Uang
Digital Bank Indonesia Suryatin Setiawan ; Konsultan Digitalisasi dan Komisaris
TelkomTelstra |
KOMPAS, 29 Juni 2021
Judul di atas bukan dari
Bank Indonesia (BI) tetapi dari angan-angan saya yang muncul setelah
menyadari bahwa di tahun 2020 sudah ada 60 negara, atau 80 persen lebih bank
sentral di dunia yang sudah mulai setuju, menyiapkan atau melakukan uang
digital yang di terbitkan oleh bank sentral (central bank digital currency/CBDC). Momentum CBDC saat ini
dipacu oleh China yang sudah mulai menyiapkan diri sejak 2014 ketika uang
kripto Bitcoin mulai mendapat perhatian di China. Pada 2020, e-Yuan sudah
diuji coba di beberapa kota dan ambisi Pemerintah China berikutnya adalah
pada saat Olimpiade Beijing 2022, e-Yuan sudah dapat dipakai bahkan oleh para
turis. China diduga ingin
mematahkan dominansi global dollar AS sampai saat ini dan sebagai kekuatan
ekonomi nomor dua, China punya potensi untuk itu. Di tengah ketegangan antara
China dan AS yang memuncak saat ini ambisi e-Yuan itu sangat mungkin makin
membesar. Langkah China sudah juga
resmi diikuti oleh bank sentral Jepang, dua kekuatan besar ekonomi sudah
melangkah dan menjadi dorongan lebih besar seluruh ekonomi untuk menyiapkan
diri, termasuk Bank Indonesia (BI), karena CBDC kini hanya soal waktu saja. Faktor
penyulut Penyulut awal semua ini
adalah Bitcoin yang ikhtiarnya muncul dari tokoh misterius ‘Satoshi Nakamoto’
sebagai sikap berontak atas kegagalan sistem keuangan dunia tahun 2008 maka
lahirlah teknologi spektakular yang dikenal dengan nama Blockchain yang
ternyata potensinya merambah luas di luar soal uang. Sensasi terakhir yang
muncul dari Blockchain adalah NFT (non fungible token, atau cara sertifikasi aset
digital yang bersifat unik dan tak bisa dipalsukan atau ditukarkan), berupa
seni digital oleh artis Amerika Serikat (AS) Beeple yang laku dijual senilai
69 juta dollar AS! Seni atau aset digital
lain, mudah sekali digandakan dan disebarkan dan karenanya versi asli atau
originalnya disertifikasi dengan NFT sehingga bisa menjadi sangat bernilai. Bitcoin pada tahun 2010
terbukti bisa dipakai sebagai alat bayar (ditukar dengan pizza) namun
demikian kini lebih bersifat aset spekulatif yang diperdagangkan, yang pada
April 2021 mencapai nilai 63.000 dollar AS per Bitcoin. Karena sifatnya yang
fluktuatif, cara menerbitkannya yang unik atau sangat engineering dan memakan
energi listrik dan komputasi yang besar sekali serta ada batas maksimal
jumlah Bitcoin yang bisa ada di muka bumi ini maka Bitcoin tak bisa jadi alat
bayar normal. Penyulut kedua CBDC adalah
Facebook yang memunculkan konsep uang digital dunia dengan nama Libra yang
berbeda dengan Bitcoin, Libra dijamin oleh cadangan aset sehingga nilainya lebih
stabil dan cara pengelolaannya tidak berdasar demokratisasi total melainkan
diawasi oleh sebuah konsorsium dengan berbagai institusi swasta yang ternama
sehingga lebih mendekati sifat uang normal. Tentu saja Libra
membangkitkan kecemasan baru bagi semua bank sentral dan mendapat hadangan
sangat keras dari otoritas. Lalu, Libra surut dan melunak serta lahir kembali
dengan nama Diem. Dengan latar belakang itu
maka wajarlah jika BI juga sudah memulai menyiapkan diri untuk bisa
melahirkan e-Rp atau e-IDR, mata uang digital resmi Indonesia yang
diterbitkan dan dijamin serta dikendalikan oleh BI. Sesungguhnya daya tarik
CBDC bagi bank sentral itu jelas sekali, di antaranya adalah bahwa CBDC lebih
hemat karena tidak usah dicetak khusus agar sulit dipalsukan dan tidak bisa
lusuh untuk diganti yang baru (tantangan nyata bagi Peruri). Selain itu, mudah sekali
melacak semua transaksi (privasi data jadi isu tambahan) dan uang digital ini
tetap inklusif di era ekonomi digital karena bisa dipakai oleh publik yang tidak
punya rekening bank. Masyarakat Indonesia,
khususnya di kota besar, sudah dibiasakan melakukan pembayaran digital
melalui berbagai platform digital swasta sehingga kemudahan uang digital
bukan lagi jadi barang baru. Rancang
bangun e-IDR Desain e-IDR kemungkinan
besar mengambil pendekatan tetap menjaga kestabilan ekosistem keuangan
nasional. Membuat semua bank komersial tetap bisa beroperasi walaupun akan
ada beberapa perubahan sebab dengan CBDC teoretis, kalau BI mau, setiap WNI
dapat bertransaksi langsung dengan BI juga. BI rasanya akan menjaga
agar simpanan uang di bank komersial tetap normal dan tetap dengan suku
bunga, tidak seperti uang kripto. e-IDR didapat publik dari menukarkan
simpanan di rekening lalu e-IDR bisa ditransaksikan melalui aplikasi e-IDR
yang dikeluarkan dan dikelola oleh BI langsung. Aplikasi pembayaran digital
swasta tentu juga akan menerima transaksi e-IDR. Era e-IDR yang inklusif
tadi diwujudkan dengan token digital yang bisa ditransaksikan langsung dari
orang ke orang melalui dompet digital di telepon seluler masing-masing. Peredaran token ini
biasanya hanya untuk transaksi jumlah terbatas saja karena transaksi
peer-to-peer semacam ini tidak lewat aplikasi bank sentral ataupun swasta
(walaupun registrasi awal mungkin diharuskan) sehingga tidak bisa ditelusuri
dengan mudah. Akan rawan kalau jumlah transaksi token tidak dibatasi. Token digital juga tentu
akan jadi sasaran pemalsuan dan benar harus dijaga agar ‘uang token digital
palsu’ tidak terjadi. Pemalsuan uang digital dampaknya bisa jauh lebih
spektakuler dari uang kertas atau koin palsu karena masif dan lebih sulit
dikenali secara awam. Peruri bisa punya peran lagi dalam soal ini. E-IDR kelihatannya juga
akan menggunakan sebagian dari teknologi Blockchain dan juga mengadopsi versi
modifikasi dari Teknik DLT (distributed ledger technology) yang dipakai uang
kripto, seperti halnya Diem. Artinya, tidak hanya BI
yang secara sendiri mengawasi dan menjamin semua transaksi e-IDR sah dan
legal melainkan dilakukan bersama-sama dengan berbagai lembaga yang diberi
otoritas untuk ikut serta mengoperasikan simpul komputasi di dalam jaringan
DLT e-IDR. Para bank komersial, misalnya, bisa ikut menjadi authorized DLT
node operator sehingga bersama BI memberikan jaminan keamanan transaksi
e-IDR. Cara distributed
governance ini lebih disukai publik di era CBDC karena lebih memberikan rasa
yakin dan aman. Berbeda dengan kalau jaminan keamanan transaksi hanya
dilakukan oleh BI semata. Bisa diduga BI akan
menjadi inisiator persiapan e-IDR dan melibatkan berbagai pihak termasuk
praktisi teknologi agar bisa terwujud dengan aman dan baik. BI akan yang
terdepan namun para pemangku kepentingan (stakeholder) sebaiknya bisa diajak
mewujudkan e-IDR ini. Melihat derasnya dorongan global, saya memperkirakan
e-IDR mungkin bisa menjadi kenyataan pada 2025. Publik tak usah juga
khawatir, sebab CBDC e-IDR dan juga semua CBDC tidak akan pernah menggantikan
sepenuhnya uang normal yang ada karena banyak pertimbangan, termasuk misalnya
pengguna uang yang masih di bawah umur, penyandang cacat, mereka yang tidak
punya akses teknologi yang juga punya hak bertransaksi sama dengan yang lain
sebagai warga negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar