Turbulensi
Kehidupan Yasraf A Piliang ; Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB |
KOMPAS, 22 Juli 2021
Hari-hari terakhir ini
lukisan kehidupan anak bangsa amat memprihatinkan, mencekam, bahkan
menakutkan. Hampir setiap kali kita membuka postingan pesan Facebook, WAG
atau Twitter, berderet panjang berita tentang teman, adik, kakak, ibu, ayah
atau sanak saudara lainnya yang terinfeksi Covid-19, dirawat di rumah sakit,
diisolasi mandiri, dijemput ambulans, sekarat di tempat tidur, hingga
mengembuskan napas terakhir. Juga, berita-berita media
tentang rumah sakit-rumah sakit yang kewalahan menampung pasien, kelangkaan
tabung oksigen, jalan-jalan yang ditutup, antrean di pemakaman—semuanya adalah
lukisan muram anak bangsa yang tengah berjuang keras untuk hidup. Semua ini tidak hanya
tentang aroma ketakutan, kesedihan dan derai air mata, tetapi juga tentang
lorong ketakpastian hidup. Anak bangsa ini ada di lorong panjang ketakpastian
itu: antara terinfeksi atau imun, sehat atau sakit, negatif atau positif,
pulih atau meninggal, tetap di rumah atau bepergian, dapat makan atau
kelaparan, terus bekerja atau diberhentikan. Pasung ketidakpastian ini
menelikung segenap lapisan masyarakat, setiap kelas sosial, semua kelompok
gaya hidup, seluruh suku dan segala ras—tidak ada yang tersisa. Inilah titik
ambang batas (threshold) dalam
dunia kehidupan, yang menyisakan kebimbangan dan kegamangan hidup—the turbulence of lifeworld. Dalam segala keterbatasan,
manusia tentu berupaya melepaskan diri dari telikung ketakpastian ini.
Misalnya, upaya pemerintah memberlakukan aturan pemberlakuan pembatasan
kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat mulai tanggal 3 Juli lalu di beberapa
wilayah. Meskipun belum maksimal,
setidaknya ada efek perubahan gerak-gerik masyarakat—individu, kelompok,
komunitas—ke arah kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Meningkatnya penjualan
beberapa jenis vitamin dan suplemen setidaknya juga menjadi indikator bahwa
masyarakat berusaha meningkatkan imunitas tubuh mereka. Artinya, dalam
telikung ketidakpastian, gerakan “perang melawan virus” itu tetap hidup! Turbulensi
sosial Pandemi Covid-19—khususnya
varian baru Delta—layaknya hantaman tsunami, telah menimbulkan kekacauan,
ketakpastian dan turbulensi dalam kehidupan sosial. Efek kepanikan dari
turbulensi ini telah mengancam ketahanan fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Turbulensi secara
filosofis adalah keadaan antara atau mengambang: antara keberaturan dan
kekacauan, antara kepenuhan dan kehampaan, antara determinisme dan
indeterminisme, antara ada dan tiada, antara yang dapat diprediksi dan
tak-dapat diprediksi, antara integrasi dan disintegrasi, antara kesatuan dan
keterpecahan, antara sehat dan sakit, atau antara hidup dan mati. (Serres,
1998) Turbulensi lahir karena
ada pengganggu atau recok (noise), seperti virus atau parasit. Dan, Covid-19
adalah sang pengganggu itu, yang merecoki kehidupan anak bangsa. Virus dan parasit
sama-sama pembonceng, perecok, pembajak dan penumpang gelap pada tubuh
manusia sebagai inang, yang dapat menimbulkan efek kerusakan multi-dimensi.
Ada hubungan asimetris antara parasit dan inang. Inang memberi semuanya, dan
tak mengambil apapun. Sebaliknya, parasit
mengambil semuanya dan tidak memberi apapun. (Serres, 1995). Pandemi Covid-19
menimbulkan turbulensi kehidupan karena ia merecoki kehidupan biologis,
sosial, ekonomi, politik dan kultural anak bangsa, bahkan merusak peradaban—the noise of civilization. Turbulensi menciptakan
ambang batas bersifat multidimensi: fisik, sosial, psikis dan kultural.
Ambang batas adalah sesuatu yang mengambang atau terombang-ambing pada garis
batas. (Kristeva, 1991). Pandemi Covid-19 telah menciptakan titik ambang
batas fisik: antara imun dan terinfeksi, antara sehat dan sakit, antara hidup
dan mati. Ia juga menciptakan
kondisi ambang batas psikis: antara aman dan terancam, antara tenang dan
takut, antara lepas dan terkungkung. Ia juga menciptakan ambang batas sosial:
antara berkumpul dan berjarak, antara kebebasan dan isolasi, antara integrasi
dan disintegrasi. Kondisi ambang batas ini telah memperkelam lorong
ketakpastian. Covid-19 telah menimbulkan
kekacauan, keacakan dan ketakpastian dalam aneka skala. Ketakpastian lalu
membawa pada kondisi ketakter-prediksi-an maksimum pada aneka sistem, karena
tingginya jumlah pilihan-pilihan dan sifatnya yang acak: sosial, ekonomi,
politik, budaya, seni. (Campbell, 1984). Tetapi, harus diingat,
recok sudah setua sejarah penciptaan manusia, yang sudah ada sejak awal
kejadian manusia di bumi. Iblis yang merayu Adam dan Hawa agar memakan buah
kuldi adalah satu bentuk recok pertama. Recok kemudian menjadi “panggung
belakang” dari seluruh sejarah kehidupan manusia hingga kini dan juga
seterusnya nanti. (Serres, 1998). Selain itu, pandemi Covid-19,
layak pula menjadi sebuah bahan refleksi diri tentang makna kehidupan. Beban
derita dan ketakutan yang dialami manusia akibat pandemi Covid-19 memang
tidak terlukiskan. Akan tetapi, dalam kondisi normal, bukankah manusia itu
juga virus dan parasit? Meniru perilaku virus,
manusia juga pembonceng dan recok bagi manusia lain serta alam. Manusia
menguras sumberdaya alam demi pemuasan hasrat, tanpa pernah memberi apapun
sebagai imbalan. Manusia juga “mempermudah” pandemi Covid 19, karena virus
“membonceng” pada kemudahan yang disediakan teknologi produksi, transportasi,
dan distribusi global ciptaan manusia. Meskipun demikian, “perang
melawan virus” toh harus tetap digelar demi mempertahankan hidup.
“Bio-politik” adalah jalan politik untuk mempertahankan hidup dalam sebuah
sistem dan kondisi yang ada. Sementara, bio-power adalah “hidup yang menjadi
sasaran komando politik,” (Foucault, 1986). Anak bangsa kini terlibat
di kedua bentuk “politik” ini. Di satu pihak, setiap orang harus
mempertahankan hidup dalam ancaman hebat pandemi, dengan segala cara. Di
pihak lain, pemerintah menggunakan otoritasnya untuk mengatur, mengendalikan
dan membatasi masyarakat, demi mengurangi dampak pandemi Covid-19. Konflik terjadi, ketika
ada jurang antara bio-politik dan bio-power, yaitu kontradiksi antara
gerak-gerik masyarakat dalam mempertahankan hidup dan gerak gerik pemerintah
dalam mengatur. Kian besar jurang antara gerak-gerik masyarakat dan
pengaturan pemerintah, kian besar efek turbulensi dan ketakpastian yang ditimbulkan
dalam perang melawan virus, seperti yang terjadi di beberapa negara. Sebaliknya, kian melekat
chemistry antara suasana batin masyarakat dan langkah kebijakan, program dan
gerak-gerik pemerintah, kian tangguh mesin perang anak bangsa melawan virus. Resiliensi
budaya Seberat apapun beban
kehidupan, respons melawan virus harus diberikan, untuk tetap bertahan hidup.
Resiliensi adalah respons kognitif, perilaku dan emosi yang fleksibel
terhadap aneka kesulitan, yang sangat ditentukan oleh sikap dalam menghadapinya. Ia adalah jalan untuk
membangun kebertahanan dan bangkit dari kesulitan bersifat disruptif, seperti
pandemi Covid-19. (Neenan, 2018). Aneka cara, metode, dan
teknik telah dilakukan oleh berbagai elemen bangsa untuk meningkatkan
kebertahanan menghadapi efek pandemi. Proses pemulihan mungkin akan panjang,
yang akan menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru. (Fiksel, 2015) Akan tetapi, resiliensi
harus didukung oleh pemahaman komprehensif, terintegrasi dan mendalam tentang
virus dengan segala dimensinya. Selain sudut pandang virologi, virus harus
dilihat dari sudut pandang lebih luas dan terintegrasi: sosial, politik,
ekonomi, budaya, seni dan keagamaan. Patografi adalah
pendekatan lintas-disiplin macam ini, sebagai ramuan narasi historis,
biologis, sosial, politik, ekonomi dan kultural penyakit dan penularannya.
Inilah metanarasi tentang krisis atau penyakit di ruang-waktu tertentu,
termasuk pandemi Covid-19 dan aneka variannya. (MacPhail, 2014) Dalam perang melawan
Covid-19, selain lintas-disiplin, diperlukan pula pendekatan lintas-sektoral
dan lintas-institusional. Pada tingkat akademis, perlu dihasilkan pemikiran,
konsep, sistem, bentuk atau produk-produk terkait virus melalui aneka temuan
ilmiah lintas-disiplin, yang melibatkan aneka disiplin kedokteran, virologi,
sains, teknologi, sosiologi, ekonomi, psikologi, kebudayaan, seni, dan
lain-lain. Pada tingkat
kepemerintahan, perlu kebijakan, program dan tindakan lintas-sektoral dan
lintas-institusional terintegrasi. Pada tingkat masyarakat, perlu gerakan
akar rumput tingkat individu, komunal dan sosial dalam semangat “gotong
royong” mengatasi masalah bersama, melampaui segala perbedaan sosial-politik. Selain itu, perlu
optimalisasi dan integrasi atas tiga upaya yang tengah dilakukan. Pertama,
memaksimalkan kepatuhan terhadap prosedur kesehatan yang sudah digariskan
secara nasional. Kedua, memaksimalkan imunitas diri sesuai dengan kemampuan,
dan bila memungkinkan menemukan gagasan-gagasan inovatif terkait kebertahanan
dan imunitas. Ketiga, intensifikasi
pendekatan diri kepada Tuhan melalui doa, karena agama mengajarkan bahwa
segala penyakit pasti ada obatnya. Memang, virus tak bisa dibasmi karena ia
bagian historis keseimbangan alam. Tetapi, ia harus dilawan untuk meredam
guncangan turbulensi dan efek merusaknya pada kehidupan. Semoga anak bangsa
diberi kekuatan, imunitas dan kesehatan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar