Kebajikan
dalam Prinsip Kedaruratan Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis |
DETIKNEWS, 19 Juli 2021
Salat Idul Adha di seluruh
Indonesia dianjurkan untuk dilaksanakan di rumah masing-masing. Sebabnya kita
semua sudah tahu, karena sedang berkecamuknya pandemi Covid-19. Indonesia
sekarang dalam situasi yang sangat parah, masuk golongan paling parah di
dunia. Ini situasi yang sangat genting. Karena itu langkah-langkah yang harus
kita ambil juga harus sesuai dengan situasi itu. Salat Idul Adha adalah
ibadah sunah yang dalam keadaan normal saja boleh ditinggalkan, apalagi dalam
situasi darurat. Sebenarnya pemerintah dan para ulama pun sudah menegaskan
bahwa Salat Jumat yang wajib pun untuk sementara ditiadakan. Keputusan itu
tentu dibuat dengan pertimbangan sahih, berdasarkan kaidah fiqh. Tidak perlu
ada gugatan terhadap keputusan itu. Yang mempermasalahkan
sering kali adalah orang-orang yang tidak memakai basis pertimbangan ilmu agama,
melainkan hanya memakai rasa. Rasanya tidak enak kalau mengabaikan kewajiban
yang diperintahkan Allah. Rasanya seperti ingkar kepada Allah. Padahal tidak
ada keingkaran di situ. Memaksa untuk terus berkumpul dan beribadah dengan
akibat berupa kemudaratan justru merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan dari Allah. Bukan hanya kita yang
begitu. Kota Mekkah sebagai pusat peribadatan umat Islam juga menerapkan hal
yang sama. Pemerintah Arab Saudi membatasi jumlah jamaah haji, dan sangat
membatasi akses ke Masjidil Haram. Praktis tempat suci itu ditutup untuk
kegiatan di luar ibadah haji. Fokus kita sekarang adalah
menjaga keselamatan diri dan orang lain. Ini pun merupakan perintah Allah.
Jangan salah berprinsip, dengan mengatakan bahwa kematian adalah kehendak
Allah, lantas orang boleh bersikap sembrono. Kematian adalah takdir Allah,
tapi menjaga keselamatan diri dan orang lain adalah kewajiban manusia. Fokus berikutnya adalah
membantu orang-orang yang memerlukan. Muhammadiyah melakukan langkah yang
sangat mulia dengan menganjurkan agar dana yang tadinya diperuntukkan bagi
penyembelihan kurban disalurkan untuk membantu orang-orang yang terkena
dampak pandemi ini. Keduanya bertujuan sama.
Kurban juga bertujuan membantu orang susah. Tapi dalam situasi sekarang,
bantuan daging kurban menjadi sangat mewah, saat yang lebih dibutuhkan
orang-orang adalah sesuatu yang bisa menyambung hidup mereka dalam arti
harfiah, yaitu obat-obatan dan alat kesehatan. Sangat tepat kalau bantuan
seperti itu ditempatkan pada prioritas paling tinggi. Pikiran kita soal
standar-standar kebajikan harus diubah, disesuaikan dengan keadaan. Dalam
keadaan darurat, prinsip-prinsip kedaruratan harus menjadi dasar dalam
berpikir. Sangat keliru bila pikiran yang mendasari tindakan masih
dipertahankan dengan pola pikir situasi normal. Soal ini perlu ditekankan
berulang-ulang, karena masih sangat banyak orang yang tidak paham, dan tidak
mau paham. Konyolnya, suara-suara keberatan terhadap langkah-langkah ini
tidak saja berasal dari kalangan awam. Pengurus MUI Pusat pun ada yang
menyatakan keberatan terhadap peniadaan ibadah di masjid dalam ketentuan PPKM
Darurat yang dikeluarkan pemerintah. Tokoh-tokoh agama di berbagai tempat
banyak yang bersuara senada. Yang lebih parah, masih
saja ada yang menuduh bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah ini
sebagai bentuk permusuhan kepada umat Islam. Seakan pemerintah hendak
melarang orang beribadah. Pemerintah digambarkan sebagai kelompok anti-Islam. Ini situasi darurat. Dalam
situasi darurat sangat penting untuk mendengar dan melaksanakan komando dari
pemimpin, tanpa banyak bertanya, apalagi menggugat. Terlebih untuk hal-hal
yang sebenarnya sudah sangat jelas status hukumnya secara fiqh. Kalau kita tak bisa
membantu, setidaknya jangan jadi beban atau penghalang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar