Manut
Tuhan Alissa Wahid ; Aktivis dalam Bidang Sosial dan Keagamaan |
KOMPAS, 25 Juli 2021
Lantaran
teknologi informasi, kita dibanjiri video terkait pandemi. Tentang kondisi
rumah sakit, pemakaman, antre oksigen, razia satpol PP, kisah orang-orang
yang menjalani isolasi mandiri (isoman), dan lain-lain. Yang ramai menuai
perdebatan adalah video-video penolakan pembatasan kegiatan keagamaan. Di
sana, para pemuka agama yang gagah berani menyeru publik untuk bertindak
berseberangan dengan protokol kesehatan, misalnya penolakan akan masker dan
penolakan penutupan tempat ibadah. Ada pula video seseorang memaksa jemaah
untuk merapatkan barisan (shaf) shalat Idul Adha, melanggar protokol jaga
jarak. Persoalan
pembatasan kegiatan keagamaan sejatinya bukan hanya terjadi di Indonesia.
Banyak kelompok agama memprotes kebijakan penutupan tempat ibadah di masa
pandemi di seluruh dunia. Bedanya, persoalan-persoalan ini diselesaikan di
pengadilan, semisal di Malawi, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Dalam
artikel berjudul ”Coronavirus and the Curtailment of Religious Liberty”
(2020), Mark Hill QC mengelaborasi topik ini. Ia mencatat alasan pengaduan
adalah bahwa penutupan tempat ibadah merupakan pelanggaran kebebasan beragama
sebagai bagian dari hak asasi manusia. Kebijakan ini dipandang membuat umat
beragama kehilangan kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Hill
menyimpulkan beberapa argumentasi mengapa pembatasan kegiatan keagamaan
diputuskan pengadilan sebagai tidak termasuk dalam pelanggaran HAM. Argumen
pertama, pembatasan diperlukan untuk menjaga keselamatan jiwa dan
kemaslahatan bersama dalam konteks kegentingan pandemi, dan tidak permanen.
Argumen kedua, pembatasan tidak diskriminatif menargetkan agama tertentu,
tetapi diberlakukan kepada semua kelompok agama. Argumen ketiga, pembatasan
tidak dilakukan total terhadap keseluruhan ajaran satu agama tertentu, tetapi
hanya pada aspek berkumpul di tempat ibadah. Dari
berbagai kasus ini, terlihat kecenderungan untuk memaknai kebebasan beragama
menjadi kebebasan tanpa batas. Ini berbanding lurus dengan pemaknaan
demokrasi sebagai kebebasan tanpa aturan, yang berbuah sikap saling menuntut
dan sewenang-wenang antarkelompok. Ada
beberapa alasan kelompok agama menolak pembatasan kegiatan keagamaan. Dalam
konteks di atas, penolakan didasarkan pada perspektif diskriminasi dan
pelanggaran kebebasan beragama. Alasan berikutnya, banyak kelompok khawatir
jemaatnya tidak akan kembali saat pembatasan sudah dicabut. Hal ini terutama
terjadi pada gereja-gereja di AS yang sedang mengalami pasang surut jemaat. Alasan
lain yang juga cukup dominan di Indonesia adalah kekhawatiran para pemuka
agama terhadap nasib umatnya bila tidak mendapatkan asupan spiritual. Ritual
misa, puja bhakti, kebaktian, jemaah, dan lain-lain adalah ritual bagi umat
untuk memperkuat spiritualitasnya. Penutupan tempat ibadah diyakini oleh para
pemuka agama akan membuat umat kehilangan panduan tersebut. Alasan
terakhir, yang justru mendominasi narasi-narasi dalam video viral di Tanah
Air, adalah narasi ketaatan dan ketakutan. Argumen ”Takutlah kepada Tuhan,
jangan takut kepada pemerintah” menjadi narasi utama yang diindoktrinasikan
kepada umat yang awam dan tidak kritis. Sesungguhnya
ini adalah narasi lama yang merupakan narasi dasar kelompok ultrakonservatif
dari agama mana pun, yang mempromosikan Religion First (agama adalah
satu-satunya panduan hidup yang sudah lengkap dan di atas segala-galanya).
Bila tidak ada dalam ajaran agama versi tafsirnya, sesuatu dianggap tidak
relevan. Ini terefleksikan dalam twit kontroversial seorang penceramah:
”Membela nasionalisme nggak ada dalilnya”. Pandangan
ini meletakkan dimensi beragama dan dimensi bernegara secara hierarkis. Ia
mendorong umat beragama untuk tunduk secara total kepada ajaran agama, dan
mengabaikan aturan negara yang dianggap bertentangan dengan tafsir teks agama
yang dipromosikan. Sebagai ilustrasi, di Indonesia banyak kita temukan
perkawinan tak tercatat dilakukan oleh remaja atas arahan pemuka agama dengan
argumen ”Yang penting sah secara agama. Manutlah hanya kepada Tuhan, tidak
perlu manut kepada pemerintah”. Sebagai
pembanding, dalam ajaran Trilogi Ukhuwah dari KH Ahmad Siddiq, setiap Muslim
menjaga tiga ukhuwah secara sinergis: ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama
Muslim), ukhuwah wathoniyah (persaudaraan sesama warga bangsa Indonesia
apapun latar belakangnya), dan ukhuwah basyariah (persaudaraan kemanusiaan). Dengan
perspektif ini, kita menempatkan dimensi beragama dengan bernegara secara
seimbang, sebagaimana disampaikan KH Hasyim Asy’ari, ”Agama dan nasionalisme
adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Keduanya saling menguatkan.” Di
masa pandemi, pandangan ”Takutlah kepada Tuhan, jangan takut kepada
pemerintah” menemukan momentumnya. Narasi ini memberi justifikasi untuk tidak
takut melanggar protokol kesehatan, dan bahkan untuk melanggar aturan
pemerintah dan melawan negara. Ini
tentu saja satu persoalan serius. Bila tidak direspons dengan efektif, narasi
ini akan semakin kuat. Di saat nanti pandemi ini berakhir, narasi ini bisa
jadi sudah menjadi paradigma masif dan berlaku secara umum. Kita bisa
bayangkan apa yang akan terjadi saat aturan dan kebijakan negara tidak lagi
diikuti. Sebagai
respons, pemerintah mengembangkan upaya penguatan moderasi beragama untuk
mengembalikan praktik beragama dan berbangsa yang adil dan seimbang. Tetapi
gerakan ”Takutlah kepada Tuhan, jangan takut kepada pemerintah” dibangun dari
gerakan sosial, dan karenanya hanya bisa ditandingi dengan gerakan sosial
pula. Diperlukan upaya lebih keras dari berbagai lapisan agar praktik
beragama yang moderat kembali dipilih oleh sebagian besar umat beragama di
Indonesia. Pandemi
ini rupanya bukan hanya ajang perang manusia dengan tsunami Covid-19, tetapi
juga menjadi medan kontestasi paham keberagamaan. Sungguh dahsyat si mungil
virus corona 2 ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar