Menggenjot
Kualitas Pendidikan Kaum Pinggiran Riduan Situmorang ; Guru SMAN 1 Doloksanggul, Instruktur Sastra
Digital Tingkat Nasional |
KOMPAS, 17 Juli 2021
Sesuai konstitusi, pendidikan
adalah hak warga. Karena itu, menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan
hak itu kepada warga. Sesungguhnya, pemerintah sudah memberikan kewajibannya. Dibuatnya program Wajib
Belajar 9 Tahun, bahkan dinaikkan menjadi 12 tahun, adalah buktinya. Lebih
tinggi, terobosan Bidikmisi untuk perguruan tinggi adalah bukti besar bahwa
pemerintah sangat serius menunaikan kewajibannya. Hasilnya, sejak anggaran
pendidikan dinaikkan, telah terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah
sampai 31 persen melalui penambahan 10 juta siswa sekolah dasar dan menengah
(Bank Dunia, The Promise of Education, 2020). Data terbaru dari Badan
Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah (RLS)
penduduk usia 15 tahun ke atas pada 2020 mencapai 8,9 tahun. Pencapaian angka
ini sudah tergolong baik. Namun, timbul persoalan lain, yaitu keadilan akses
pendidikan. Sebab, menurut BPS, RLS mereka yang berasal dari kategori minor
(perdesaan, perempuan, penyandang disabilitas) masih sangat rendah. Padahal, menurut Bank
Dunia, jalur terbaik bagi orang dari kategori minor untuk mengangkat status
sosialnya adalah dari pendidikan. Bahkan, konon ada korelasi tinggi antara
persentase populasi penduduk yang memiliki gelar sarjana dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Bank Dunia, 1996). Selain akses pendidikan
yang memadai, kualitas pendidikan untuk kategori minor juga perlu
diperhatikan. Sebab, walaupun rata-rata anak Indonesia belajar selama 12,4
tahun, kemampuan rata-ratanya ternyata hanya setara dengan belajar 7,8 tahun
(Human Capital Index, 2020). Ketimpangan lama belajar
dan kualitas belajar ini terjadi karena kualitas pendidikan untuk kategori
minor masih jauh dari tataran ideal. Ini terlihat terang dalam studi Program
Penilaian Pelajar Internasional/PISA (2015) bahwa perbedaan skor rata-rata
antara siswa dari kelompok dengan status sosial ekonomi terendah dan
tertinggi mencapai angka 60 poin. Ketimpangan ini tentu saja
terjadi karena salah sasaran atau ketidakadilan pembiayaan pendidikan. Pada
2015, BPS mencatat bahwa 4,9 juta anak miskin di Indonesia belum mampu
mengakses pendidikan. Padahal, pada saat yang
sama, menurut Unicef (2015), hampir setengah dari anggaran pendidikan
Indonesia hanya dinikmati sekitar 10 persen penduduk. Bahkan, sekitar 20
persen siswa kaya menerima 18 kali lebih banyak aneka fasilitas daripada 20
persen siswa miskin. Ironisnya, ketidakadilan atau ketidakberdampakan
pembiayaan pendidikan untuk kategori minor pada masa pandemi ini niscaya akan
semakin mencemaskan bagi kategori minor. Pasalnya, pemerintah
memukul rata bahwa kendala pada pembelajaran jarak jauh (PJJ) adalah kuota
belajar. Faktanya, banyak siswa di perdesaan yang tak memiliki gawai, bahkan
jaringan internet pun tidak ada. Karena itu, potensi learning loss sangat
besar bagi siswa di pinggiran. Semakin besar pula karena
belakangan ini skema sistem zonasi sudah diterapkan. Skema sistem zonasi ini
sama sekali tak cocok di perdesaan. Tak pelak lagi, skema sistem zonasi hanya
akan memperpanjang daftar bagaimana pemerintah melihat pembangunan pendidikan
dari kacamata kota dan bukannya dari kategori minor. Sederhana saja, di
perdesaan, SMA umumnya hanya ada satu untuk sebuah kecamatan dan bertempat di
pusat kecamatan. Sementara itu, orang-orang yang cenderung miskin berada jauh
dari pusat kecamatan. Dampaknya, banyak siswa dari pinggiran akan
tereliminasi oleh sistem zonasi. Banyak dari mereka yang
kemudian memutuskan untuk berhenti sekolah. Sebab, jika harus melanjutkan
sekolah, mereka harus masuk SMA swasta di pusat kabupaten yang jumlahnya pun
sangat terbatas. Selain itu, biaya juga malah membengkak mulai dari biaya kos
hingga biaya uang sekolah. Berdasarkan itu, rasanya
perlu skema khusus pembiayaan pendidikan untuk menggenjot percepatan peningkatan
kualitas pendidikan dari kategori minor. Sayang, birokrasi pendidikan kita
terkesan lamban dan inilah letak masalah mendasar tata kelola pendidikan
kita. Betapa tidak? Sebelum APBN
pendidikan digemukkan, kita pernah mengalami percepatan peningkatan skor IPM,
yaitu pada dekade 1990-2000 dengan rata-rata perkembangan nilai indeks
sebesar 1,36 persen per tahun. Namun, pada 2000-2010 rata-rata perkembangan
nilai indeks mengalami penurunan: sebesar 0,92 persen per tahun. Lalu terus
menurun menjadi rata-rata sebesar 0,78 persen per tahun pada periode
2010-2015 (UNDP, 2017). Ini menjadi ironi sebab
bagaimana mungkin anggaran pendidikan dinaikkan, tetapi kualitasnya tak juga
terkatrol dengan baik? Padahal, penaikan anggaran untuk pendidikan bisa
dinilai sebagai tindakan yang sangat heroik dari bangsa ini pada saat itu.
Pasalnya, meski ekonomi sedang goyah, Indonesia dengan berani mengalokasikan
dana pendidikannya sebesar 20 persen dari total APBN/APBD. Beda dengan
negara-negara lain, seperti dalam laporang Unicef (2002), bahwa Amerika
Serikat, Rusia, dan China hanya mengalokasikan 2 persen anggarannya untuk
pendidikan. Pakistan bahkan hanya 1 persen. Namun, pada prosesnya,
pembiayaan itu seperti kurang berdampak. Kenaikan anggaran di Indonesia pada
2000-an dan penurunan di Pakistan pada 1990-an nyatanya tak berdampak berbeda
(The Economist, 15/11/2018). Penyebabnya bisa beragam. Paling tidak, yang
pertama adalah tingkah laku koruptif oleh pejabat pendidikan, kedua karena
ketidakadilan pembiayaan pendidikan. Namun, mengutip Razali
Ritonga, anggaran jumbo itu ternyata masih tergolong rendah. Perhitungannya,
rasio pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan terhadap produk
domestik bruto (PDB) masih kecil dibandingkan dengan rata-rata global. Rasio
pengeluaran pendidikan terhadap PDB kita hanya 3,3 persen dan kesehatan
sebesar 1,1 persen. Secara faktual, rasio
pengeluaran sebesar itu masih jauh di bawah rasio global yang besarnya untuk
pendidikan 5,0 persen dan untuk kesehatan 6,0 persen terhadap PDB global
(UNDP, 2017). Patut dicermati, sejumlah negara meski dengan pendapatan per
kapita lebih rendah memiliki rasio pengeluaran terhadap PDB yang lebih besar
sehingga mengalami percepatan pembangunan manusia dengan peringkat yang lebih
baik daripada kita, misalnya, Kuba (peringkat ke-68) dengan pengeluaran
pendidikan terhadap PDB sebesar 12,8 persen dan rasio pengeluaran kesehatan
terhadap PDB sebesar 10,6 persen. Dalam lajur berpikir seperti inilah kita
bisa menggenjot kualitas pendidikan pada kategori minor. Sebab, menurut analisis
Elin Driana dalam merespons hasil PISA, secara konsisten disimpulkan bahwa
sistem pendidikan terbaik di dunia diperoleh oleh mereka yang memberi
kesempatan yang adil tanpa memandang status sosial, jender, dan latar
belakang ekonomi (Kompas, 10/1/2017). Bahkan, dalam laporan PISA
(2016) bertajuk ”Excellence dan Equity in Educatuion” dengan tegas dikatakan
bahwa yang diperjuangkan adalah kemerataan, bukan keunggulan. Dari berbagai
kenyataan pahit itu sudah saatnya kita peduli dan memberi perhatian khusus
bagi pendidikan kategori minor demi menggenjot kualitas pendidikan nasional
kita, persis seperti yang dilakukan Kuba. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar