Mengonversi
Kurban di Tengah Pandemi Robikin Emhas ; Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama |
KOMPAS, 19 Juli 2021
Dua pekan lalu, hampir
berbarengan dengan keputusan pemerintah mengetatkan pembatasan aktivitas
masyarakat menyusul peningkatan kasus penularan Covid-19 di Jawa dan Bali,
masyarakat dikejutkan dengan kabar kelangkaan oksigen medis. Sejumlah rumah sakit
melaporkan kekurangan pasokan oksigen medis sehingga mengancam keselamatan
pasien yang sedang dirawat. Setelah diusut, menurut laporan aparat,
permintaan memang meningkat seiring lonjakan kasus infeksi, tetapi sebetulnya
pasokan normal. Masalahnya, ternyata,
ditemukan banyak warga membeli oksigen medis untuk disimpan di rumah sehingga
menyebabkan kelangkaan dan harganya menjadi mahal. Padahal, berdasarkan
penyelidikan polisi, mereka yang membeli oksigen medis itu tidak semuanya
sedang sakit atau membutuhkan. Panic buying, begitu istilahnya. Dugaannya, orang-orang
menjadi panik menyusul kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat
(PPKM) darurat. Mereka merasa perlu, atau bahkan wajib, menyiagakan oksigen
medis di rumah untuk jaga-jaga. Peristiwa semacam itu
kerap terjadi. Lumrahnya berhubungan dengan bahan pangan. Namun, terutama
dalam situasi serba sulit dan tidak pasti akibat pandemi Covid-19, semua
komoditas bisa mendadak langka. Coba ingat-ingat lagi peristiwa kelangkaan
masker, cairan atau sabun antiseptik, obat tertentu untuk terapi pasien
Covid-19, dan lainnya. Kohesi
dan kooperasi Betul, setiap orang wajib
waspada dan menjaga kesehatan. Anjuran bahwa lebih baik mencegah daripada
mengobati tetap berlaku. Namun, mencari aman sendiri-sendiri, alih-alih
saling membantu dan menolong, tidak akan mengubah keadaan. Pandemi ini bukan musibah
perorangan atau bencana di satu-dua daerah, melainkan berskala global dan
melibatkan masyarakat dunia. ”Tidak ada ... yang aman, sampai kita semua
aman,” kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom
Ghebreyesus setahun silam. Darurat kesehatan terbesar
sejak awal abad ke-20 ini harus menjadi momentum untuk bersatu dalam
persatuan nasional dan solidaritas global. Dalam istilah yang lebih sederhana
dan gamblang, masyarakat harus bekerja sama dan kompak, bahkan dituntut
kerelaan berkorban untuk menumbuhkan solidaritas. Masalahnya hanyalah, apa
yang dapat mendorong orang untuk bekerja sama? Pertimbangkanlah satu
hasil studi ahli antropologi Richard Sosis, sebagaimana dikutip dari Jonathan
Haidt dalam The Righteous Mind, yang mengkaji ratusan komune di Amerika
Serikat pada abad ke-19 dan mengklasifikasikannya ke dalam dua kategori:
komune religius dan komune sekuler. Riset Sosis, ringkasnya,
menemukan, komune yang religius lebih mungkin bertahan dibandingkan dengan
komune yang sekuler. Dengan kata lain, agama, atau kepercayaan religius,
dapat membuat kelompok lebih kohesif dan kooperatif. Komune-komune hanya bisa
bertahan, dan sukses, selama bisa mengikat kelompok menjadi satu dan menekan
kepentingan pribadi. Kuncinya, menurut Richard, ternyata adalah jumlah
pengorbanan mahal yang dituntut setiap komune dari anggota-anggotanya. Berdasarkan hasil studi
itu, Haidt menyimpulkan, praktik ritual yang diremehkan dan dianggap tidak
efisien serta tak rasional ternyata merupakan solusi bagi salah satu masalah
terberat yang dihadapi manusia: kerja sama. Kepercayaan-kepercayaan yang
dinilai tak rasional malah dapat membantu kelompok atau masyarakat berfungsi
secara lebih rasional. Kurban
dan keegoisan Kisah tentang pengorbanan
Nabi Ibrahim yang menaati perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismail,
tetapi kemudian Allah mengganti si anak semata wayang dengan seekor domba,
menjadi sungguh relevan untuk direnungkan kembali. Nilai pentingnya terutama
ketika umat manusia sedang menghadapi kesulitan akibat pandemi dan memerlukan
solidaritas dan kerja sama. Kita cenderung memaknai
penyembelihan hewan kurban setiap Idul Adha sebagai sebatas ritual. Ya,
sesekali dengan sisipan pemaknaan bahwa kurban merupakan manifestasi ketaatan
pada perintah Allah. Itu tak salah. Namun, mengapa tak sekalian mengonversi
ritual itu sebagai sarana untuk mengeratkan kohesi sosial dan meningkatkan
kooperasi sebagaimana riset Richard Sosis. Ibadah kurban sebagai
wahana untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarub ilallah), berdimensi
spiritual-transendental, sudah cukup jelas. Bagaimana mengonversi ibadah itu
sebagai instrumen untuk menciptakan kedekatan antarmanusia (taqarub ilannas),
dimensi sosial-humanis, dalam situasi sekarang? Pertama-tama, mesti
dipahami, ketika Allah mengganti Ismail dengan seekor domba, itu berarti
Allah memerintahkan untuk menyelamatkan manusia dari perilaku dan sifat yang
tidak menghargai manusia dan kemanusiaan. Perilaku dan sifat seperti itu
kerap mewujud dalam sikap menzalimi orang lain, menghalalkan segala cara, dan
mementingkan diri atau cari aman sendiri. Kedua, ritual
penyembelihan hewan kurban, menurut Hujjatul Islam Imam al-Ghazali,
menyimbolkan penyembelihan sifat kehewanan manusia. Seperti telah dipelajari
dengan baik oleh para ilmuwan, manusia adalah juara dunia dalam hal kerja
sama di luar lingkup hubungan darah, berbeda dengan hewan yang dapat bekerja
sama hanya dengan yang berkerabat. Namun, sesekali tetap
muncul sifat hewani dalam bentuk keegoisan yang hanya mementingkan diri,
kelompok, ataupun golongan. Karena itu, kurban sebagai semacam langkah
menonaktifkan perilaku hewani hendaklah menguatkan kepekaan dan tanggung
jawab sosial demi terciptanya solidaritas dan kerja sama. Dengan menyisihkan
sebagian harta untuk berkurban, diharapkan tumbuh rasa kebersamaan di
masyarakat. Dan, yang lebih utama dari itu adalah menekan kepentingan
pribadi, mengingat, di masa pandemi Covid-19, ”tidak ada yang aman sampai
kita semua aman”. Keluarga kita tak akan
aman selagi masih ada tetangga yang kesulitan akibat beragam pembatasan. Satu
daerah yang sebulan lalu tampak mampu mengendalikan tingkat kejangkitan bisa
mendadak terancam kolaps dan memerlukan bantuan daerah lain. Negara kaya
tidak bisa egois mengamankan pasokan vaksin hanya untuk rakyatnya, sementara
negara lain kekurangan. Belum dapat diprediksi
dengan pasti kapan pandemi ini akan berakhir. Namun, kita yakin, dengan
bekerja sama dan saling membantu dengan tanpa memandang latar belakang agama,
suku, ras, warna kulit ataupun golongan, kita akan selamat dan dapat keluar
dari krisis ini. Bersediakah kita? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar