Gen
Penyebab Obesitas Atika Walujani Moedjiono ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 14 Juli 2021
Obesitas menjadi salah
satu faktor risiko gejala berat pada Covid-19. Juga memicu masalah kesehatan
seperti diabetes, penyakit jantung, hipertensi, stroke, serta kanker.
Obesitas biasanya diukur
lewat indeks massa tubuh (BMI), yakni berat badan dalam kilogram (kg) dibagi
dengan kuadrat tinggi badan dalam meter persegi. Menurut Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), rata-rata BMI normal pada orang dewasa di Asia dan Afrika adalah
22-23 kg per meter persegi. Pada 23-27,5 kg per meter persegi disebut
kelebihan berat badan, dan lebih dari 27,5 kg per m2 adalah obesitas.
Adapun BMI 25-27 kg per
meter persegi lazim di Amerika Utara, Eropa, beberapa negara Amerika Latin,
Afrika Utara, serta Kepulauan Pasifik. Lebih dari itu berarti kelebihan berat
badan, dan obesitas jika lebih dari 29,9 kg per meter persegi.
Adakalanya orang berotot
memiliki BMI tinggi tanpa kelebihan lemak. Karena itu, Layanan Kesehatan
Nasional (NHS) Inggris menggunakan lingkar pinggang sebagai patokan.
Laki-laki dengan lingkar pinggang 94 cm atau lebih dan perempuan dengan
lingkar pinggang di atas 80 cm cenderung mengalami masalah kesehatan terkait
obesitas.
Estimasi WHO pada 2016,
sekitar 1,9 miliar orang dewasa di dunia kelebihan berat badan, 650 juta di
antaranya mengalami obesitas. Indonesia memiliki beban ganda. Di satu sisi
masih berupaya mengatasi kekurangan gizi, di sisi lain menghadapi peningkatan
kasus obesitas. Riset Kesehatan Dasar 2018 mendapatkan, satu dari tiga
penduduk dewasa (35,4 persen) menderita obesitas.
Obesitas disebabkan asupan
kalori lebih banyak ketimbang yang dibakar lewat aktivitas fisik. Kelebihan
kalori disimpan dalam bentuk lemak. Kasus obesitas meningkat karena saat ini
makanan berkalori tinggi mudah didapat, sementara aktivitas fisik jauh
berkurang.
Faktor lingkungan sejak
dalam kandungan, demikian laman kesehatan Universitas Harvard, Amerika
Serikat (AS), berpengaruh. Bayi dari ibu yang merokok selama hamil rentan
mengalami kelebihan berat badan dibanding bayi ibu tidak merokok. Hal sama
terjadi pada bayi dari ibu diabetes. Bayi yang mendapat air susu ibu (ASI)
lebih dari tiga bulan lebih kecil risikonya mengalami obesitas saat remaja
dibandingkan bayi dengan ASI kurang dari tiga bulan.
Pola makan tidak teratur
dapat mengganggu efektivitas jam biologis yang mengatur sinyal rasa lapar dan
kenyang sehingga memicu obesitas. Penelitian juga menunjukkan kurang tidur
mengganggu hormon pengontrol rasa lapar serta nafsu makan. Penelitian tahun
2004 pada lebih dari 1.000 sukarelawan mendapatkan, orang yang tidur kurang
dari delapan jam semalam memiliki tingkat lemak tubuh lebih tinggi
dibandingkan mereka yang tidur lebih lama.
Gen
FTO
Memanfaatkan data
Framingham Heart Study, penelitian yang melibatkan lebih dari 10.000 orang
untuk mengisi kuesioner dan pemeriksaan medis setiap beberapa tahun termasuk
pemeriksaan DNA, pada 2007, para peneliti mendapatkan gen pemicu obesitas.
Namun, gen fat mass and obesity-associated (FTO) hanya aktif pada mereka yang
lahir setelah tahun 1942.
”Orang yang lahir pada
awal 1940-an tidak memiliki peningkatan risiko BMI atau obesitas meski
memiliki varian FTO pemicu obesitas,” kata pemimpin penelitian, James Niels
Rosenquist dari Rumah Sakit Umum Massachusetts, kepada NBC News, 30 Desember
2014.
Penelitian yang
diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences, tidak
menjelaskan apa yang berubah setelah 1942 sehingga mengaktifkan gen. Diduga,
seusai Perang Dunia II, orang-orang menjalani gaya hidup modern. Kemana-mana
naik mobil, banyak duduk nonton TV, dan makan makanan cepat saji.
Peneliti Jerman, Martin E
Hess dan Jens C Brüning, dalam Biochimica et Biophysica Acta, terbit daring 8
Februari 2014, menyatakan, ekspresi gen FTO dilaporkan pada seluruh sistem
saraf pusat, terutama di inti hipotalamus yang bertanggung jawab atas kontrol
keseimbangan perilaku makan.
Dalam kajian di jurnal
Current Genomics, Mei 2011, Hélène Choquet dari Universitas California, AS,
dan David Meyre dari Universitas McMaster, Kanada, memaparkan, tahun 2008,
penelitian terkait genom mendapatkan delapan gen monogenik dan empat gen
poligenik (FTO, PCSK1, MC4R, CTNNBL1) pemicu obesitas.
Pengaruh gen reseptor
melanocortin-4 (MC4R), pengatur homeostasis energi, asupan makanan, dan berat
badan, dilaporkan Manpreet Doulla dan kolega dari Universitas Western,
Kanada, pada anak perempuan usia delapan tahun dengan obesitas berat. Dalam
makalah di jurnal Paediatrics & Child Health, Desember 2014 disebutkan,
mutasi gen ini diidentifikasi menyebabkan hingga 6 persen kasus obesitas
dini.
Sejauh ini, FTO masih
menjadi perhatian utama karena sangat umum, memiliki varian dan efek paling
besar pada populasi keturunan Eropa, demikian Ruth JF Loos dari The Icahn
School of Medicine at Mount Sinai, New York, AS, dan Giles SH Yeo dari
Laboratorium Riset Metabolik Universitas Cambridge, Inggris, dalam kajian di
Nature Reviews Endocrinology, Januari 2014.
Setiap alel (pasangan gen
dalam lokus yang bersesuaian) minor tambahan dikaitkan dengan peningkatan BMI
0,39 kg/meter persegi (setara 1.130 g berat badan pada orang setinggi 1,7 m)
dan risiko obesitas 1,2 kali lipat. Sementara pengaruh FTO pada populasi
keturunan Asia dan Afrika lebih kecil, yakni peningkatan BMI 0,26 kg/meter
persegi (setara 750 g pada orang setinggi 1,7m).
Pada individu yang aktif
secara fisik, efek FTO turun sekitar 30 persen. Karena itu, aktivitas fisik
menjadi penting dalam pengaturan berat badan, selain pengaturan makanan sehat
dan rendah kalori. Aktivitas fisik seperti olahraga harus dilakukan secara
teratur 2,5-5 jam per minggu. Pengurangan berat badan 3 persen atau lebih
dari berat awal, signifikan mengurangi risiko komplikasi terkait obesitas
seperti diabetes dan penyakit jantung. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar