Karyawan
Pengarang Sori Siregar ; Cerpenis, Meninggal pada 21 Juni 2021 |
KOMPAS, 29 Juni 2021
Lebih dari 350
peserta hadir dalam Konferensi
Karyawan Pengarang Se-Indonesia (KKPI) yang berlangsung pada
Maret 1964 di Jakarta. Konferensi ini tak hanya dihadiri para
pengarang, juga wartawan. Dalam daftar
hadir saya melihat nama pendiri Harian Kompas, Auwjong Peng Koen (PK Ojong)
dan Jakob Oetama. Kata karyawan saat itu
sedang populer di luar sana dan kata itu pula yang disematkan kepada peserta konferensi.
Ternyata tidak ada pengarang peserta konferensi yang keberatan dengan frasa
karyawan pengarang itu. Juga tak jelas
mengapa Panitia Penyelenggara
Konferensi menggunakannya. Puluhan tahun kemudian
putri saya bertanya, "Jika para pengarang disebut karyawan, siapa bos
mereka?" Ia mengutip entri yang tersua di KBBI: karyawan 'orang yang bekerja pada suatu
lembaga (kantor, perusahaan, dsb)
dengan mendapat gaji (upah); pegawai; pekerja'. Siapa yang menggaji
pengarang? Apakah memang ada perusahaan pengarang atau kantor pengarang yang
memberi upah kepada pengarang yang mereka pekerjakan. Semua orang tahu
bahwa pengarang ialah orang yang berkarya dalam sunyi, dengan
sepenuh hati, untuk menghasilkan karya yang baik. Baru setelah karya tersebut
selesai, ia mengirimkan karangannya kepada media untuk dimuat. Dari
pekerjaannya itu ia menerima honorarium ala kadarnya; tak pernah cukup membiayai hidup satu
bulan. Pengarang adalah
orang yang berkreasi untuk
menghasilkan karya. Karya ini mungkin dapat dijadikan alasan untuk menyebut
orang berkreasi itu sebagai karyawan.
RRI sejak lama menyebut para penyiarnya sebagai angkasawan karena suara
mereka yang berkumandang di angkasa.
Karena itu, mengapa tak boleh menyebut orang yang telah berkarya sebagai
karyawan? Pengarang kan orang yang berkarya. Agaknya ini yang membuat para
penyelenggara pertemuan besar itu menggunakan kata karyawan. Boleh jadi
begitu. Karyawan bersinonim
dengan buruh, pekerja, pegawai, tenaga
kerja. Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dan mendapat upah.
Pegawai tak lain dari orang yang bekerja pada pemerintah
(perusahaan, dsb). Tenaga kerja adalah pekerja, pegawai, atau orang yang
mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. Semua
yang disebutkan ini adalah penjelasan entri KBBI V. Barangkali yang paling
dekat hubungannya dengan kata karyawan adalah yang disebutkan entri: 'orang
yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja'.
Jika ini yang menjadi rujukan, semua orang yang bekerja dalam bidang kesenian
dapat juga disebut karyawan seperti pematung, pelukis, penari, pemusik, dan
pekerja teater. Mengingat karyawan adalah sinonim buruh, tampaknya tak ada penulis
yang mau disebut “buruh pengarang”. Agar tak timbul beda paham tentang arti buruh dan majikan, pada 8 April 1957 pemerintah menerbitkan UU No 22/1957.
Bagian 1, Pasal 1, Ayat 1
menyebutkan buruh 'barang siapa bekerja pada majikan dengan menerima upah'
dan majikan 'orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh' (Agus Sudono,
2008) . Jika kita mengaitkan kata
karya dengan karyawan, mungkin dapat diterima sebutan karyawan pengarang,
bukan buruh pengarang, pegawai pengarang, atau pekerja pengarang. Memang tak
ada masalah yang timbul karena sebutan karyawan pengarang. Para pengarang
besar Indonesia yang hadir di sana tak
mempersoalkannya. Yang penting buat
mereka, konferensi ihwal kepengarangan
di Indonesia itu berlangsung sukses. Ternyata sebutan karyawan pengarang bermula dan berakhir
dalam pertemuan itu. Sejak itu tak pernah terdengar frasa karyawan
pengarang--selesai begitu konferensi berakhir. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar