Konsekuensi
Pelanggaran PPKM Darurat WFH 100 Persen Muhammad Fatahillah Akbar ; Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas
Hukum UGM Yogyakarta |
KOMPAS, 13 Juli 2021
”Today’s
human right violations are the causes of tomorrow’s conflict” –
Mary Robinson. Pandangan perempuan
presiden pertama Irlandia itu didasarkan pada perlindungan HAM yang penting
untuk mencegah berbagai konflik yang terjadi akibat pelanggaran HAM. Konsep
ini juga menjadi dasar penanganan pandemi Indonesia. Kebijakan pemerintah
pusat untuk memberlakukan PPKM Darurat dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 15 Tahun 2021 bisa menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah
daerah untuk menciptakan kebijakan di daerah. Setiap institusi, terutama
institusi yang bersifat publik, harus melaksanakan instruksi ini untuk
membantu program pemerintah mencegah penularan Covid-19 di masyarakat. Salah
satu program yang sangat krusial dalam Instruksi Mendagri tersebut adalah program
100 persen working from home (WFH) bagi sektor yang nonesensial dan
nonkritikal. Bagaimana dengan pimpinan
institusi pada sektor nonesensial dan nonkritikal yang tidak melaksanakan
program tersebut. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana sanksi yang dapat
dijatuhkan kepada pimpinan ketika terdapat pegawai yang kemudian terjangkit
Covid-19 dan bahkan meninggal dunia. Jika pimpinan tetap
mewajibkan pegawai masuk dengan melanggar Instruksi Mendagri, perbuatan
tersebut masuk dalam penyalahgunaan wewenang. Ermansjah Djaja (2009)
mendefinisikan penyalahgunaan wewenang sebagai perbuatan menggunakan
kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang sedang dijabat atau
diduduki untuk tujuan selain dari maksud diberikannya kewenangan ataupun
kekuasaan, kesempatan, atau sarana tersebut.” Secara hukum, Pasal 8 Ayat
(3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU
Adpem) mengatur bahwa pejabat administrasi pemerintahan dilarang
menyalahgunakan wewenang dalam menetapkan kebijakan atau melaksanakan
tindakan tertentu. Pasal 17 UU Adpem kemudian memberikan tiga kriteria
penyalahgunaan wewenang, yakni melampaui kewenangan, mencampuradukkan
kewenangan, dan bertindak sewenang-wenang. Perbuatan yang
bertentangan dengan Instruksi Mendagri masuk sebagai perbuatan melampaui
wewenang. Pasal 18 Ayat (1) UU Adpem yang menyatakan bahwa perbuatan pejabat
administrasi pemerintah dianggap melampaui wewenang jika bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 2 UU Nomor
12 Tahun 2011 memberikan definisi, peraturan perundang-undang adalah
peraturan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga negara yang berlaku secara
umum. Melihat definisi tersebut, maka Instruksi Mendagri dan Paket Kebijakan
Pandemi jelas dapat ditafsirkan sebagai peraturan perundang-undangan. Hal ini dipertegas bahwa
kepala daerah yang tidak melaksanakan Instruksi Mendagri dapat diberhentikan
sementara berdasarkan UU Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam diktum
kesepuluh Instruksi Mendagri. Dalam konteks ini, pejabat pada institusi
pemerintah yang menolak melaksanakan Instruksi Mendagri tersebut jelas telah
melakukan penyalahgunaan wewenang dan dapat dijatuhi sanksi. Pasal 80 Ayat (3) UU Adpem
menyatakan, pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang pada Pasal 17 Ayat
(3) UU Adpem dapat dijatuhi sanksi administratif berat. Pasal 81 Ayat (3) UU
Adpem mengatur bahwa sanksi administratif berat adalah menjatuhkan
pemberhentian tetap kepada pejabat administratif pemerintah tersebut. Dengan
dasar administrasi tersebut, jelas bahwa setiap pejabat pemerintah
administratif harus tegas melaksanakan Instruksi Mendagri tersebut. Jerat
pidana Pertanyaan lebih lanjut
adalah apakah pimpinan institusi publik ataupun perusahaan swasta nonesensial
dan non-kritikal dapat dijerat pidana jika terdapat pegawai yang positif
Covid-19. Pertanyaan tersebut didasarkan pada konsep kausalitas sebab akibat.
Sebelum menjatuhkan pidana, harus dilihat apakah perbuatan tersebut melawan
hukum atau tidak. Menurut Eddy Hiariej
(2014), ”hukum” dalam frasa ”melawan hukum” dapat ditafsirkan ke dalam empat
hal, yakni hukum tertulis; hak seseorang; kekuasaan atau kewenangan; dan
hukum tidak tertulis. Bersifat melawan hukum jika bertentangan dengan salah
satu atau lebih dari satu komponen tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut,
penyalahgunaan wewenang masuk sebagai bagian khusus dari melawan hukum.
Sehingga, melakukan kebijakan tidak 100 persen WFH bagi suatu institusi atau
perusahaan memang bersifat melawan hukum. Jika kemudian terdapat
pegawai yang terjangkit Covid-19 apakah merupakan tanggung jawab pimpinan?
Pada pertanyaan tersebut, maka lahir hukum kausalitas atau sebab akibat untuk
menjelaskan adanya hubungan sebab akibat. Dalam hukum dikenal teori
kausalitas adekuat yang dikenalkan Von Kries sebagaimana dikutip Eddy OS
Hiariej (2014) di mana dikatakan ”musabab dari suatu kejadian adalah syarat
yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal, dapat atau mampu
menimbulkan akibat atau kejadian tersebut”. Kejadian normal dalam
konteks ini adalah tidak melakukan pembatasan kegiatan dengan 100 persen WFH.
Sekalipun Covid-19 dapat timbul pada aktivitas lain selain pekerjaan,
pelanggaran terhadap ”100 Persen WFH” ini bisa menjadi penyebab paling umum
yang seharusnya bisa dicegah oleh pimpinan tempat pegawai bekerja. Dengan
melanggar ketentuan WFH tersebut, pimpinan memiliki tanggung jawab terhadap
pegawai yang terjangkit Covid-19. Jika kemudian timbul
gejala penyakit pada penderita Covid-19, setidaknya secara umum dapat dijerat
Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan. Penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 351 Ayat (4) KUHP mengatakan merusak kesehatan disamakan dengan
penganiayaan. Sehingga dalam konteks ini, perbuatan tersebut masuk dalam
penganiayaan. Bagaimana jika kemudian
menimbulkan kematian, hal ini bisa dijerat dengan Pasal 351 Ayat (3) KUHP, di
mana penganiayaan berakibat pada kematian dengan ancaman pidana 7 tahun
penjara. Argumentasi utama yang mungkin dibawa oleh pimpinan sebagai
pembelaan dalam kasus ini adalah tidak adanya kesengajaan. Parameter kesengajaan
adalah adanya pengetahuan (wetten) dan kehendak (willens). Dalam pelanggaran
WFH 100 persen ini, setiap pimpinan institusi publik maupun perusahaan swasta
seharusnya sudah memiliki pengetahuan bahwa risiko yang ditimbulkan dengan pelanggaran
ini adalah meluasnya Covid-19 yang juga bersifat mematikan. Sehingga, telah
cukup pengetahuan dari pimpinan. Selain itu, secara sadar
dan tanpa pengaruh mewajibkan pegawai tetap masuk, padahal bukan sektor
esensial dan juga kritikal memunculkan kehendak. Karena itu, terdapat
kesengajaan dalam pelanggaran WFH tersebut. Terlebih, dalam hukum pidana
dikenal corak kesengajaan sebagai kemungkinan. Di mana terjangkitnya Covid-19
merupakan salah satu kemungkinan dari pelanggaran WFH tersebut. Sehingga
pimpinan harus bertanggung jawab secara pidana jika ada pegawai yang
terjangkit Covid-19. Sehingga para pimpinan
perusahaan dan institusi publik harus bersikap lebih hati-hati dan
melaksanakan paket kebijakan penanggulangan Covid-19 dengan itikad baik. Pelanggaran
terhadap kebijakan penanggulangan Covid-19 akan memberikan konsekuensi hukum
administratif kepada pejabat administratif dan memiliki dampak pidana kepada
pimpinan perusahaan swasta maupun institusi publik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar