Surealisme
Dunia Baru Bre Redana ; Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu |
KOMPAS, 11 Juli 2021
Saya melihat dunia saat
ini sebagai sesuatu yang surealistik. Perginya orang-orang yang dikasihi,
kesedihan, kecemasan, masa mendatang yang kabur membuat dunia tidak lagi
tampak sebagaimana mestinya. Ikut mendistorsi dunia adalah banjir bandang
informasi, termasuk di dalamnya disinformasi, hujatan, mobilisasi pendapat
untuk mendukung kebohongan publik, dan lain-lain. Sehari-hari selain
dikepung informasi yang tidak ada relevansi dengan kehidupan diri sendiri,
kita menyaksikan akrobat mereka yang punya kekuasaan mempertontonkan
privilege yang mereka miliki. Mereka boleh ngomong sesukanya, mencla-mencle
semaunya, melanggar semua aturan, beda nasib dengan orang yang tidak memiliki
apa-apa. Termasuk di dalam privilege tadi kekebalan mereka terhadap hukum dan
keadilan. Lama-lama, seperti disebut
Rolf Dobelli yang menulis beberapa buku mengenai pengaruh media digital
terhadap kerja otak, terjadi learned helplessness. Rakyat kecil merasa tak
berdaya. Tak bisa apa-apa melihat penegak hukum yang melakukan korupsi besar
mendapat hukuman kecil, kecuali merasa kian tak berdaya. Kita bisa mengontrol tindakan,
ucapan, tapi tidak perasaan. Tidak ada sensor untuknya. Dunia saat ini sangat
menyedihkan. Apalagi negeri ini. Selalu berada di kelompok urutan atas dalam
hal keterbelakangan, dan di urutan bawah dalam literasi atau kemelek-hurufan. Saya selalu percaya bahwa
yang bisa menyelamatkan dunia salah satunya adalah literasi—sampai nanti ada
ganti kebenaran baru yang bisa lebih meyakinkan saya. Ada ayat dalam kitab yang
intinya berbunyi ”pada mulanya adalah kata”. Dengan ditemukannya abjad,
kata, bahasa, spesies manusia mengalami evolusi, memiliki kesadaran,
meninggalkan spesies lainnya. Bersama perkembangan bahasa kemudian muncul
peradaban. Dari zaman kegelapan mencapai pencerahan, termasuk hasilnya,
pencapaian teknologi yang kemajuannya menimbulkan banyak kerusakan disertai
sedikit manfaat. Dunia yang dibentuk oleh
krida bahasa akan diganti oleh dunia baru, dunia digital visual. Supremasi
bahasa telah lama merosot diganti image. Mereka yang fasih dalam era digital
tahu belaka, penggemar unggahan video jumlahnya jutaan kali lipat dibanding
unggahan teks, kata-kata. Kata-kata yang tidak
disemai dan dipelihara pada akhirnya sekarat. Dia tidak lagi mampu
mengembangkan daya imajinasi dan kognisi, melainkan semata-mata alat
komunikasi dan ekspresi, itu pun terbatas untuk ungkapan benci sekali atau
kebalikannya, suka sekali, mendukung sekali. Manusia terpolarisasi dalam dua
kutub tersebut. Seiring kematian bahasa
berakhir dunia yang dibentuknya. Dunia yang telah membawa manusia pada
puncak-puncak kebudayaan akan menjadi ”yesterworld”. Kita masuk dunia baru,
yang seperti saya sebut di atas, sebuah dunia dengan penampakan
surealistik—dunia distopia. Mengenai dunia yang
surealistik itu sebagai pengarang pikiran saya mengembara, membayangkan janji
bertemu teman. Dia pejabat. Baru pulang dari pertemuan penting di luar Jawa.
Dia bepergian ke mana-mana. Saya menanti dia di taman
tanpa pohon, bunga, rerumputan, hanya ada layar digital dan kamera-kamera
monitor. Semua orang mendengar dan melihat apa yang diucapkan dan dilakukan
orang lain. Tengah menanti saya
mendengar percakapan dua orang di bangku taman. Kemarin ibunya meninggal,
begitu saya dengar ucapan satu di antara mereka. Anak gadisnya datang dari
luar kota untuk mengurus pemakaman ibunya, lanjutnya. Pulang kembali ke
kotanya sang anak ambruk. Lalu meninggal. Mempertimbangkan kondisi baru saja
ditinggal istri, ayahnya tidak diberi tahu anaknya meninggal. Sehari kemudian
giliran sang ayah meninggal. Mendengar cerita tadi
tiba-tiba saya dicekam ketakutan. Saya takut ia tidak muncul. Jangan-jangan
ia meninggal. Untung sebelum
kekhawatiran berlanjut saya lihat dia. Hanya saja dia tampak
beda, tidak seperti yang dulu. Ia seperti mayat hidup. Apa yang terjadi padamu?
Kamu dingin dan beku. Saya ceritakan apa yang
baru saja saya alami padanya. Dia tertawa
terbahak-bahak. Kamu terlalu berilusi.
Nasib saya tidak akan seperti mereka. Saya istimewa. Sebentar lagi akan
dibangun rumah sakit khusus pejabat. Saya pejabat, saya selalu selamat,
katanya bungah. Saya kaget mendengar
reaksinya. Kamu tidak waras, kata
saya. Dia tambah terbahak-bahak. Sadarlah saya, dalam dunia
surealis ini ia benar-benar tidak waras. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar