 mengenai Peraturan Pelaksanaan UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, yang menetapkan bahwa dalam situasi darurat negara mengizinkan pendelegasian wewenang. Pendelegasian wewenang ini harus berbasis kompetensi, karena sumber daya kompeten menjadi marwah pelayanan kesehatan. Segala upaya peniadaan syarat kompetensi ini sama halnya dengan melakukan pelanggaran HAM.

 

Respons sistem kesehatan

 

Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2020 dalam dokumen Operational Planning Guidelines to Support Country Preparedness and Response memberikan sembilan aspek preventif bagaimana negara harus merespons pandemi.

 

Dari sembilan aspek itu, negara telah mengupayakan banyak hal seperti koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Satgas Covid-19 yang jadi ‘konduktor’ dalam membangun dan memperkuat surveilans serta laboratorium. Semua diusahakan dan dibangun cepat, karena situasi pandemi membuat semua pihak berpikir keras untuk bisa bertahan.

 

Komunikasi risiko serta pelibatan masyarakat harus didesain dengan matang. Ketiadaan komunikasi terpusat menjadikan masyarakat mengalami kebingungan dalam mengakses validitas informasi hingga terjebak pada disinformasi dan misinformasi kesehatan. Distorsi informasi dan komunikasi ini merugikan masyarakat. Di titik inilah peran negara diperlukan untuk turut mengendalikan informasi kesehatan.

 

Perilaku tidak patuh prokes, anjuran memakai ramuan atau tindakan tertentu justru meningkatkan paparan risiko infeksi, meningkatkan lonjakan kasus, dan meningkatkan risiko bagi dokter di garda pelayanan kesehatan.

 

Praktik pembatasan sosial seperti stigma dan pengucilan mulai dilakukan masyarakat kepada warga terpapar Covid-19. Tindakan ini justru membuat kegiatan surveilans tidak berjalan dengan sepenuh hati. Transparansi menjadi kunci keberhasilan surveilans. Namun, masing-masing daerah di Indonesia justru memiliki rapid response bervariasi, tergantung tingkat kesiapan daerah. Sebuah wilayah bahkan masih merasa khawatir jika daerahnya akan mendapatkan label “zona merah”.

 

Saat aspek preventif sudah dilaksanakan dengan konsekuen, maka antisipasi lonjakan kasus di fasilitas kesehatan bisa diupayakan, seperti memperluas kapasitas bangsal lapangan dan terpantau oleh sistem kesehatan. Praktik pelanggaran terhadap aspek preventif justru memberi konsekuensi pada banyaknya nakes gugur dalam tugas. Situasi bahkan semakin memburuk saat sebagian nakes memutuskan untuk mundur dari upaya pelayanan.

 

Sembilan aspek yang ditawarkan WHO di atas menunjukkan bahwa dokter bukan sumber tunggal krisis pelayanan kesehatan. Ada penyebab multifaktoral yang bisa direfleksikan bersama. Menipisnya jumlah dokter hanyalah imbas dari ketidaksiapan sistem layanan kesehatan, bukan menjadi tumpuan pokok permasalahan.

 

Penguatan kesehatan

 

Kompleksitas permasalahan krisis pelayanan kesehatan perlu dipahami secara komprehensif agar bisa memberikan tawaran alternatif solusi yang tepat. Pertama, pandemi Covid-19 bukan hanya menjadi masalah krisis tenaga dokter. Oleh karenanya perlu kerja sama lintas sektoral yang memungkinkan seluruh lini berperan, mulai dari masyarakat, institusi pendidikan, infrastruktur, logistik, sumber daya, sektor politik, ekonomi, bahkan budaya untuk mengatasi pandemi Covid-19.

 

Kedua, pemetaan distribusi dokter mendesak untuk dilakukan pemerintah. Pemetaan penting diupayakan untuk mendapatkan data riil penggiatan layanan kesehatan berbasis kebutuhan masyarakat. Ketiga, memperkuat puskesmas atau Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP) dengan tenaga dokter kompeten serta meningkatkan kompetensi dokter layanan primer secara formal sehingga memiliki status profesi unggul. Mengabaikan kualitas kompetensi hanya akan mempertaruhkan keselamatan masyarakat sekaligus melanggar hak kesehatan warga negara.

 

Krisis pelayanan kesehatan yang terjadi sampai dengan hari ini sekali lagi bukan hanya karena keterbatasan jumlah dokter. Tawaran solusi untuk mendayagunakan nakes yang belum kompeten justru menjadi bentuk ketergesaan yang membahayakan pasien, karena kompetensi dokter merupakan sebuah keutamaan dalam menjalankan mandat pelayanan kemanusiaan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar