Kelindan
Persoalan 1 Juta Barel Per Hari Aris Prasetyo ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 22 Juli 2021
Sepanjang semester I-2021,
produksi siap jual atau lifting minyak di Indonesia sebanyak 667.000 barel
per hari dan lifting gas bumi sebanyak 5.430 juta standar kaki kubik per
hari. Ada lompatan target luar biasa pada 2030, yaitu lifting minyak 1 juta
barel per hari serta 12 miliar standar
kaki kubik per hari untuk gas bumi. Ini merupakan target ambisius di tengah
tumpukan masalah klasik yang tak kunjung tuntas. Sumber daya migas yang
tersimpan dalam perut bumi perlu diangkat dan dimonetisasi. Negara memiliki
keterbatasan untuk mengusahakan itu semua, baik dari sisi pendanaan, sumber
daya manusia, maupun teknologi. Oleh karena itu, dibutuhkanlah investor yang
berkontrak dengan negara, dalam hal ini Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Dalam prosesnya, ada
perizinan yang mesti ditebus oleh investor—di hulu migas, investor disebut
sebagai kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Jumlahnya bisa mencapai ratusan
atau setidaknya lebih dari 100
perizinan, baik izin yang ada di
pusat maupun di daerah. Tak
jarang, satu jenis izin saling berkaitan dengan izin lainnya. Yang lebih buruk lagi, tak
ada kejelasan kapan izin itu selesai diurus. Sehari, seminggu, sebulan, atau
setahun, tak ada yang bisa memastikan. Bahkan, proses perizinan bisa memakan
waktu bertahun-tahun (dalam sebuah webinar disebutkan ada izin yang memakan
waktu hingga 10 tahun). Begitu berbelitnya urusan
birokrasi di negeri ini membuat segala sesuatunya berjalan (amat) lamban.
Masih dari webinar yang sama, seorang investor menyampaikan sebuah satire:
aparat tampaknya senang melihat investor mondar-mandir mengurus perizinan,
seolah tidak rela melihat segala sesuatu berjalan cepat dan mudah. Ungkapan
lama tampaknya masih relevan: kalau bisa dibuat sulit, kenapa dimudahkan? Satu hal yang bisa dibuat
contoh adalah Blok Masela di laut lepas Maluku. Blok kaya gas bumi ini
ditemukan cadangannya pada tahun 2000. Sampai sekarang, kontraktor masih
bersusah payah agar blok tersebut segera berproduksi. Salah satu investornya
bahkan menyerah dan berusaha melepas kepemilikan sahamnya. Blok ini
diperkirakan berproduksi pada triwulan II-2027. Bisa dibayangkan, butuh waktu
27 tahun sejak penemuan cadangan sampai bisa
berproduksi di Indonesia. Kembali ke soal target
produksi 1 juta barel per hari. Seandainya saja hari ini ditemukan cadangan
minyak atau gas bumi dalam jumlah besar sekalipun, apakah bisa segera
berproduksi pada 2030? Apakah cukup waktu 10 tahun untuk mengurus segala macam perizinan,
administrasi, dan lain sebagainya? Bukannya sudah ada
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja? Konon katanya, UU ini
dilahirkan untuk mempercepat masuknya arus investasi. Namun, UU saja belum
cukup. Pemerintah, khususnya Kementerian Investasi, masih merasa perlu
menerbitkan aturan turunan untuk mempercepat segala proses dari hulu ke
hilir. Satu hal yang relevan
dibuat contoh adalah Blok Masela di laut lepas Maluku. Blok kaya gas bumi ini
ditemukan cadangannya pada tahun 2000. Namun, sampai sekarang kontraktor
masih bersusah-payah agar blok tersebut segera berproduksi. Aturan yang sedang
disiapkan adalah mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam
tata perizinan. Akan diatur ketentuan soal batas waktu kapan perizinan atau
sebuah rekomendasi harus diterbitkan oleh sebuah instansi, baik di pusat
maupun di daerah. Apabila instansi lamban dan melewati tenggat, izin atau
rekomendasi tersebut akan ditandatangani oleh Kementerian Investasi
mengatasnamakan instansi yang
berwenang menerbitkan perizinan. Tentu ini menjadi kabar
baik bagi investor migas di Tanah Air. Bakal ada titik terang di tengah
ketidakpastian menunggu terbitnya perizinan yang berlapis-lapis itu.
Efisiensi bisa tercipta dan monetisasi sumber daya migas bisa segera
terlaksana. Apalagi, dari 128 cekungan
di Indonesia, sebanyak 70 cekungan sama sekali belum diteliti kandungan
sumber daya migasnya. Ditambah lagi masih rendahnya sumber daya negara
sehingga membutuhkan kehadiran KKKS di hulu migas. Indonesia juga perlu
memperkaya daya tarik investasi di tengah sengitnya persaingan. Kalau tak ada pembenahan,
investor bakal enggan masuk ke Indonesia dan lebih memilih negara yang urusannya lebih mudah, cepat, serta
memberikan jaminan kestabilan hukum. Apabila ini terjadi, Indonesia bisa
terperangkap kian dalam menjadi importir migas setelah beberapa dekade lalu
pernah menjadi anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang
bergengsi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar