Dari
Porang ke Daulat Pangan Adig Suwandi ; Praktisi Agribisnis; Analis Senior Nusantara
Sugar Community |
KOMPAS, 26 Agustus 2021
Ekspor
perdana hasil panen porang berbentuk butiran seperti beras asal Kabupaten
Madiun menandai sukses awal pemanfaatan sumber daya lahan untuk keperluan
diversifikasi bahan pangan. Kemampuan tersebut diharapkan dapat mereduksi
impor bahan pangan utama dan ketergantungan karbohidrat secara berlebihan terhadap
beras. Gerakan diversifikasi pun sudah terlalu lama diintroduksikan, tetapi
dalam praktik tidak mudah dilakukan secara terintegrasi. Selain
kalah pamor dibanding beras, tanaman lain dalam daftar prioritas juga tidak
mempertemukan kepentingan petani yang menginginkan harga kompetitif versus
pasar. Tanpa kepastian harga jual layak, tanaman lain sulit diharapkan bisa
berkembang baik meski diketahui nilai gizi dan kalorinya lebih dari beras. Keberadaan
padi sebagai tanaman penghasil beras telah lama dikenal, bahkan
bermetamorfosis jadi bagian dari budaya hingga mengantarkannya pada komoditas
bermuansa politis. Peningkatan produksi beras dilakukan melalui berbagai
metode, tetapi tetap saja berkejaran dengan jumlah penduduk. Negara
mengatur harga dasar (floor price) pada level terjaga menguntungkan petani
meski kadang tidak mudah diwujudkan, selain menambal stok dari jalur impor
apabila kondisi mencemaskan bermuara tereskalasinya harga harus dibayar
konsumen. Pemahaman kontekstual ekonomi beras begitu urgen guna mereformasi
kebijakan teragendakan lebih kompatibel terhadap kondisi obyektif, kebutuhan,
dan ekspektasi publik. Diversifikasi pangan Masih
belum lenyap dari memori kita tentang proyek mandiri energi berbasis jarak
pagar. Sosialisasi teknik budidaya dilakukan agar petani dapat memanfaatkan
setiap jengkal lahan miliknya guna mendukung perluasan basis energi yang
masih terlalu bias ke minyak bumi, tetapi alpa menentukan harga jual jarak
pagar secara wajar bagi petani. Proyek
tersebut pun berakhir gagal dan tidak jelas kelanjutannya. Rendahnya harga
jual hasil panen yang tidak sebanding biaya produksi sekaligus kalah
kompetitif dibanding tanaman lain pada gilirannya membuat tidak layak secara
ekonomi. Dalam
konteks porang yang berasal dari jenis umbi-umbian pun akan mengikuti alur
pemasaran produk tidak jauh berbeda meski pasar makin terkoneksi ke
episentrum jaringan global. Artinya, ekspor menjadi jauh lebih mudah, apalagi
belum banyak kompetitor dari negara lain masuk ke arena persaingan. Kolaborasi
antara petani pengelola usaha tani dan pabrikan pengolah hasil panen
hendaknya didesain sesuai format kemitraan baru berdasarkan kesetaraan peran
dan benefit ekonomi diperoleh. Dukungan teknis dan fasilitasi bagi petani
untuk bisa mengakses sumber-sumber pembiayaan menjadi urgen terkait modal
kerja dan ekspansi usaha. Meskipun
perkiraan konsumsi beras per kapita kita telah turun ke arah 92 kilogram per
tahun, jauh meninggalkan possi 135 kiogram dalam seperempat abad terakhir,
angka tersebut masih terlalu besar. Karena itu, dengan makin terdesaknya
lahan berpengairan teknis yang selama ini secara bergiliran dialokasikan
untuk budidaya padi dan palawija tergeser untuk kepentingan industri,
infrastruktur, dan pemukiman penduduk. Tidak
mudah mencari kompensasi melalui pencetakan sawah baru lengkap dengan
infrastruktur fisik pendukungnya, seperti jalan, jembatan, bendungan, dan
jaringan irigasi. Kondisi tadi belum termasuk tingkat kesuburan, kesesuaian
lahan, dan daya dukung ekologi bagi produktivitasnya secara berkelanjutan.
Lahan-lahan subur, khususnya di Jawa, telah terkooptasi kepentingan
non-pertanian sehingga suka atau tidak suka negara mesti mengeksekusi
pengembangan areal baru demi menyangga ketahanan pangan (food security) di
luar Jawa, termasuk food estate. Penurunan
rata-rata luas kepemilikan lahan individual (land holding capacity)
mengakumulasi keinginan bagi pemiliknya untuk lebih memilih tanaman cepat
menghasilkan dan mengendus keuntungan berlimpah. Harga jual produk menjadi
pertaruhan. Tidak mengherankan kalau kini areal persawahan yang secara
historis digunakan untuk budidaya padi dan tebu kini makin beragam
peruntukannya. Banyaknya
pabrik gula yang kekurangan areal dan jumlah tebu guna menopang operasional
produksinya, hingga berujung sebagian terpaksa dibeku-operasikan, menunjukkan
tingginya derajat pergolakan ekonomi petani guna mendapatkan hasil lebih dari
cara-cara konvensional. Konsekuensi logisnya, semua pihak mesti berbenah
diri, mengantsipasi perubahan lingkungan strategik, dan mereformulasi
platform transformasi cara bertani menggunakan basis agroteknologi terkini. Diversifikasi
pangan akan berjalan otomatis dan simultan selama petani merasa pendapatan
dan nilai keuntungan diperoleh mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
menutup semua kebutuhan sekaligus tahapan awal menuju penguatan daya saing
produk lokal berperspektif global. Opsi bebas petani dalam memilih komoditas
agribisnis yang dinilai paling profitable menggerakkan antusiasme ke sana,
apalagi untuk jenis tanaman seperti porang dan umbi-umbian lain yang sudah
lama disiasati. Tinggal bagaimana negara dan korporasi mendesain
diversifikasi agar tidak mengulangi kegagalan masa lalu. Agenda kolaborasi Di
luar domain ekspor, penting pula bagi Indonesua menggelorakan pemetaan ulang
atas kekuatan riil dan potensi tanaman penghasil pangan dalam konteks mencari
substitusi beras. Sudah telanjur salah ketika diversifikasi bergeser ke arah
gandum yang notabene belum dapat dibudidayakan di bumi tropika bernama
Indonesia. Ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu yang bertumpu impor
secara ekologis akan membuat bangsa ini rentan (vulnerable) saat stok dunia
menipis menyusul risiko gagal panen, perang, dan perubahan geopolitik
kawasan. Terganggunya
impor sejumah komoditas di masa pandemi menyusul lockdown di sejumlah kota
penting dunia mengharuskan bangsa ini semakin yakin akan pentingnya
kedaulatan pangan. Hanya bangsa berdaulat pangan piawai memainkan peran
mencukupi kebutuhan masyarakatnya terhindar dari bahaya laten kelaparan. Porang
menjadi contoh nyata keunggulan kompetitif sumber daya ekonomi untuk
mengakselerasi terwujudnya kemandirian pangan dan kapabilitas mengekspor. Pelajaran
dari masa lalu tentang korelasi erat antara petani penghasil produk dan
pabrikan pengolah hasil mengindikasikan prioritas atas transparansi,
akuntabilitas, dan responsibilitas di dalam mengelola aliansi strategik.
Dengan kata lain, sejak awal harus sudah teragendakan format kolaborasi atau
kemitraan bersifat saling mendukung dan saling menguntungkan. Melalui cara
itulah pengembangan produk bakal terakselerasi pula dengan hasil mampu
memperluas pilihan bahan pangan bagi bangsa sendiri, selain penajaman
orientasi ekspor ke pasar global. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/dari-porang-ke-daulat-pangan/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar