Krisis
Politik dan Bendera Hitam di Negeri Jiran Ahmad Syafii Maarif ; Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 |
KOMPAS, 12 Juli 2021
”Sangat mengejutkan,
sangat getir, sangat memprihatinkan”. Itulah reaksi saya setelah membaca
berita dari berbagai sumber tentang krisis politik berkepanjangan di Negeri
Jiran. Kegetiran ini diperparah lagi oleh kasus bunuh diri di sana, umumnya
menimpa anak usia muda, 15-18 tahun. Begitu keterangan Direktur Departemen
Investigasi Kriminal Polis Diraja Malaysia Abd Jalil Hasan, Kamis, 8 Juli
2021. Angka bunuh diri tertinggi
terdapat di Negara Bagian Johor dan Selangor. Menurut pejabat polisi itu, ada
tiga faktor penyebab kasus bunuh diri ini: masalah keluarga, tertekan, dan
masalah keuangan. Serangan wabah Covid-19 semakin merunyamkan keadaan. Perhatikan usia yang bunuh
diri itu, tingkat kelas III SMP dan SMA. Fenomena semacam ini sungguh
mengerikan. Johor dan Selangor adalah kawasan bandar yang bercorak urban.
Berbeda dengan Kelantan dan Trengganu yang lebih bercorak nonbandar dan
kurang berkembang dibandingkan Johor dan Selangor. Kuala Lumpur berada di
Selangor. Di situlah episentrum krisis politik itu dengan melibatkan tiga
tokoh utama: Muhyidin Yassin, Mahathir Mohamad, dan Anwar Ibrahim dengan
faksi masing-masing. Ketiganya sama-sama berasal dari UMNO/Barisan Nasional
yang kemudian berpecah belah itu. Angka bunuh diri ini
menegakkan bulu roma kita. Tahun 2019 tercatat 609 orang, 2020 sebanyak 631
orang. Antara Januari dan Mei 2021 tercatat 468 orang. Jika kecenderungan ini
berlanjut, akhir 2021 bisa mendekati 1.000 orang. Sangat menakutkan. Malaysia yang selama ini
menjadi tujuan TKI mencari rezeki kini sedang bergumul dengan dua bentuk
krisis sekaligus: krisis politik nasional dan krisis akibat Covid-19.
Keduanya saling berimpit, saling bertali. Dengan penduduk pada 2020 sebanyak
32.365.999, Malaysia kini sedang memetakan masa depannya yang kritikal.
Mereka yang terpapar Covid-19 sampai 8 Juli adalah 823.713, meninggal 6.057. Jumlah penduduk Malaysia
sekitar 9 persen penduduk Indonesia yang kini 272 juta, bertebaran di ribuan
pulau. Penderitaan rakyat miskin
di sana sudah mencapai puncaknya. Semula mereka mengibarkan bendera putih
sebagai simbol minta pertolongan. Kini, lewat media sosial, mulai dikibarkan
bendera hitam sebagai lambang ketidakpercayaan kepada Perdana Menteri
Muhyidin Muhammad Yassin yang menduduki posisi itu sejak Maret 2020. Dukungan yang sangat tipis
di parlemen kepada Yassin menunjukkan betapa rapuhnya rezim ini, sekalipun
Yassin politikus kawakan dengan pengalaman politik yang panjang. Jika kita
amati dari jauh hubungan segi tiga Yassin-Mahathir-Anwar, petanya mungkin
sebagai berikut. Yassin dan Anwar mantan anak asuh Mahathir, seperti halnya
Ahmad Badawi dan Najib Razak. Peran
Mahathir Dalam dinamika politik
Malaysia sekarang, baik Mahathir maupun Anwar sama-sama ingin menjatuhkan
Yassin karena dinilai gagal melawan Covid-19 dan pemulihan ekonomi yang kian
berat. Namun, Mahathir tetap keukeuh merintangi langkah Anwar menjadi PM,
sebagaimana dulu pernah dijanjikannya. Situasi semacam ini seperti telah
mengurung Malaysia di sebuah tikungan jalan buntu. Saat Mahathir menjabat
lagi sebagai PM Malaysia yang ketujuh dalam usia 93 tahun pada 2018, dunia
mengaguminya. Dia dipuji sebagai negarawan tertua yang penuh semangat di muka
bumi. Akan tetapi, dengan
keterlibatannya yang tanpa henti dalam kemelut politik yang tak jelas ujung
pangkalnya itu, kualitas kenegarawanannya mulai dipertanyakan orang. Di
tengah kisruh politik Malaysia ini, Mahathir justru sedang mendaftarkan
Partai Pejuang yang baru saja dibentuknya. Partai ini sekarang punya empat
wakil di parlemen. Sewaktu seorang sahabat,
Dr Dato’ Ahmad Farouk Musa, yang juga seorang pemikir Islam progresif, saya
tanyai melalui WA pada 10 Juli, tentang kemelut politik Malaysia ini,
jawabannya dalam bahasa Melayu sungguh menyedihkan: ”Salam Buya. Ya, itulah
keadaannya. Semua celaru (kacau balau). Di sini…tak tahu apa nak jadi.” Seorang intelektual
sekelas Farouk ini sudah demikian bingung tentang apa yang harus diperbuat,
apalagi rakyat jelata miskin di sana. Pasti golongan ini jauh lebih parah
dalam penderitaan. Tentu kita semua sebagai negara serumpun berharap agar
negeri jiran ini dapat segera menemukan penyelesaian dari krisis politik ini
sehingga rakyat tidak lagi terombang-ambing oleh perseteruan yang berlarut
para politisi Melayu yang dulunya berkawan itu. Semoga para tokoh politik
itu bisa menunjukkan jiwa besarnya masing-masing untuk tidak meneruskan lagi
sengketa politik yang sangat menguras energi secara sia-sia ini. Kibaran
bendera putih dan bendera hitam, serta angka bunuh diri remaja yang tinggi,
adalah pertanda bahwa Malaysia harus siuman dan segera membebaskan diri dari
racun egoisme politik yang sangat merusak itu. Indonesia sebagai negara
tetangga tentu punya empati yang dalam dan sungguh berharap agar krisis
politik ini cepatlah berlalu! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar