SDGs
dan Transformasi Ekonomi Suharso Monoarfa ; Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas |
KOMPAS, 5 Juli 2021
Indonesia kini masuk dalam
salah satu periode paling bersejarah dan menantang. Diproyeksikan pada 2036,
negeri ini akan keluar dari perangkap pendapatan menengah ("middle
income trap") dan menjadi negara maju. Visi Indonesia 2045 adalah
Indonesia sebagai negara maju dan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi
terbesar kelima dunia. Skenario sebelum pandemi Covid-19 tersebut,
mensyaratkan pertumbuhan ekonomi 5,7 persen per tahun untuk lepas dari
perangkap pendapatan menengah pada tahun 2036. Namun pascapandemi
mensyaratkan dengan pertumbuhan 6 persen, Indonesia baru bisa graduasi dari
perangkap pendapatan menengah. Itupun bergeser dari tahun 2036 ke tahun 2043.
Dampak pandemi memang dahsyat, mengguncangkan dunia termasuk Indonesia,
seakan melelehkan jerih payah tetesan keringat pencapaian pembangunan. Sejarah mencatat, memang
bukanlah hal yang mudah graduasi dari jebakan negara pendapatan menengah.
Sebuah studi menunjukkan, dari 101 negara berpendapatan menengah pada tahun
1960, hanya 13 negara yang mampu naik tingkat menjadi negara berpendapatan
tinggi tahun 2008. Sisanya, 78 negara, selama 48 tahun masih terperangkap
sebagai negara berpendapatan menengah. Bagi Indonesia, keluar
dari jebakan negara berpendapatan menengah adalah hal yang tidak bisa
ditawar. Ibarat babak drama Shakespeare, ini adalah pilihan “to be or not to
be”. Sebab manakala dalam tiga
dasawarsa negeri ini tidak masuk dalam kategori negara berpendapatan tinggi,
maka dengan populasi penduduk yang menua, pergerakan pertumbuhan akan
melambat. Inilah ancaman yang juga dihadapi oleh negara-negara di kawasan
Asia lainnya, menjadi tua sebelum kaya (getting old before getting rich). Jendela bonus demografi
dibiarkan menutup perlahan. Lewat begitu saja sebagai catatan statistik. Dua
karang Kini, Indonesia bagaikan
mendayung di antara dua karang, meminjam ilustrasi Bung Hatta. Tergores
karang yang tajam, kapal bisa terancam karam, sementara kapal harus tetap
melaju. Dua karang tersebut adalah amsal yang kita hadapi, yakni pandemi
Covid-19 dan perubahan iklim. Dampak pandemi sangat
besar. Jerih payah pengurangan kemiskinan menjadi mundur tiga tahun dan
pengangguran meningkat akibat ekonomi melambat. Sementara pemulihan
ekonomi mensyaratkan penurunan penularan virus Covid-19 (flattening the
curve) dan memitigasi dampak sosialnya. Perubahan regulasi dengan merelaksasi
defisit dan berbagai paket stimulus fiskal telah diluncurkan. Pertumbuhan
ekonomi memang masih minus 2,07 persen tahun 2020. Sebuah studi menunjukkan,
tanpa stimulus, ekonomi bisa terkontraksi hingga minus 6,3 persen. Di lain pihak, penurunan
kurva Covid-19 juga bergantung pada kepatuhan masyarakat menjalankan protokol
kesehatan, menghindari kerumunan dan membatasi mobilitas yang tidak penting.
Mendorong perubahan kebiasaan, memang bukan hal yang mudah. Perubahan iklim juga
tantangan besar. Laporan “Global Warming of 1.5⁰ C” dari Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) memperlihatkan, pemanasan global karena kenaikan suhu 1,5
derajat celsius akibat pencemaran emisi karbon dioksida, menimbulkan dampak
yang luar biasa. Bila sampai suhu bumi
meningkat dua derajat celsius, maka terumbu karang akan hilang 99 persen dan
stok ikan berkurang signifikan. Di daratan kekeringan akan mewabah, gagal
panen makin sering, akibatnya harga pangan melonjak dan air bersih jadi
langka. Melihat dampak yang begitu
besar, tak mengherankan bila Uni Eropa berkomitmen mencapai netral karbon
(carbon neutrality) pada tahun 2050. Menuju netralitas karbon
tahun 2050, carbon barrier akan diberlakukan. Ini berarti barang-barang masuk
ke Uni Eropa dengan jejak karbon akan mendapat tambahan tarif, sebelum pada
akhirnya dilarang sama sekali. Di Indonesia, berdasarkan
studi Bappenas, kerugian ekonomi pada Produk Domestik Bruto akibat perubahan
iklim diperkirakan akumulatif dapat mencapai Rp 544 triliun pada tahun 2024. Data-data itu sangat jelas
menunjukkan perubahan iklim harus diatasi, baik oleh Indonesia maupun dunia. Di masa depan, bila
perubahan iklim tidak diatasi dari sekarang oleh dunia, mungkin dampaknya
akan lebih besar dari Covid-19. Gunung es Arktik akan meleleh, permukaan air
laut meningkat dan menenggelamkan negara-negara kecil kepulauan, terutama di
Pasifik. Kekeringan global juga akan menyebabkan kemiskinan, kelaparan dan
pengungsian berskala masif, serta sangat sulit untuk mencari jalan keluar. Transformasi
dan SDGs Harus diakui situasi saat
ini tidaklah mudah akibat disrupsi dan perubahan besar di berbagai sektor,
sementara bangsa ini memiliki cita-cita tinggi yang mesti diwujudkan dalam
waktu terbatas. Hukum besi sejarah evolusi memperlihatkan, bukan spesies
paling kuat yang mampu bertahan, namun spesies yang segera beradaptasi adalah
yang selamat dari kepunahan. Pertanyaannya lalu,
bagaimana bangsa ini segera beradaptasi dengan perubahan. Untuk menjadi
negara maju sebelum 100 tahun Indonesia merdeka, pemulihan ekonomi memang
diperlukan. Namun, itu saja tidak cukup. Bangsa ini perlu melakukan
transformasi besar ekonomi, bukan hanya beradaptasi, namun bahkan juga
menjemput perubahan (ahead the curve). Dalam gelombang berskala
global perubahan, mengendarai ombak besar (riding the wave) justru bisa
menjadi sarana mempercepat mencapai tujuan. Transformasi besar
berskala global menuju ekonomi berkelanjutan, menurut Paul Polman, adalah
peluang ekonomi terbesar dalam hidup kita. Dikalkulasikan, paling
tidak peluang bisnis senilai 12 triliun dollar ASA akan muncul dari perubahan
tersebut. Peluang ini tentu tidak boleh disia-siakan. Kita harus mempersiapkan
rancangan transformasi besar ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Terbuka
berbagai opsi strategi untuk menjemput perubahan, antara lain mengakselerasi
sumber daya manusia berdaya saing, pengembangan ekonomi hijau dan produktif,
transformasi digital dan integrasi ekonomi domestik. Arah pembangunan ini juga
membuka peluang ekonomi terkait, misalnya kendaraan listrik, efisiensi energi
dan bahan baku, rantai nilai ekonomi sirkular, energi terbarukan, pengelolaan
sampah, pariwisata berkelanjutan, peternakan rendah emisi, pengelolaan limbah
makanan (food waste), pembiayaan campuran (blended finance), green building,
smart farming, serta sektor lain. Dalam transformasi besar
ekonomi itu, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/
(SDGs) akan menjadi instrumen utama sebagai panduan. SDGs telah merengkuh dan
menyeimbangkan tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan sekaligus, serta bukan
hanya wacana filosofis namun sudah pada tataran operasional. Salah satu kekuatan SDGs
adalah mendobrak kebekuan egosektoralisme (silos), mendorong kerja sama,
kesalingterkaitan (interconectedness) dan mengunci melalui indikator terukur. Hal yang juga sangat
strategis dalam SDGs adalah prinsip inklusif dan no one left behind. Artinya,
pelaksanaan SDGs adalah orkestrasi gerakan bersama pemerintah dan para
pemangku kepentingan non pemerintah. Jelas, transformasi besar pembangunan
hanya akan berhasil bila dilakukan oleh kita semua. Keberhasilan pencapaian
Indonesia menjadi negara maju sebelum 2045 mensyarakatkan segenap daya upaya
seluruh komponen bangsa, berderap bersama melangkah ke depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar