Pandemi,
Saatnya Melepas Topeng Budi Widianarko ; Guru Besar Program Doktor Ilmu Lingkungan,
Unika Soegijapranata Semarang |
KOMPAS, 19 Juli 2021
”In
every crisis, doubt or confusion, take the higher path-the path of
compassion, courage, understanding and love.” Amit Ray Dalam Catatan Politik
& Hukum-nya, Budiman Tanuredjo (Kompas, 10/7/2021) menyerukan semua pihak
duduk bersama untuk menemukan solusi menanggulangi dampak pandemi Covid-19.
Budiman mengajak para pihak meninggalkan dulu segala perbedaan dan sepenuhnya
mencurahkan segenap daya dan upaya untuk melawan Covid-19 sebagai musuh
bersama. Pertikaian yang hanya demi
mengukuhkan bahwa gagasan ”kita” lebih baik dari gagasan ”mereka” sudah
selayaknya dihindari. ”Di saat krisis, keputusan bukan antara yang baik dan
buruk, melainkan yang kurang buruk dan yang buruk,” seru Budiman. Catatan Budiman mewakili
kegetiran dan kecemasan sebagian besar kita ketika menyaksikan keriuhan yang
berlangsung di panggung media, baik yang arus-utama maupun yang baru. Di
tengah serangan SARS CoV-2 yang masif, perdebatan, bahkan pertikaian,
antartokoh dan unsur masyarakat seperti tiada henti dan tidak mengarah pada
solusi bersama. Semua pihak bersikukuh menjaga ”marwah” pendapatnya—seolah
dunia hanya menyisakan kebenaran tunggal. Luluh lantak sudah
keyakinan pada kekuatan pikiran bersama, mind sharing, yang pernah
dielu-elukan sebagai jalan menuju kebenaran yang utuh-lengkap-mendalam.
Alih-alih kolaborasi pemikiran, yang terjadi adalah ”perang” pendapat dan
sikap yang diumbar bebas di berbagai media—terutama media sosial. Akan tergerakkah para
pihak yang sedang sengit mempertikaikan gagasan mereka oleh seruan Budiman
dan seruan-seruan lain yang senada? Mungkin kita harus rela menerima apa yang
dinyatakan oleh John F Kennedy: ”In a time of domestic crisis, men of
goodwill and generosity should be able to unite regardless of party or
politics”. Yang akan tergerak hanyalah mereka yang berkehendak baik dan punya
kemurahan hati saja. Dengan lebih gamblang,
Paus Fransiskus dalam bukunya Let-Us
Dream (2020), bahkan berujar bahwa di masa krisis kita akan mendapati
keduanya-(orang) baik dan buruk: orang akan menunjukkan jati diri mereka.
Sebagian orang terjun melayani mereka yang memerlukan pertolongan, dan
sebagian lagi justru mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Dalam
hal ini, keuntungan yang diraup bukan hanya dalam bentuk uang, tetapi juga
pengaruh dan kekuasaan. Sulit terwujudnya
kebersamaan demi menemukan solusi atas krisis adalah suatu wujud pelarian
diri dari kenyataan. Paus Fransiskus (2020) menyebut ada tiga penyebab
putusnya hubungan kita dengan realitas dan kegagalan kita dalam menangkap
pesan keilahian tentang pentingnya menyayangi sesama kala terjadi krisis
kemanusiaan. Tiga penyebab itu adalah narsisisme (narcissism), keputusasaan
(discouragement), dan pesimisme (pessimism). Narsisisme hanya membawa
kita pada bayangan cermin saat berkaca. Semuanya berpusat pada diri kita,
sampai pada titik kita kagum dan tenggelam dalam citra kita sendiri. Berita
hanya baik jika itu baik bagi kita. Ketika berita buruk muncul itu karena
kita adalah korban utamanya. Keputusasaan mendorong kita untuk mengeluh dan
”nyinyir” tentang segala keadaan—karena kita gagal melihat apa yang ada di
sekitar kita dan apa yang ditawarkan orang lain. Dalam ungkapan Paus
Fransiskus, keputusasaan membawa kita pada kesedihan dalam kehidupan
spiritual. Bagaikan digerogoti kuman dari dalam, kita akhirnya menutup diri
dan gagal melihat apapun yang di luar diri kita. Pesimisme bagaikan pintu
yang kita tutup rapat-rapat—menafikan kemungkinan munculnya hal baru yang
baik di depan pintu esok hari. Lepas
topeng Ketiga penghalang itu
telah menjadi topeng yang kita kenakan. Saat mengenakan topeng ini sebagian
orang memeragakan ketidakpedulian (indifference). Tidak peduli sedang
berlangsung krisis kemanusiaan dan tetap saja sebagian dari kita berjuang
penuh semangat untuk memenangi pertikaian pendapat demi kekuasaan. Sebenarnya krisis,
keraguan dan kebingungan punya sisi baik. Dalam ungkapan Amit Ray, di awal
tulisan ini - setiap krisis akan membawa kita ke lintasan yang lebih
tinggi—yaitu jalan welas asih, asa, saling-pengertian, dan kasih sayang.
Krisis kemanusiaan oleh Covid-19 ini benar-benar terjadi dan telah memakan
korban sesama kita—insan berdarah-daging yang punya nama dan wajah. Dalam pengalaman pribadi
kita masing-masing, serangan Covid-19 bahkan sudah semakin merangsek masuk
dalam lingkaran kerabat dan keluarga kita. Kita tidak bisa lagi bersikeras
untuk tetap bertopeng. Gambar suram nan mengerikan telah terpampang di depan
mata. Korban Covid 19 yang begitu banyak mestinya sudah cukup menggerakkan
hati kita untuk rela melepaskan topeng. Ketimpangan
lingkungan Saat topeng terlepas, kita
bisa melihat dan merasakan Covid-19 tidak hadir sendiri. Ia beriringan dengan
krisis-krisis lain yang masih terabaikan selama ini. Paus Fransikus
menyatakan Covid telah menyingkap tabir krisis lain yang diakibatkan oleh
yaitu ”virus ketidakpedulian” (virus of indifference). Krisis itu terabaikan
terus karena kita semua menganggap belum ada solusinya—dan memilih
membebaskan beban perasaan kita dengan melupakannya. Salah satu krisis itu
adalah ketimpangan lingkungan. Kondisi lingkungan hunian yang timpang tentu
memunculkan risiko keparahan infeksi Covid-19 yang berbeda. Bayangkan
bagaimana warga harus menjalankan protokol kesehatan di permukiman yang
dikepung sampah kota—seperti Kampung ”Bengek”, Penjaringan, Jakarta
Utara—misalnya (Kompas, 6/9/2019). Padahal permukiman serupa tidak terlalu
sulit ditemukan di kota-kota lain negeri ini. Kepadatan hunian, sanitasi
lingkungan yang buruk, kelangkaan air bersih dan mutu serta keamanan pangan
yang rendah tentu memudahkan terjadinya infeksi – bukan hanya karena imunitas
yang rendah tetapi juga higienitas yang parah. Keadaan itu diperparah dengan
semakin membanjirnya sampah medis, seperti masker bekas, yang tidak semuanya
mampu ditangani dengan baik. Belum ada kota yang mampu memastikan bahwa
seratus persen sampah rumah tangga berlabuh di tempat pembuangan akhir
sampah. Bahkan untuk sampah yang
tercecer (mismanaged waste) ini, Indonesia adalah pemegang rekor tertinggi
kedua di dunia—setelah China (Jambeck dkk., 2015). Akibatnya ceceran sampah
kota masuk ke saluran air dan akhirnya berlabuh di pantai. Para penghuni
permukiman padat dan kumuh di sekitar pantai harus bergaul dengan ceceran
sampah ini. Padahal sejak masa pra-Covid mereka sudah kewalahan hidup di atas
sampah—termasuk sampah ”baru” berupa popok sekali pakai - yang semakin banyak
mengapung di badan air. Mari sudahi
pertikaian—lepaskan topeng kita masing-masing—agar kita lepas dari rabun
jatidiri (existential myopia). Covid-19 telah mencelikkan mata kita bahwa
masih banyak tantangan kemanusiaan yang memerlukan kepedulian kita daripada
sekadar pertikaian di lintasan yang rendah—”sekadar”demi keakuan dan
kekuasaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar