Gejolak
Ekonomi di Tikungan Kedua Pandemi Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar FEB Universitas Brawijaya Deputi
Pembangunan Ekonomi Sekretariat Wakil Presiden |
KOMPAS, 29 Juli 2021
Pengendalian
wabah Covid-19 di Indonesia sempat seperti telah berada di genggaman tangan.
Sampai pertengahan Mei 2021 jumlah warga yang terpapar turun di bawah 5.000
orang per hari. Vaksin
yang disuntikkan ke penduduk juga terus meningkat dari hari ke hari. Tempat
isolasi mandiri yang disediakan pemerintah mulai lapang: tak penuh
penghuninya. Ruang isolasi rumah sakit (RS) sebagian kosong. Jumlah warga
baru yang terpapar virus lebih rendah dari pasien yang sembuh. Ini membuat
prospek kehidupan menjadi merekah. Namun,
tak lama setelah itu, dampak dari mudik Lebaran (yang kurang efektif
dibendung) dan serangan varian baru virus yang berasal dari India (Delta)
mulai mengganas sehingga memupus asa di depan mata. Situasi memburuk dengan
gegas, bahkan penambahan kasus harian nyaris menyentuh 57.000 orang (naik 10
kali lipat). Tenaga kesehatan (nakes) terpapar dan sebagian gugur. RS tak
bisa menampung luapan pasien baru. Oksigen (dan tabungnya) meruap. Segalanya
mendadak gelap. Kontrol pasokan Pemerintah
merespons kondisi itu dengan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan
Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali. Kegiatan pemerintahan, ekonomi,
dan ritual agama dikendalikan untuk sementara waktu. Pusat perbelanjaan
ditutup, restoran hanya menerima pesanan (tak boleh makan-minum di tempat),
jalan-jalan disekat, kantor diatur ketat operasinya (kecuali sektor
esensial), kegiatan tempat ibadah dibatasi, dan seterusnya. Situasi
lebih kurang mirip saat pertama kali pemerintah memberlakukan Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal pandemi (2020). Inilah “tikungan kedua
pandemi” yang juga banyak dialami negara lain. Mencermati
kondisi ini, terdapat sekurangnya tiga soal pokok yang perlu disiapkan dengan
sigap. Pertama, membantu dengan cepat penambahan daya tampung RS dan nakes.
Kedua, PPKM Darurat punya dampak sama dengan PSBB: daya beli warga merosot.
Proteksi sosial menjadi tiang bergantung. Ketiga, instrumen fiskal perlu
dikonsolidasikan lagi karena terjadi aneka perubahan. Ketiganya jelas bukan
soal mudah. Secara
berangsur kapasitas RS telah ditambah, namun masih jauh dari kebutuhan.
Beberapa fasilitas bangunan yang dimiliki pemerintah (termasuk kampus negeri)
bisa didayagunakan untuk kondisi darurat ini, baik sebagai tempat isolasi mandiri
(isoman) maupun RS darurat. Kerja sama dengan ormas besar, seperti NU dan
Muhammadiyah, patut diintensifkan. Para
nakes diberi amunisi vaksin lagi agar daya tahan tubuh kuat menghadapi beban
kerja maupun amuk virus. Relawan yang dapat membantu pekerjaan ini
dikonsolidasikan, termasuk petugas penyuntikan vaksin. Pemerintah telah
mengambil sikap yang benar bagi percepatan penyuntikan vaksin. Problem
yang tak kalah merisaukan adalah kelangkaan beberapa perkakas kesehatan,
seperti obat-obatan, vitamin, oksigen (tabung), dan lain-lain. Tidak
diketahui secara persis masalah kelangkaan ini: apakah produksi memang
terbatas atau terdapat mafia yang mengontrol pasokan di pasar? Pada situasi
seperti sekarang, perilaku culas (moral hazard) harus dibasmi sebab berpunggungan
dengan keadaan darurat kemanusiaan yang tengah berlangsung. Salah
satu yang perlu ditelisik atas kelangkaan alat kesehatan ialah peta pemain
yang selama ini menjadi pemasok barang. Sejak awal pandemi, Menteri BUMN
telah membuat pernyataan terang-benderang: sebagian besar alat kesehatan
berasal dari produk impor dan pemainnya terbatas. Praktik
oligopoli ini patologi yang sangat serius karena produsen atau distributor
dengan mudah mempermainkan jumlah barang dan harga. Data yang dilansir CSIS
(2017), misalnya, menunjukkan pada 2002 terdapat empat perusahaan yang
mengendalikan penuh (100 persen) peralatan kedokteran dan pada 2012 keempat
korporasi itu masih menguasai 96,9 persen. Persaingan
ini amat tidak sehat sehingga pasar menjadi distortif. Pada situasi mendesak
seperti sekarang, salah satu intervensi yang bisa dilakukan adalah mendorong
BUMN masuk ke arena untuk memecah praktik oligopoli tersebut. Pemerintah,
lewat anggaran negara, dapat pula melakukan intersepsi pengadaan langsung
dengan negara atau produsen (luar negeri) agar pasokan segera bertambah. Pertumbuhan berimbang Seiring
peningkatan pertumbuhan ekonomi sejak triwulan III-2020 sampai triwulan
I-2021, beberapa data sosial-ekonomi juga mengalami perbaikan, seperti angka
kemiskinan, pengangguran, ketimpangan. Pengangguran mengalami perbaikan
paling meyakinkan. Sementara itu, kemiskinan dan ketimpangan terdapat
penurunan, namun amat tipis. Capaian ini patut disyukuri di tengah situasi
yang sangat menekan. Setelah
gelombang kedua pandemi terjadi, yang dimulai sejak awal Juni 2021, hampir
dipastikan daya beli masyarakat merosot lagi. Sebagian warga tidak bekerja
kembali sehingga wabah kemiskinan dan pengangguran berpotensi menyeruak ke
permukaan. Sekali
lagi, situasi yang hampir sama layaknya pada April-Juni 2020 berpeluang besar
terulang. Pertumbuhan ekonomi Jawa-Bali akan turun lagi dan menciptakan kawah
baru pengangguran dan kemiskinan (termasuk ketimpangan). Peta ini perlu tentu
perlu dianalisis lebih dalam lagi. Terdapat
dua aktivitas ekonomi yang laik diperhatikan secara saksama. Pertama, berbeda
dengan awal serangan pandemi, saat ini persebaran virus relatif lebih merata
antara daerah perkotaan dan perdesaan. Implikasinya, sektor pertanian (dalam
pengertian yang luas, termasuk peternakan, perkebunan, dan perikanan) tidak
akan leluasa geraknya seperti tahun lalu. Pada 2020 sampai triwulan I-2021
sektor pertanian terus tumbuh positif (meski menurun). Jika melihat situasi
sekarang langkah presisi perlu disiapkan sejak dini untuk menyangga produksi
sektor strategis ini. Kedua,
sejak tahun lalu informalisasi ekonomi bertambah pesat akibat penutupan
kegiatan ekonomi. Sektor formal yang tergopoh masih bisa disangga lewat
fleksibilitas ekonomi informal. Saat ini potensi pembengkakan sektor informal
sangat mungkin tercipta sehingga kerentanan ekonomi kian meningkat. Ciri
sektor informal ini diselimuti oleh ketidakpastian, pendapatan rendah, dan
ketiadaan perlindungan. Apa
yang bisa dilakukan dalam situasi yang serba pelik ini? Pemerintah dan Bank
Indonesia (juga Otoritas Jasa Keuangan) sudah tepat menyusun aneka simulasi
kebijakan ekonomi, misalnya relaksasi kredit, penurunan tingkat suku bunga,
restrukturisasi pinjaman, bantuan produktif, dan lain sebagainya. Di
luar itu, terdapat kebijakan lain yang dipikirkan oleh ekonom pembangunan
berpengaruh, Ragnar Nurkse (1953). Ekonom ini menyatakan tak bisa otoritas
sekadar meningkatkan salah satu sumber pertumbuhan, misalnya sektor industri
(seperti disarankan Rosenstein-Rodan), tetapi secara bersamaan juga mesti
mengembangan aktivitas ekonomi yang saling berkaitan. Misalnya,
insentif investasi sektor pertanian direlasikan dengan pengembangan industri
olahan yang berbasis komoditas primer. Implikasinya, pertumbuhan produksi
pertanian bisa diserap industri dan punya potensi memindahkan pelaku sektor
informal ini (baik ke pertanian maupun industri). Doktrin “pertumbuhan
berimbang” ini akan menyelamatkan keadaan. Ketangkasan eksekusi Seluruh
pemangku kepentingan paham bahwa dalam situasi darurat (kesehatan, ekonomi,
dan sosial), hanya pemerintah yang bisa dijadikan tumpuan. Salah satu
tiangnya bersumber dari kebijakan fiskal. Pada masa normal saja ruang fiskal
sangat terbatas, apalagi keadaan sekarang. Penerimaan negara rendah akibat
ekonomi terjun bebas, sebaliknya kebutuhan alokasi belanja melonjak. Ruang
yang tersedia cuma dua: menambah utang atau realokasi anggaran. Menambah
utang dalam jumlah besar berisiko karena muncul jebakan fiskal (dalam jangka
menengah). Solusi
jangka pendek di antaranya meminta restrukturisasi pembayaran dan diskon
bunga utang. Ini membuat rongga belanja menjadi sedikit terbuka. Penghematan
dan realokasi belanja telah dilakukan sejak tahun lalu, namun inefisiensi
masih terjadi. Program kementerian/lembaga yang tumpah tindih dan sandaran
program yang belum presisi perlu ditelisik lagi. Pemerintah terus mengerjakan
konsolidasi dua sisi ini agar kebijakan fiskal lebih kredibel dan program
dijalankan secara akuntabel. Perkara
kunci yang mesti diselaraskan adalah paket proteksi sosial yang terukur,
sederhana, dan cepat sampai (sasaran). Dua dimensi dari keterukuran adalah:
siapa yang wajib disantuni dan berapa besarannya. Di sini persoalan data
kerap menjadi sandungan, tetapi secara umum sudah lebih baik ketimbang tahun
lalu. Besarannya perlu disesuaikan agar riak sosial bisa dicegah. Selanjutnya,
program bantalan sosial ini mesti didesain sederhana, baik dari sisi jenis
maupun mekanisme penyalurannya. Program Bantuan Sosial Tunai (BST) merupakan
salah satu contoh kebijakan yang simpel, demikian pula program subsidi upah
yang dikerjakan tahun lalu. Program semacam ini eksekusinya membutuhkan
sumber daya yang sedikit dan tidak banyak lini birokrasi terlibat sehingga
mencegah ragam penyimpangan. Selebihnya, program harus cepat ke tangan
penerima sebab kehidupan rakyat sekarang ibarat ilalang kering yang gampang
tersulut. Ketangkasan dan kepastian jadi bagian dari pertaruhan efektivitas
kebijakan. Ujung
dari harapan seluruh pihak adalah sinyal keselarasan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah dalam menyusun dan mengeksekusi kebijakan
(kesehatan, ekonomi, dan sosial). Situasi sekarang jauh lebih baik ketimbang
setahun lalu. Informasi makin lengkap dan mekanisme kerja kian tertata.
Tetapi, dalam beberapa hal kesamaan pandang dalam menyikapi situasi darurat
(seperti penggunaan tempat ibadah) belum sebangun seperti yang diharapkan.
Hal ini juga terjadi pada aneka soal lainnya, baik pada isu kesehatan maupun
ekonomi. Kebijakan
fiskal yang telah direalokasi pemerintah pusat semestinya juga diikuti oleh
pemerintah daerah (termasuk penyerapan anggaran), di samping kejelasan
pembagian beban fiskal antara pusat dan daerah. Akhirnya, pada situasi
sekarang absah saja warga negara mengutuk keadaan atau menuding kesalahan.
Namun, pada puncak kegentingan kemanusiaan yang dibutuhkan adalah pelayanan.
“The sole meaning of life is to serve humanity,” ujar Leo Tolstoy. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar