Mengenang
Christianto Wibisono Mari Pangestu ; Direktur Pelaksana Bank Dunia untuk
Kebijakan dan Kemitraan Pembangunan |
KOMPAS, 28 Juli 2021
Saya
sedih mendengar bahwa kawan baik dan rekan seperjuangan sebagai ”pengamat”
ekonomi, Pak Christianto Wibisono, telah tidak ada lagi. Saya
mempunyai banyak kenangan dengan beliau. Sewaktu saya baru kembali ke Tanah
Air tahun 1986 dari S-3 di Amerika Serikat (AS), saya banyak berinteraksi
dengan beliau dalam berbagai seminar dan diskusi. Siapa
yang tidak kenal dengan Pak Chris sebagai salah satu pendiri majalah Tempo
dan sebagai ekonom muda, pada waktu saya kembali, Pusat Data Bisnis Indonesia
(PDBI) sudah terbentuk dan menjadi salah satu rujukan untuk analisis ekonomi
dan bisnis serta pelaku bisnis. Visi luar biasa Jika
dipikir-pikir, Pak Chris mempunyai visi yang luar biasa dengan PDBI yang
dibentuk jauh sebelum zaman sekarang dengan berbagai macam platform big data.
Pak Chris—you were ahead of your time—dengan memahami pentingnya data dan
informasi untuk pembuat kebijakan, baik di pemerintah maupun di bisnis. PDBI,
terutama pada periode 1980-an sampai akhir 1990-an, menjadi rujukan dan
mempunyai pengaruh dan cakupan luar bisa untuk analisis ekonomi, mendalami
berbagai sektor, dan terutama fokusnya pada sektor swasta serta para pemeran
utama yang mengerakkan roda ekonomi dan bisnis. Walaupun
saya tak kenal ia sebagai asisten pribadi Adam Malik (1978-1983), saya yakin
pengalaman itu memberi Pak Chris pemahaman mendalam mengenai pemerintahan,
politik, dan pemahaman mengenai Indonesia dalam konteks domestik dan luar
negeri. Pak
Chris mempunyai beberapa talenta khusus. Pertama, sebagai penulis yang andal,
mengingat bahwa dari muda ia sudah menjadi penulis dan bagian dari Angkatan
’66 dan menulis di Harian Kami, dan setelah itu banyak tulisannya yang unik
dan kreatif, yaitu ”Indonesia Incorporated” dan ”Wawancara Imajiner dengan
Bung Karno”. Pendekatan
tulisan terakhir sering di-update olehnya dan konon kabar ia sedang memegang
publikasi tersebut saat berada di rumah sakit. Namun,
yang saya kagumi dan merasa menerima banyak manfaat darinya adalah sikapnya
yang kritis dan sering mengambil posisi yang berbeda, sekadar untuk menantang
”conventional wisdom” dan mendorong kita untuk lebih tajam memberi
argumentasi mengenai posisi atau pendapat kita. Teman
diskusi dan dialog seperti itu jarang kita temui, dan tentunya dalam setiap
seminar ia selalu membuat diskusi menjadi sangat hidup. Mungkin kita tak
selalu sependapat atau menyukai apa yang ia sampaikan, tetapi pendapatnya itu
selalu membuat kita berpikir. Saya
mempunyai kenangan khusus dengan Pak Chris. Pada 12 Mei 1998, kami
bersama-sama berpartisipasi pada suatu seminar ekonomi di Universitas Tarumanagara
yang terletak di samping Universitas Trisakti. Sekitar pukul dua siang kami
melihat dari jendela ada kerusuhan dan sepertinya penembakan. Seminar
diberhentikan dan kami semua disarankan untuk pulang. Hari itu saya
memerlukan waktu empat jam untuk kembali ke rumah saya di selatan. Seperti
kita ketahui, hari itu menjadi awal dari kerusuhan Mei 1998 dan perubahan
negara kita. Saya
ataupun Pak Chris mempunyai kesamaan, sebagai kaum minoritas di Indonesia,
tetapi merasa 100 persen Indonesia. Sama dengan masyarakat lain yang
mencintai dan mengabdi kepada negara ini dengan cara masing-masing. Memang
Pak Chris mengalami pengalaman traumatis dengan kejadian terhadap rumah
putrinya yang dibakar saat kerusuhan dan mendapat berbagai perlakuan ”rasis”,
yang membuat beliau memilih pergi ke AS untuk beberapa tahun. Saya
pernah beberapa kali bertemu pada waktu Pak Chris di AS. Walaupun badan
secara fisik berada di AS, hati tetap di Indonesia, dan ia saat itu tetap
membantu Indonesia dengan menjadi ”lobbyist”—itu istilah yang beliau gunakan. Sangat cinta Indonesia Indonesia
beruntung akhirnya Pak Chris kembali ke Indonesia tahun 2006 sebagai anggota
Komite Ekonomi Nasional (KEN) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di
situ kami kerap kali ketemu dan Pak Chris tetap kritis dan mempunyai banyak
masukan bagi kami-kami yang duduk di pemerintahan pada waktu itu. Kesimpulan
saya setelah mengenal Pak Chris dari tahun 1990-an, kritik-kritik dan masukan
Pak Chris semua berdasarkan kecintaan Pak Chris kepada negara dan memperkuat
basis negara untuk maju. Dalam
beberapa tahun terakhir kami tidak terlalu sering ketemu, tetapi sering
sahut-menyahut di berbagai grup WA ataupun langsung. Termasuk setelah saya
berada di AS. Saya lihat Pak Chris tidak kehilangan semangatnya dengan bergabung
dengan PSI pada 2019. Dalam
satu tahun terakhir ini, selain Covid-19 dan isu kesehatan serta kaitannya ke
ekonomi dan bisnis, salah satu topik yang kami sering bahas adalah kontribusi
kaum nonpribumi kepada Indonesia dan tema besar mengenai kesatuan dan
keharmonisan negara. Pak
Chris mendata dan memberi komentar mengenai siapa-siapa saja kaum nonpribumi
yang berperan pada zaman Presiden Soekarno dan setelah Presiden Soeharto. Ada
kritiknya yang tajam pada zaman Presiden Soeharto dan perasaan mendalam
mengenai ”never ending problem of racism”. Namun,
sepertinya Pak Chris juga mempunyai optimisme terhadap era sekarang dengan
menyebut (dari WA) ”setelah itu ada Kwik Kian Gie, Mari Pangestu, dan Ahok
sebagai pejabat. Walaupun ada kemunduran, ada juga kemajuan dengan Grace
Natalie dan PSI yang bisa disahkan dan lolos ujian KPU. Di setiap zaman dan
generasi ada yang muncul orang-orang yang bisa menyelesaikan masalah”. Saya
terkesan dengan pesan putri Pak Chris, Astrid, yang sangat menggambarkan Pak
Chris yang saya kenal: ”Ia sangat mencintai Indonesia dan ingin agar
Indonesia bersatu dalam iman, harapan, dan cinta dalam memerangi Covid-19 dan
dilahirkan kembali lebih kuat dari sebelumnya”. Selamat
jalan Pak Chris dan semoga damai di tempat peristirahatan terakhir.
Semangatmu akan menjadi inspirasi bagi kita semua. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar