Membangun
Kapasitas Negara Yanuar Nugroho ; Penasihat Centre for Innovation Policy &
Governance, Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Akademisi di ISEAS
Singapura dan University of Manchester Inggris |
KOMPAS, 14 Juli 2021
Kasus harian Covid-19
terus mencetak rekor. Pada 8 Juli 2021, angka ini menembus 40.427 dengan 891
kematian (lima hari sebelumnya 1.040 kematian), dan membuat total korban
meninggal mencapai 67.355 orang. Diramalkan, statistik ini
akan terus naik. Kabar duka tak lagi terdengar nun jauh di sana, melainkan
makin dekat menghampiri diri sendiri. Di berbagai wilayah, rumah sakit
kewalahan menangani korban. Pasien terpaksa
dibaringkan di koridor atau tenda karena kehabisan tempat di bangsal
gawat-darurat; tenaga kesehatan kewalahan dan justru menjadi korban; oksigen
langka hingga pasien harus kehilangan nyawa. Dan kini, bahkan peti mati dan
kantong jenazah untuk korban mulai sulit dicari. Indonesia sudah masuk gelombang
kedua pandemi ini. Kita tidak tahu kapan puncaknya, kapan berakhirnya, dan
apakah masih ada gelombang-gelombang berikutnya. Dalam situasi seperti ini,
pemerintah memutuskan pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)
Darurat selama tiga pekan (3-20 Juli 2021) untuk secara drastis menekan
mobilitas warga. Berbagai pusat usaha dan kegiatan, kecuali sektor esensial,
ditutup atau beroperasi dengan kapasitas minimal. Ruas-ruas jalan disekat dan
dibatasi. Namun baru dua hari
dijalankan, PPKM Darurat dilanggar. Mobilitas di Jakarta, Jawa Barat, dan
Banten tercatat amat tinggi. Masyarakat menerobos pembatasan dan penyekatan
jalan. Bahkan, Jakarta macet
total. Tak heran angka kasus lantas melonjak (Kompas, 6/7/2021). Maka, wajar
kalau kita lalu bertanya: Apakah negara punya kapasitas untuk menjalankan
kebijakan yang dibuatnya sendiri dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini? Kapasitas
negara Kapasitas negara (state
capacity) awalnya didefinisikan sebagai kemampuan negara memobilisasi sumber
daya finansial untuk menjalankan pemerintahan (Tilly, 1985). Di dalamnya ada
tiga dimensi: (i) kapasitas ekstraktif untuk menyediakan sumber daya; (ii)
kapasitas pemerintahan untuk melakukan implementasi; dan (iii) kapasitas
regulatori–produktif untuk untuk memberikan kepastian aturan bagi warga
(Berwick and Christia, 2018). Saya mendefinisikannya
sebagai kemampuan negara untuk mewujudkan (delivery) pembangunan melalui lima
hal pokok: regulasi, institusi, akuntabilitas, perencanaan, dan implementasi
(Nugroho, 2020). Pandemi seolah membuka mata, bahwa kapasitas negara kita
mengkhawatirkan. Setidaknya, lima kemampuan pokok pemerintah itu mesti segera
diperbaiki, atau bahkan dirombak ulang. Pertama, kapasitas
menyiapkan kerangka regulasi. Birokrasi tidak bisa berjalan tanpa regulasi
–yang dibutuhkan agar kebijakan (apapun yang diputuskan untuk dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah) bisa diwujudkan. Pandemi ini menegaskan
perlunya regulasi yang sederhana, namun tegas, jelas, dan tidak tumpang
tindih untuk menuntun birokrasi bekerja di pusat maupun daerah. Selama
pandemi, memang terbit sejumlah peraturan dan keputusan presiden, bahkan
perppu dan undang-undang, mulai dari pembatasan sosial, penentuan keadaan
darurat, wewenang pemerintah daerah, hingga pemulihan ekonomi dan keuangan.
Namun tak semua optimal memberikan arah dan koridor birokrasi bekerja. Kedua, kemampuan menata
kerangka kelembagaan. Siapa penanggung jawab tertinggi penanganan wabah ini?
Sejumlah lembaga dibentuk (dan dilebur) selama 16 bulan pandemi: Satgas
Penanganan Covid-19, Gugus Tugas Percepatan Pengananan Covid-19, Komite
Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Akibatnya, kelembagaan
penanganan pandemi bukan hanya tak jelas, namun juga tidak efektif. Birokrasi bekerja sub-optimal
di luar struktur rutin mereka. Penunjukan salah satu menteri koordinator
untuk memimpin PPKM Darurat di Jawa dan Bali, misalnya, meski bisa diduga
alasannya, tetaplah mencerminkan tidak berjalannya kerangka kelembagaan
penanganan Covid-19 ini. Dalam keadaan segenting
dan sekritis ini, Presidenlah yang semestinya memegang tanggung jawab
terbesar. Banyaknya keputusan berat dan sulit yang harus diambil membutuhkan
visi kepemimpinan nasional yang tegas memberikan arah. Dengan kerangka
kelembagaan saat ini, tidak mudah bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk
menangani pandemi karena tumpang tindih dan ketidakjelasan wewenang dan
tanggung jawab. Ketiga, kapasitas
menciptakan mekanisme akuntabilitas. Apa yang dikerjakan pemerintah mesti
dipertanggungjawabkan. Tentu saja, kriterianya adalah apa yang dilakukan dan
dihasilkan di lapangan. Jika kampanye 3M (memakai masker, mencuci tangan,
menjaga jarak) mengandaikan kepatuhan masyarakat, keberhasilan atau kegagalan
3T (test, trace, treatment) menunjukkan serius-tidaknya pemerintah. Maka, capaian 3M-3T bisa
menjadi kriteria akuntabilitas di masa krisis ini. Selain itu, tata-kelola
untuk memastikan transparansi agar sumber daya tidak dikorupsi dan pemerintah
tidak bekerja setengah hati. Perencanaan,
kebijakan, dan implementasi Keempat, kemampuan membuat
perencanaan dan kebijakan. Setidaknya dibutuhkan tiga hal. Satu, penggunaan
data dan bukti (evidence). Pengetahuan harus diintegrasikan dan menjadi basis
perencanaan dan kebijakan: data dan bukti mesti menjadi pertimbangan dan
referensi. Dua, partisipasi publik yang lebih inklusif. Kompleksnya persoalan
dan tantangan yang dihadapi tidak mungkin diselesaikan dan dipikirkan
pemerintah sendirian. Perspektif dari berbagai kelompok harus memperkaya
perencanaan dan kebijakan. Tiga, kualitas perencana
dan pembuat kebijakan. Mereka mesti terlatih dan terpapar dengan tradisi
intelektual, agar debat dan diskusi dalam pembuatan perencanaan dan kebijakan
lebih bermutu. Pernyataan bahwa pemerintah tidak bisa memprediksi kenaikan
kasus setelah Juni 2021 (Kompas, 1/7/2021) padahal para epidemiolog sudah
memperkirakannya sejak mudik Lebaran dan masuknya varian Delta dari India
(Kompas, 11/6/2021), menunjukkan masalah mendasar integrasi pengetahuan dalam
perencanaan dan kebijakan. Dan ini bukan yang
pertama. Sudah sejak awal pandemi, pemerintah dikritik tak mendengarkan suara
para ilmuwan. Dampaknya panjang. Pertama, kegagalan membuat perencanaan dan
kebijakan penanganan pandemi yang memadai. Kedua, di tingkat teknis,
kegagalan mengantisipasi dampak lonjakan kasus pada fasilitas kesehatan,
mulai dari kebutuhan tempat tidur dan oksigen, beban tenaga kesehatan, hingga
peti mati dan kantong jenazah untuk para korban. Ini mengapa negara mesti
mampu mengintegrasikan pengetahuan dalam perencanaan dan kebijakan agar
selalu berbasis data, bukti, dan ilmu. Di sini pula pelibatan dan
partisipasi komunitas ilmiah menjadi kunci pembuatan perencanaan dan
kebijakan negara. Masyarakat sipil dan ilmuwan perguruan tinggi serta lembaga
penelitian publik (Public Research Institutions/ PRIs) adalah mitra
pemerintah. Ini tidak berarti pemerintah harus berkonsultasi apalagi meminta
persetujuan mereka. Namun, karena perspektif pemerintah terbatas sedangkan
masalah yang dihadapi makin kompleks, masukan mereka penting dijadikan
pertimbangan. Terakhir, kemampuan negara
mengimplementasikan. Implementasi di lapangan membutuhkan keketatan dan
disiplin: siapa melakukan apa, kapan, di mana, dan bagaimana; demikian juga
pengawasan, evaluasi, dan koreksinya. Pandemi ini menunjukkan pentingnya
implementasi. Bukan hanya soal PPKM Darurat yang butuh penegakan hukum, atau
penyaluran bantuan pada kelompok rentan selama pembatasan. Namun jauh lebih
luas: memastikan agar masyarakat mampu bertahan lewat berbagai dukungan,
insentif, subsidi, dan skema perlindungan sosial. Tentu saja ada beda
mendasar antara implementasi ‘yang tegas’ dan ‘yang keras’. Di hulu,
ketegasan dibutuhkan agar masyarakat mengikuti protokol kesehatan dan
meminimalkan mobilitas, tanpa harus menjadi keras apalagi kasar. Di hilir, pemerintah juga
mesti disiplin pada diri dan aparatnya sendiri: memastikan penguatan
fasilitas kesehatan (faskes), insentif pada faskes dan tenaga kesehatan
(nakes) dibayarkan tepat waktu, obat disalurkan dan harga tidak dipermainkan,
reagen dan alat tes didistribusikan cepat dan merata, dan vaksinasi digenjot
sekuat-kuatnya dan semudah-mudahnya untuk semua. Relasi
warga - pemerintah Jelaslah bahwa kapasitas
negara memengaruhi kualitas relasi warga dengan pemerintahnya. Pada lapis
terluar, untuk tiap kebijakan dan inisiatif, warga akan mempertanyakan
kapabilitas atau kemampuan pemerintah untuk melakukannya. Misalnya, larangan
mudik. Apakah pemerintah sungguh mampu melarang warga pulang kampung? Pada lapis berikutnya, pertanyaan
warga akan menyasar kredibilitas atau otoritas pemerintah. Contohnya, apakah
pemerintah punya otoritas menutup rumah ibadah selama pandemi? Lapis ketiga lebih serius,
karena warga mulai mendalami motivasi pemerintah dalam sebuah kebijakan.
Mengapa obat A dan vaksin B yang mendapatkan izin, dan bukan obat C dan
vaksin D, misalnya? Dan paling serius, di
lapisan terdalam, saat warga mulai mempersoalkan kepercayaan (trust) yang
diberikannya pada pemerintah. Misalnya saat pandemi makin memburuk dan pemerintah
tak dipercaya dalam menanganinya. Ini yang mesti dicegah. Bagaimana caranya? Negara mesti punya
kapasitas mengkomunikasikan kebijakan. Bukan hanya agar publik tahu apa yang
akan dikerjakan atau tidak dikerjakan pemerintah, melainkan juga agar birokrasi
mengerti apa yang mesti dilakukan untuk menjalankan kebijakan tersebut. Di masa krisis seperti
pandemi, komunikasi kebijakan menjadi kunci untuk membangun persepsi risiko
yang memadai, baik bagi publik maupun birokrasi. Karena itu, komunikasi
kebijakan tidak boleh memberi pesan mendua (ambigu): mesti jelas, lugas, dan
tegas. Mengetatkan mobilitas, namun memberi izin kegiatan ekonomi beroperasi
adalah contoh jelas kemenduaan ini. Ini mesti dihentikan. Pesan pemerintah
mesti tunggal dan jelas: menghadapi pandemi, keselamatan nomor satu; lainnya
urusan nanti. Semua negara di muka bumi
menghadapi pandemi tanpa kecuali. Yang membedakan nasib mereka adalah
kapasitas masing-masing negara untuk mengambil keputusan secara cepat dan
menyelamatkan nyawa. Yang kita butuhkan adalah kapasitas pemerintah yang
lebih kuat dan lebih baik untuk melindungi warganya. Karena, satu nyawa
hilang sudah terlalu banyak untuk hanya bisa dikenang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar