Kepemimpinan
Universitas Berkelanjutan Aceng Hidayat ; Sekretaris Institut IPB University; Ketua
Pelaksana Green Campus IPB 2018 -2020; Dosen Departemen Ekonomi Sumber Daya
dan Lingkungan FEM IPB University |
KOMPAS, 30 Juli 2021
Isu
pembangunan berkelanjutan terus mendapatkan perhatian komunitas dunia sejak
digulirkan dalam KTT Bumi 1992 di Rio de Jeniero, Brasil. Saat ini,
pembangunan berkelanjutan menjadi isu penting dan strategis bagi pemerintah,
swasta, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi. Kita
bisa menemukan frasa pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
dalam berbagai dokumen perencanaan, kebijakan, hasil penelitian, program
kerja, dan seminar-seminar, baik nasional maupun internasional. Bahkan, isu
pembangunan berkelanjutan sengaja dimasukkan dalam dokumen perencanaan,
program kerja, seminar, atau topik penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan
sponsorship pembiayaan. Bettencourt
and Kaur (2011) menemukan frasa sustainable development atau sustainability
dalam 20.000 makalah berbahasa Inggris, ditulis oleh 37.000 penulis dari 174
negara serta 2.200 yang dipublikasikan dalam jurnal dan prosiding seminar
ilmiah antara tahun 1974 dan 2010. Apalagi, jika frasa tersebut diterjemahkan
ke dalam bahasa negara-negara di dunia; nachhaltigkeit sebagai contoh bahasa
Jerman, dapat dipastikan akan ditemukan jutaan publikasi yang memuatnya. Isu
pembangunan berkelanjutan semakin mengukuhkan urgensi dan nilai strategis
ketika PBB menerbitkan dokumen kebijakan Sustainable Development Goals (SDGs)
pada 2015. SDGs merupakan gabungan dokumen Agenda 21 dan Milenium Development
Goals (MDGs). Saat
dunia menghadapi pandemi Covid-19, seluruh sektor pembangunan tetap memuat
tujuan SDGs. Tiap-tiap sektor ”dipaksa” untuk ikut berkontribusi dan berperan
dalam mencapai 17 tujuan SDGs. Saat ini, SDGs telah menjadi indikator capaian
kinerja pemerintah pusat, yang diturunkan kepada pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota. Setiap
tahun, para kepala daerah dievaluasi dan harus melaporkan capaian kinerja
terkait SDGs. Maka, jangan heran ketika melihat kompetisi pencapaian SDGs
tiap-tiap daerah terhadap target nasional. Perguruan
tinggi di Indonesia tidak luput terlibat di dalamnya. Terutama, setelah
lembaga pemeringkatan perguruan tinggi bernama THE mengeluarkan THE impact
rangking yang mengaitkan kegiatan perguruan tinggi terhadap pencapaian 17
tujuan SDGs. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia berhasil meraih peringkat
100 besar dunia, seperti IPB University, UI, UGM, dan Unhas. Dari
semakin marak dan merasuknya SDGs ke berbagai sektor, timbul pertanyaan,
apakah para pihak yang terlibat dalam upaya pencapai SDGs tersebut sudah
memahami makna SDGs secara benar? Siapa yang berperan dalam mengedukasi
masyarakat tentang SDGs agar pencapainya lebih mudah dan terukur? Saya
memandang perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam upaya pencapaian
SDGs dalam jangka panjang. Sebab, perguruan tinggi menghasilkan sumber daya
manusia berkualitas, memproduksi ilmu pengetahuan, menghasilkan inovasi
teknologi, dan memiliki kesempatan
menerapkan ilmu dan hasil inovasinya, baik di kampus maupun di masyarakat. Kesadaran
perguruan tinggi untuk ikut terlibat secara serius dalam pencapaian SDGs
telah direspons oleh beberapa perguruan tinggi di dunia dengan
mendeklarasikan perguruan tingginya sebagai Universitas Berkelanjutan (UB).
Universitas Berkelanjutan memiliki dua elemen penting, yaitu Pendidikan
Pembangunan Berkelanjutan (PPB) dan Kepemimpinan Universitas Berkelanjutan
(KUB). Universitas Berkelanjutan Merujuk
pada tulisan Rebeka Lukman (2005) dan situs resmi beberapa UB dunia, seperti
Wagenigen University, Belanda; John Hopkins University, Amerika Serikat; dan
Hokaido University, Jepang; UB adalah perguruan tinggi (universitas/college)
yang melakukan reorientasi arah pendidikan, transformasi organisasi, dan
perubahan budaya agar selaras dengan upaya-upaya pencapaian SDGs. Maka,
UB mengubah visi dan misi pendidikannya menjadi PPB. Bukan hanya
menyelenggarakan pendidikan lingkungan pada jenjang vokasi, sarjana, dan
pascasarjana yang menghasilkan tenaga terampil dan terdidik dalam pengelolaan
lingkungan, melainkan juga menghasilkan lulusan, ilmu pengetahuan, dan
inovasi yang dengannya dapat mengedukasi warga dunia tentang pembangunan
berkelanjutan. James
dan Samels (2012) menyampaikan beberapa tantangan menciptakan UB. Pertama,
melembagakan cara berpikir berkelanjutan. Kampus berkelanjutan harus
melakukan pelembagaan cara berpikir berkelanjutan dengan menetapkan visi
kampus berkelanjutan yang jelas. Visi bersifat filosofis dan berpikir jauh ke
depan. Visi kemudian diturunkan ke dalam misi yang lebih spesifik dan
terukur. Visi dan misi merupakan kebijakan yang sangat penting yang menjadi
arah pengelolaan universitas. Misi
merupakan dasar penyusunan program kerja, baik jangka panjang, menengah,
maupun pendek. Untuk memudahkan pengukuran pencapaian sasaran kerja, maka
setiap program kerja dilengkapi dengan indikator dan parameter kinerja.
Berdasarkan program kerja dan sasaran kinerjanya, pimpinan universitas
kemudian membuat kontrak kinerja dengan jajaran eksekutif yang ada di
bawahnya dan hasilnya dievaluasi setiap akhir tahun. Kedua,
pelaksanaan. Ada dua elemen penting dalam pelaksanaan kampus berkelanjutan.
yaitu pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan penerapan (pengabdian) serta
pengelolaan kampus dan fasilitas pendukungnya. Pelaksanaan pendidikan diawali
dengan perubahan kurikulum. Kurikulum sesuai dengan visi kampus
berkelanjutan. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu pertama, menyiapkan beberapa mata
kuliah pilihan sejumlah SKS tertentu yang wajib diikuti oleh seluruh
mahasiswa dari semua program studi. Kedua, dengan menyisipkan muatan
keberlanjutan pada setiap mata kuliah yang disampaikan. Ketiga,
menjadikan substansi keberlanjutan sebagai tema kegiatan kemahasiswaan,
seperti seminar, diskusi, kampanye, lomba kreativitas, lomba karya ilmiah,
dan lomba merencanakan bisnis. Keempat, membuka program studi multidisiplin
pembangunan berkelanjutan jenjang pascasarja. Kelima, yang paling radikal
adalah mengubah struktur kurikulum program studi (prodi) monodisiplin menjadi
prodi multidisiplin sesuai dengan perkembangan sains berkelanjutan (sustainable sciences). Penelitian
diarahkan pada pengembangan ilmu, teknologi, dan inovasi yang mendukung
tercapainya pembangunan berkelanjutan. Kampus berkelanjutan harus memiliki
payung dan peta jalan penelitian dengan benchmark goal yang jelas, baik untuk
jangka pendek, menengah, maupun panjang. Hasil penelitian dan inovasi sudah
terpetakan dan terukur capaiannya. Hasil penelitian dan inovasi tersebut lalu
diterapkan dalam kampus sendiri. Kampus
sebagai tempat pengabdian pertama para dosen dan mahasiswa dengan menerapkan
teknologi dan inovasi yang dihasilkannya. Kampus sebagai tempat trial and
error pengembangan inovasi, sebelum diabdikan pada masyarakat luas. Elemen
kedua dalam pelaksanaan kampus berkelanjutan adalah melaksanakan dan
menjalankan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan kampus dan
fasilitasnya. Karena itu, kampus berkelanjutan harus sudah memiliki rencana
induk dan strategis pengembangan kampus di mana prinsip-prinsip keberlanjutan
tercantum di dalamnya. Misalkan, benchmark carbon footprint, konsumsi energi,
konservasi air, status green building, dan lain-lain pada saat kebijakan
kampus berkelanjutan diterapkan; serta pada saat target keberlanjutan ingin
dicapai. Ketiga,
evaluasi, perbaikan, dan pelaporan. Kampus berkelanjutan harus memiliki
mekanisme evaluasi tahunan sesuai dengan perencanaan kegiatan dan anggaran.
Untuk itu, diperlukan indikator dan parameter kinerja. Mulai dari
ketercapaian pemahaman visi dan misi oleh seluruh sivitas kampus sampai pada
ketercapaian indikator keberlanjutan. Hasil
evaluasi digunakan untuk perbaikan dalam pelaksanaan program keberlanjutan,
termasuk perbaikan metode pelaksanaannya. Hasil evaluasi dan upaya perbaikan
dituangkan dalam laporan tahunan dan disampaikan kepada pemangku kepentingan
internal universitas, mitra kerja sama, dan perguruan tinggi lain sebagai
bagian dari upaya berbagi pengalaman. ”Sustainable leadership” Kampus
berkelanjutan menghadapi tantangan yang besar. Tantangan sebagai konsekuensi
dari perubahan paradigma. Keberhasilan kampus berkelanjutan perlu dipahami sebagai
keberhasilan perubahan yang mendasar. Karena itu, sustainable university
memerlukan kepemimpinan keberlanjutan (sustainable leadership). Rektor,
wakil rektor, para dekan, dan ketua jurusan sebagai pengelola universitas
perlu memiliki mental sebagai pemimpin perubahan. Kepemimpinan mereka
memainkan peran penting dalam melakukan perubahan dan mencapai tujuan. Ada
beberapa karakteristik kepemimpinan yang diperlukan, di antaranya pertama,
mereka harus menyadari peran penting kampus dalam upaya mencapai Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan. Kampus sebagai produsen sumber daya manusia
unggul, ilmu pengetahuan, serta teknologi harus hadir dan berperan dalam
membangun peradaban keberlanjutan. Kedua,
para pemimpin pada tiap-tiap level harus memahami secara komprehensif bahwa
universitas berkelanjutan memerlukan perubahan kelembagaan dalam arti
organisasi dan aturan main. Ketiga, mereka harus memiliki komitmen dan
militansi yang kuat terhadap universitas berkelanjutan dengan segenap
konsekuensi terjadinya perubahan yang mendasar. Keempat,
para pemimpin, lebih-lebih rektor sebagai top leader, harus berani membuat
pernyataan kebijakan untuk mewujudkan kampus berkelanjutan sesuai dengan visi
dan misi kampus berkelanjutan. Kelima, para pemimpin harus memanfaatkan setiap
peluang dan jejaring untuk melakuan perubahan kelembagaan menuju kelembagaan
kampus berkelanjutan ideal. Dan,
kita menantikan perubahan-perubahan yang terjadi pada universitas di
Indonesia menuju universitas berkelanjutan. Siapa berani mengambil kepemimpinan?
Mari kita menjadi saksi sejarah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar