Dunia
Fantasi Seno Gumira Ajidarma S Prasetyo Utomo ; Sastrawan, Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa
Unnes |
KOMPAS, 11 Juli 2021
Dunia fantasi menjadi
bagian proses penciptaan teks-teks Seno Gumira Ajidarma. Tak kepalang
tanggung, ia empat kali memenangi Anugerah Cerpen Kompas. Tentu banyak orang
penasaran, apa rahasia yang dipendam dalam kebesarannya sebagai cerpenis
Kompas yang paling produktif. Prestasinya menyamai Kuntowijoyo dan melampaui
Budi Darma. Kebanyakan teks cerpen
maupun novel yang diciptakan Seno dikemas dalam pengembaraan fantasi yang
mencengangkan. Dalam bahasa Marshall Clark, Seno memiliki imajinasi yang
sangat liar, kemampuan menarik gagasan secara terampil, baik dari tradisi
lokal maupun budaya populer asing, dan kemampuan mengkritik penguasa otoriter
dengan bahasa yang sering kali nyaring, subtil, dan tidak langsung. Dalam disertasi yang saya
tulis mengenai novel Kitab Omong Kosong, Seno melakukan defamiliarisasi terhadap
tokoh-tokoh Rama, Rahwana, Sinta, dan Hanoman. Ia mencipta kembali sebuah
kitab klasik yang disakralkan, Ramayana, menjadi novel dengan hasrat
bermain-main terhadap tokoh dan struktur narasi—inilah daya tarik fantasi
yang paling memikat. Bukan saja novel itu
menjadi khas, aneh, menyimpang, luar biasa, dan menarik empati pembaca yang
sudah sangat paham akan struktur narasi Ramayana, tetapi Seno juga telah
melakukan dekonstruksi terhadap karakter tokoh-tokoh kitab yang berisi
dharma, filosofi, dan mitos itu. Ia telah melakukan eksplorasi tokoh-tokoh
yang mengubah perilaku, konflik, dan struktur narasi membongkar kesucian Rama
sebagai awatara (titisan) Wisnu di dunia menjadi Rama yang haus kekuasaan,
bengis, keji, biadab, dan otoriter. Dalam novel Kitab Omong
Kosong itu Seno sangat leluasa menghidupkan tokoh-tokoh sakral ke dalam
fantasi yang diciptakannya sendiri, yang tak terduga. Ia bisa mengembara
secara intertekstual tidak hanya terhadap hipogram kitab Ramayana gubahan C
Rajagopalachari yang mengukuhi versi Walmiki, tetapi juga memiliki kemampuan
memadukan kitab-kitab sastra lain menjadi sebuah kisah yang menarik dan penuh
teka-teki. Bahkan, Walmiki bisa dihidupkannya dalam novel itu, dengan
struktur narasi yang dikembangkan menurut fantasinya sendiri. Tokoh Hanoman
juga memiliki keleluasaan untuk berkembang menurut fantasinya yang melampaui
batas ruang-waktu. Fantasinya liar dan tak terkendali. Menjadi
teladan Sungguh menarik pengakuan
Seno dalam Anugerah Cerpen Kompas 2020. Pertama, pengakuannya bahwa pada
mulanya ia mencipta cerpen selama empat tahun terus-menerus dikirim ke Kompas
dan barulah dimuat, kemudian berkembanglah ia menjadi cerpenis paling
produktif dan terhormat. Ia seorang sastrawan yang tangguh dan pantang
menyerah. Ketangguhan Seno ini menjadi teladan bagi para sastrawan lain agar
tak mudah menyerah dalam meraih kesempatan dimuat di media massa. Kedua, ia mematangkan
obsesinya terhadap obyek yang hendak ditulisnya cukup lama. Ia mengisahkan
betapa lama ia mengendapkan kisah yang kemudian diangkatnya menjadi cerpen
”Macan”. Ia melakukan wawancara dengan seorang teman, setiap kali bertemu,
berkali-kali. Kegigihan untuk menemukan ide dan mematangkan dalam
perenungannya ini juga sering kali dilupakan para sastrawan muda. Mereka
terbiasa terburu-buru menuangkan ide ke dalam teks sastra, agar cepat
dipublikasikan di media massa. Yang ketiga, ketika ia
menulis cerpen ”Macan” menyerahkan sepenuhnya proses kreatif itu pada
perkembangan fantasi, yang bahkan ia ”tak tahu” bakal jadi seperti apa. Ia
tidak mengerti bagaimana perkembangan struktur narasi dan akhir kisah
cerpennya. Ia menyerahkannya pada proses penulisan yang mengasyikkan. Karena itu, dalam cerpen
”Macan” justru terjadi penyimpangan dari obsesi semula. Segala obsesi yang
semula dipersiapkannya untuk mencipta struktur narasi justru menjadi bagian
kecil cerpen, sementara bagian yang semula tak menjadi obsesi kisah justru
berkembang dalam fantasi penciptaan, mendominasi struktur cerita. Keempat, yang paling
menggairahkan dalam penciptaan cerpen Seno
justru pada bagian ”ngawur”. Saya memaknai diksi ”ngawur” yang
diucapkannya itu sebagai bagian ketika fantasi mengarahkannya untuk melakukan
defamiliarisasi dan dekonstruksi struktur narasi. Dalam penciptaan cerpen,
ia memang tak memiliki keleluasaan mengembangkan fantasi, baik
defamiliarisasi maupun dekonstruksi, terhadap teks-teks sastra yang telah
dipetik sebagai hipogram bagi penciptaan karya sastranya seperti dalam
”Dodolitdodolitdodolibret”, cerpen pilihan Kompas 2010. Dalam cerpen pilihan
Kompas 2020, ”Macan”, ia memang melakukan defamiliasisasi terhadap novel
Harimau! Harimau! Mochtar Lubis, tetapi tak melakukan dekonstruksi struktur
narasi. Kelima, Seno melakukan
revisi dan penyuntingan terhadap cerpennya sampai 5-6 kali. Dicecar
pertanyaan berapa lama ia menulis cerpen, ia mengisahkan proses panjang
penciptaan sampai berkali-kali penyuntingan. Ia tak pernah puas dengan teks
yang diciptakannya, dan karena itu berkali-kali ia melakukan revisi. Betapa ia selalu dalam
pengembaraan fantasi yang tak pernah bisa lupa akan cerpen yang diciptakannya
itu sehingga menggodanya untuk melakukan revisi berkali-kali sampai ia merasa
ikhlas melepas teks itu ke media massa. Hal ini juga jarang dilakukan para
sastrawan lain, yang cenderung lebih cepat puas terhadap teks yang
diciptakannya, dan enggan untuk melakukan penyuntingan terhadap teks yang
sudah selesai ditulis. Keenam, ia membiarkan
cerpennya dalam tafsir yang terbuka. Ia tak menyelesaikan cerpennya dengan
peristiwa tertentu. Ia membiarkan cerpen itu dalam tafsir dan kebebasan
fantasi pembaca. Cerpen ”Macan” memberikan ruang fantasi bagi pembaca yang
bisa mengembangkan sendiri struktur cerita dalam benak mereka. Empati
kemanusiaan Kelebihan cerpen ”Macan”
tidak hanya pada tema tentang konservasi hutan sebagaimana dikatakan Damhuri
Muhamad. Dalam teks-teks yang diciptakan Seno, sering kali menyusup dunia
fantasi yang memenuhi ruang jiwa yang menciptakan empati kemanusiaan,
terutama dalam cerpen ”Pelajaran Mengarang” dan ”Cinta di Atas Perahu Cadik”.
Dalam cerpen ”Dodolitdodolitdodolibret” berkembang dunia fantasi
spiritualitas dan religiositas. Akan tetapi, sesungguhnya,
dalam keempat cerpen Seno yang
memenangi Anugerah Cerpen Kompas, selalu mengendapkan fantasi yang tak
terlupakan dalam pemahaman pembaca. Meski realis, cerpen-cerpen itu
menyingkap arus kesadaran manusia dalam konflik-konflik yang mendasar tentang
hakikat hidup. Dalam cerpen ”Pelajaran
Mengarang”, Seno mengembangkan
struktur narasi melalui Sandra, gadis 10 tahun, yang berfantasi mengenai
ibunya, sampai ia menulis dalam pelajaran mengarang: ibuku seorang pelacur.
Dalam cerpen ”Cinta di Atas Perahu Cadik”, fantasi itu berkembang melalui
sudut pandang tokoh-tokoh di luar tokoh utama: Sukab dan Hayati. Dalam cerpen
”Dodolitdodolitdodolibret”, dunia fantasi yang transenden itu dikembangkan
melalui perilaku Guru Kiplik. Fantasi cerpen ”Macan” berkembang melalui tokoh
macan yang membidik pemburu untuk dimangsa. Bukan suatu peristiwa yang
berlebihan tentu bila banyak pengarang yang menganggap Seno sebagai ”guru”
yang berpengaruh terhadap proses penciptaannya. Atau, bahkan, beberapa
pengarang yang lebih muda diam-diam mengikuti teknik bercerita yang
dikembangkan Seno. Ini karena dunia fantasi Seno dalam proses penciptaan teks
sastra, masih memiliki keadiluhungan estetika sampai saat ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar