”Taper
Tantrum” Ancam Pemulihan Ekonomi Agus Sugiarto ; Kepala OJK Institute |
KOMPAS, 30 Juni 2021
Dalam beberapa waktu
terakhir ini muncul diskusi yang cukup panjang mengenai potensi munculnya
fenomena "taper tantrum" sebagai dampak dari kebijakan moneter
Amerika Serikat dalam beberapa waktu mendatang. Istilah taper tantrum
menjadi populer pada 2013 yang lalu ketika gubernur bank sentral Amerika
Serikat (The Fed) saat itu ingin mengurangi kebijakan moneter yang ekspansif
sejalan dengan mulai membaiknya perekonomian negara tersebut. Sebelumnya,
kebijakan moneter yang ekspansif itu dilakukan melalui quantitative easing,
yaitu dengan mengalirkan likuiditas yang lebih banyak ke pasar dengan membeli
surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah AS. Likuiditas tersebut sangat
diperlukan untuk mendongkrak kembali perekonomian Amerika Serikat yang
dilanda kelesuan selama beberapa tahun sebelumnya. Namun seiring dengan mulai
pulihnya ekonomi dan untuk mencegah terjadinya overheating maupun inflasi
yang berlebihan, maka The Fed menganggap perlu menginjak pedal rem untuk
mengurangi kebijakan quantitative easing secara perlahan-lahan. Kondisi ini bisa terjadi
karena untuk mengurangi kebijakan moneter yang ekspansif itu The Fed harus
menaikkan suku bunga acuannya, sehingga sebagian likuiditas kembali disedot
masuk ke dalam sistem moneter melalui perbankan. Tak pelak lagi dampak dari
taper tantrum tersebut membawa dampak berantai terhadap perekonomian global. Pasar surat utang menjadi
terganggu karena volatilitas terjadi bukan hanya di negara-negara maju saja,
melainkan juga di berbagai negara sedang berkembang. Perubahan kebijakan
tersebut menimbulkan gejala taper tantrum, antara lain dengan merosotnya
harga surat utang di pasar global sehingga imbal hasil (yield) surat berharga
menjadi lebih tinggi. Sebuah penelitian dari
Estrada, Park dan Ramayandi (2015), menunjukkan bahwa pasar surat utang
maupun saham sangat terpengaruh oleh adanya fenomena taper tantrum tersebut.
Nilai tukar beberapa mata uang dunia terdepresiasi terhadap mata uang dollar
AS. Dampak lain yang sangat
menakutkan adalah terjadinya arus pembalikan modal ke negara adidaya
tersebut, sehingga arus modal keluar (capital outflow) dari negara-negara
sedang berkembang tidak bisa terhindarkan lagi. Meluasnya dampak dari
taper tantrum tersebut sangat dahsyat dan terjadi di hampir di semua negara,
mengingat konektivitas perekonomian global antara satu negara dengan negara
lainnya sudah tidak ada batasnya lagi. Kondisi tersebut sangat
berpengaruh terhadap perekonomian negara-negara sedang berkembang, khususnya
pada negara-negara yang masuk kelompok emerging market, seperti Brasil,
India, Afrika Selatan, Turki, dan Indonesia. Bagi Indonesia sendiri, taper
tantrum yang terjadi pada pertengahan 2013 tersebut juga memberikan dampak
yang besar, walaupun ekonomi Indonesia sendiri pada saat itu dalam kondisi
yang baik. Saat itu pertumbuhan
ekonomi Indonesia di kisaran 5 - 6 persen, namun tetap tidak memiliki
imunitas dan kekebalan yang cukup menghadapi fenomena taper tantrum tersebut. Beberapa fakta yang
terjadi pada saat terjadinya taper tantrum pada tahun 2013 adalah, dapat
dilihat bahwa rupiah sempat tersungkur dari Rp 9.790 menjadi Rp 14.730 (turun
50,4 persen) per dollar AS, sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga
mengalami kemerosotan dari 5.207 menjadi 3.967 atau turun 23,3 persen. Fakta-fakta tersebut
membuktikan bahwa tidak ada jaminan walaupun ekonomi kita dalam keadaan
sedang tumbuh positif dan berkembang pesat, kita bisa terhindar dari dampak
taper tantrum tersebut. Potensi
munculnya "taper tantrum" 2.0 Pandemi Covid-19 yang
terjadi di hampir semua negara memaksa bank sentral mereka menggelontorkan
likuiditas dengan kebijakan moneter yang ekspansif, guna mendukung pemulihan
ekonomi. Kebijakan tersebut dilakukan dengan menurunkan suku bunga acuan dan
pembelian surat utang. Setahun setelah pandemi
berlalu, beberapa negara sudah menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi yang
lebih cepat dari yang diperkirakan, seperti Amerika Serikat, China,
Australia, Hong Kong dan Taiwan. Pemulihan tersebut tercermin dari
pertumbuhan ekonomi yang sudah positif dan naiknya angka inflasi bulanan,
sehingga kebijakan moneter ekspansif mungkin perlu dikurangi sedikit demi
sedikit. Amerika Serikat sebagai
sentral dari ekonomi global telah memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang
positif pada triwulan I-2021, yaitu 6,4 persen (year on year/yoy), dan
diproyeksikan pada triwulan II-2021 akan mencapai 8,6 persen (yoy). Angka inflasi pada bulan
April 2021 bahkan telah mencapai 4,2 persen (yoy), sebuah pencerminan dari
naiknya tingkat konsumsi masyarakat di tengah ancaman pandemi yang belum
selesai. Melesatnya pemulihan
ekonomi negara adidaya tersebut disebabkan oleh tiga faktor, yaitu
berhasilnya paket stimulus ekonomi, belanja infrastruktur yang sangat besar,
dan suksesnya program vaksinasi. Oleh karena itu, apabila The Fed menarik rem
kebijakan moneternya yang ekspansif, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak
besar bagi negara-negara yang saat ini masih mengalami resesi ekonomi,
termasuk di Indonesia sendiri. Para pengamat ekonomi
sendiri terbelah pendapatnya terkait dengan ramalan munculnya taper tantrum
jilid kedua tersebut. Di satu sisi para ekonom menyatakan bahwa potensi
munculnya taper tantrum sangat kecil sekali pada saat ini karena beberapa
alasan. Pertama, fundamental
ekonomi global sekarang ini relatif lebih kuat dibandingkan dengan kondisi
ekonomi global tahun 2013 lalu. Fundamental ekonomi negara-negara maju maupun
emerging market, termasuk Indonesia, saat ini juga lebih solid dibandingkan
dengan situasi tahun 2013. Kedua, The Fed tentunya
telah belajar banyak dari pengalaman tahun 2013 bahwa menarik rem kebijakan
quantitative easing tidak boleh terlalu drastis dan perlu dilakukan secara
perlahan-lahan. Tujuannya sangat jelas, untuk mencegah guncangan finansial
(financial shocks) yang bisa terjadi di pasar keuangan global. Ketiga, adanya keyakinan
dari para investor maupun pemerintahan di berbagai negara yang sudah memiliki
instrumen dan kebijakan yang ampuh untuk mengatasi potensi munculnya taper
tantrum tersebut. Namun, di sisi lain
sebagian pakar ekonomi menilai bahwa taper tantrum masih mungkin terjadi lagi
di era pandemi sekarang ini, berdasarkan atas beberapa argumen. Pertama, pemulihan ekonomi
akibat pandemi Covid-19 yang lebih cepat dari perkiraan, khususnya di
beberapa negara maju, terutama Amerika Serikat, mendorong mereka untuk segera
mengubah kebijakan moneter ekspansif mereka. Perubahan kebijakan moneter
negara adidaya tersebut memiliki dampak sistemik ke hampir semua negara. Kebijakan moneter yang
bersifat ekspansif yang diambil selama pandemi memang harus memenuhi unsur
3T, yaitu timely, targeted dan temporary. Artinya kebijakan tersebut
dikeluarkan oleh pemerintah di waktu yang tepat, dengan target yang jelas,
serta bersifat sementara. Apabila perbaikan ekonomi sudah berangsur-angsur
terjadi, maka kebijakan moneter yang ekspansif harus dikurangi untuk menjaga agar
roda perekonomian tidak memanas dan mengancam laju inflasi. Kedua, saat ini masih
banyak negara yang sedang berkembang maupun emerging market yang belum keluar
dari jurang resesi, sehingga sebagian besar masih mengandalkan kebijakan
moneter yang ekspansif, baik melalui quantitative easing maupun suku bunga
rendah. Dengan pengetatan
likuiditas, perbedaan suku bunga antara negara maju yang sudah pulih dari
resesi dengan negara-negara berkembang yang masih berjuang mengatasi resesi
menjadi semakin lebar. Akibatnya, capital outflow dari negara-negara
berkembang bisa menjadi semakin deras, sehingga mengganggu proses pemulihan
ekonomi negara-negara tersebut. Ketiga, kondisi tahun 2021
sangat berbeda dengan tahun 2013 lalu di mana saat itu tidak ada krisis kesehatan
sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Salah satu upaya untuk mengatasinya
dengan melakukan program vaksinasi guna menciptakan kekebalan komunitas (herd
immunity) di masyarakat. Semakin cepat tercipta
herd immunity tersebut tentunya akan mempermudah pemulihan ekonomi global
maupun nasional. Namun tidak semua negara mendapatkan kesempatan pemerataan
vaksinasi, mengingat sebagian besar vaksin yang tersedia masih dalam
genggaman negara-negara maju tempat produsen vaksin tersebut berada. Tanpa adanya pemerataan
vaksinasi, maka pemulihan ekonomi negara-negara yang sedang berkembang
menjadi semakin sulit, sementara ekonomi negara-negara maju justru melaju
semakin kencang. Dengan terwujudnya herd immunity, maka pemulihan ekonomi
negara-negara maju menjadi lebih cepat, sehingga secara perlahan-lahan
kebijakan moneter yang ekspansif akan digantikan dengan pengetatan
likuiditas. Dampak
bagi Indonesia Apabila taper tantrum
benar-benar terjadi nantinya, bukan sesuatu yang mustahil jika dampaknya juga
akan merambat ke negara-negara lain, termasuk Indonesia sendiri. Munculnya
taper tantrum tersebut akan berpotensi menimbulkan beberapa gejolak atau
gangguan. Pertama, nilai tukar
rupiah kemungkinan akan terdepresiasi, seperti yang terjadi pada tahun 2013
lalu, namun sulit diprediksi sampai seberapa jauh penurunannya. Depresiasi
rupiah tersebut tentunya akan memukul investasi dan kegiatan usaha yang
terkait dengan pembiayaan dalam valuta asing. Kedua, indeks harga saham
tentunya juga akan mengalami tekanan cukup besar karena investor asing yang
memegang surat utang dan saham lokal kemungkinan akan menjualnya, sehingga
untuk sementara waktu dana-dana asing berpotensi balik ke negara-negara
mereka. Ketiga, biaya penerbitan
surat utang, baik itu obligasi pemerintah ataupun obligasi swasta, menjadi
lebih mahal, karena penerbit surat utang harus memberikan imbal hasil yang
lebih tinggi guna menjaga selisih suku bunga yang lebih kompetitif sebagai
akibat naiknya suku bunga acuan dari negara adidaya itu. Keempat, kenaikan suku
bunga acuan sebagai antisipasi dampak taper tantrum akan memukul upaya
intermediasi perbankan, sehingga suku bunga kredit ikut terkatrol naik.
Kondisi ini bisa mengganggu upaya pemulihan ekonomi nasional mengingat
permintaan kredit perbankan saat ini masih jauh dari harapan, padahal kredit
perbankan bisa jadi salah satu pendorong perbaikan ekonomi. Perlu
"siaga 1" Kita berharap bahwa taper
tantrum tidak akan terjadi lagi di tahun 2021 ini, tapi tidak seorangpun yang
mampu memberikan kepastian dan jaminan bahwa hantu taper tantrum memang
benar-benar tak akan muncul kembali. Oleh sebab itu, dari sejak
dini kita perlu mengantisipasinya dengan melakukan siaga 1, yaitu dengan
menyiapkan berbagai kebijakan yang memang nantinya diperlukan apabila taper tantrum
tersebut benar-benar muncul. Antisipasi kebijakan dari
sejak dini sangat dibutuhkan untuk menghadapi dampak berantai dari taper
tantrum tersebut, agar kita memiliki cukup waktu untuk menyiapkan kebijakan
yang responsif dan akomodatif sehingga kita sudah siap menghadapinya. Guna mencegah dampak
berantai dari taper tantrum tersebut, tentunya Bank Indonesia juga sudah
mengantisipasinya dan akan melakukan beberapa penyesuaian terkait dengan
kebijakan moneter longgar yang sudah berjalan selama ini. Tidak menutup kemungkinan
kebijakan moneter yang ekspansif berangsur-angsur berubah menjadi kebijakan
kontraksi moneter untuk memperlambat intervensi likuiditas ke pasar. Suku
bunga acuan yang saat ini sudah rendah sekali bisa jadi akan naik kembali
secara perlahan-lahan, sehingga dapat memperlambat penyaluran kredit yang
saat ini masih lemah permintaannya. Beban lainnya adalah
kemungkinan bertambah besarnya biaya intervensi untuk menjaga nilai tukar
rupiah agar tetap terjaga di kisaran angka yang stabil. Kebijakan fiskal maupun
mikro prudensial juga perlu tetap diteruskan untuk menjaga tingkat konsumsi
yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional sebelum pandemi
terjadi. Semua kebijakan tersebut sangat diperlukan guna memperkuat
fundamental ekonomi makro Indonesia agar mampu keluar dari resesi, maupun
mengantisipasi datangnya ancaman taper tantrum. Semoga perekonomian
Indonesia di triwulan II-2021 nanti tumbuh positif, sehingga kita bisa keluar
dari jalur resesi dan dampak dari taper tantrum dapat ditekan serendah
mungkin. Selain itu, program
vaksinasi nasional yang telah berjalan sekarang ini perlu segera dipercepat
guna mendukung pemulihan ekonomi nasional. Pelajaran berharga dari Amerika
Serikat sedikit banyak membuktikan bahwa ternyata kesuksesan program
vaksinasi menjadi salah satu kunci pemulihan ekonomi negeri adidaya tersebut.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar