Kegaduhan
Rangkap Jabatan Tajuk Kompas ; Dewan Redaksi Kompas |
KOMPAS, 23 Juli 2021
Sejak Selasa (20/7/2021),
publik di negeri ini gaduh gegara perubahan Statuta Universitas Indonesia.
Rektor UI yang semula tak boleh rangkap jabatan, kini diizinkan. Statuta UI yang melarang
rektor merangkap jabatan, termasuk di badan usaha milik negara (BUMN), semula
dikukuhkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013. Namun, pada 2
Juli 2021, Presiden Joko Widodo menerbitkan PP Nomor 75 Tahun 2021 yang
menggantikan PP sebelumnya sehingga Rektor dan Wakil Rektor UI bisa menduduki
jabatan di BUMN. Prof Dr Ari Kuncoro yang menjabat Rektor UI sejak Desember
2019 dilegalkan untuk menjadi Wakil Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia
(BRI) Tbk. Sebelum menjabat rektor,
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI ini pada 2017 menduduki jabatan
Komisaris Utama PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk. Pada Februari 2020, ia
pun menjabat komisaris di BRI. Ombudsman Republik Indonesia (ORI)
mengingatkan Rektor UI saat itu melanggar Statuta UI dengan merangkap
jabatan. (Kompas.id, 1/7/2021) Langkah pemerintah
mengubah PP Statuta UI, setelah ada peringatan dari ORI dan khalayak,
memunculkan kegaduhan di masyarakat. Pemerintah dinilai mencari jalan pintas
sehingga kepentingannya secara hukum bisa dibenarkan, seperti yang pernah
pula terjadi dalam beberapa kasus pengisian pejabat. Rangkap jabatan pimpinan perguruan tinggi
negeri (PTN) di BUMN pun disoroti akan membahayakan kebebasan akademik dan
secara administrasi merepotkan pemerintah. Lepas dari berbagai
kepentingan dan kemungkinan di UI, kita mengapresiasi kebesaran hati Ari
Kuncoro yang pada Rabu (21/7/2021) menyerahkan surat pengunduran diri sebagai
Wakil Komisaris Utama BRI. Sehari kemudian, pengunduran dirinya itu diumumkan
pula secara terbuka di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) (Kompas.id, 22/7/2021).
Ini menjadi langkah yang bijak. Selama masa pemerintahan
Presiden Jokowi, masalah rangkap jabatan oleh pejabat publik ini bukan kali
ini saja terjadi dan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Catatan Kompas
menunjukkan, tahun 2015 terjadi polemik mengenai pejabat negara yang
merangkap jabatan di partai politik, yang tak sejalan dengan kebijakan kepala
negara. Namun, pejabat negara yang merangkap jabatan di partai itu masih saja
terjadi. Rangkap jabatan di BUMN juga disoroti oleh ORI pada 2017, sebagai
praktik yang sarat konflik kepentingan dan berpotensi kolutif. ORI mencatat ada 222
komisaris di 144 unit usaha milik pemerintah yang merangkap jabatan sebagai
pelaksana pelayanan publik atau aparatur sipil negara (ASN). Jumlah itu
sekitar 41 persen dari 541 komisaris di semua unit usaha pemerintah. Lembaga
Administrasi Negara (LAN) mencatat, dari 117 komisaris yang didata, 93 adalah
pejabat kementerian, 12 dari perguruan tinggi, 8 dari lembaga pemerintah, 5
dari TNI, 5 dari pemerintah daerah, 1 dari Polri, dan 1 dari kejaksaan.
(Kompas, 7/6/2017) Rangkap jabatan itu
diyakini kini masih ada. Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, serta UU Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat mengatur larangan perangkapan jabatan itu. Inilah saat bagi pemerintah
untuk menata kembali aparaturnya sehingga tak terjadi perangkapan jabatan
lagi. Tak perlu ada kegaduhan yang tak perlu, apalagi saat perhatian kita
tercurah untuk menangani pandemi Covid-19 ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar