Birokrasi
dan Politik di Pemerintahan Miftah Thoha ; Guru Besar (Ret) Universitas Gadjah Mada |
KOMPAS, 16 Juli 2021
Peranan kekuasaan parpol
dalam sistem kepemerintahan dan kenegaraan semakin hari semakin menarik untuk
dianalisis. Semenjak awal reformasi 1999, kehadiran parpol dalam pemerintahan
semakin bertambah. Kehidupan parpol sejak kemerdekaan 1945 dalam membangun
tata kepemerintahan dan kenegaraan sudah banyak dirasakan. Sebelum ada sistem
demokrasi, pejabat yang memimpin lembaga pemerintahan hanya birokrat yang
membuat kebijakan dan mewujudkannya. Birokrat adalah pejabat yang
profesional, kompeten, dan ahli di bidangnya yang diperoleh melalui lembaga
pendidikan dan pelatihan dan meniti kariernya secara otomatis dengan cara
mobilitas. Sekarang, di zaman sistem
demokrasi, jabatan dalam organisasi pemerintahan dan kenegaraan tidak
dipimpin oleh birokrasi, tetapi dipimpin pejabat politik. Parpol merupakan
perwujudan dari kekuasaan rakyat, sedangkan birokrasi merupakan wujud
kekuasaan pejabat. Parpol menurut tabiatnya
adalah organisasi yang mencari kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, dan
mempertahankan kekuasaan (Bung Karno). Oleh karena itu, begitu suatu partai
atau kumpulan partai memenangi pemilu, mereka akan memimpin lembaga
pemerintahan dan menjadikan birokrasi pemerintah sebagai subordinasi politik.
Dalam pemerintahan yang dipimpin pejabat politik, tugas utamanya membuat
keputusan atau kebijakan politik. Dengan demikian, mulailah
terbentuk sistem kerja antara kekuasaan membuat keputusan atau kebijakan di
tangan pejabat politik, dengan pelaksana keputusan atau kebijakan yang
dilakukan oleh pejabat birokrasi. Akhir-akhir ini kita mengenal sistem
oligarki politik. Sistem ini salah satu
model pemerintahan demokrasi yang penekanan kekuasaannya berada di tangan
kelompok parpol yang berkuasa. Kekuasaan di eksekutif ini bahkan didukung
oleh mayoritas suara di legislatif. Pemerintahan oligarki politik semacam ini
cenderung dan sama artinya dengan pemerintahan otoriter, lawan sistem
pemerintahan demokrasi. Sistem oligarki politik
ini merisaukan tatanan kehidupan pemerintahan yang demokratis. Banyak parpol
yang cenderung menggunakan kekuasaan politiknya melebihi kekuasaan rakyat yang
diwakilinya. Hubungan
kerja politik dan birokrasi Pada awal pemerintahan
demokrasi tahun 1998, ketika presiden dijabat BJ Habibie, banyak
undang-undang direvisi dan dibentuk. Sebut saja UU pemerintahan, UU
kepegawaian, UU kepartaian, UU pemilu, UU susunan dan kedudukan DPR, DPRD,
MPR, dan diciptakan UU baru tentang kebebasan pers atau UU tentang demokrasi. Sayang, saat itu terlambat
tak diciptakan hubungan kerja yang bisa mewujudkan pemerintahan demokrasi
yang good government. Akibatnya, sampai sekarang dirasakan hubungan keduanya
dalam suatu pemerintahan yang demokratis tidak mencerminkan hubungan yang
co-equality, tetapi hubungan kekuasaan antara pejabat yang memimpin dan
pejabat yang dipimpin. Kekuasaan memang nyawa
dalam suatu organisasi, tetapi jangan diobral penggunaannya. Tak jarang
dijumpai jika pejabat politik atau menterinya melakukan korupsi, pejabat
birokrasinya ikut terlibat. Ini juga terjadi di pemerintahan daerah. Pendekatan kekuasaan di
atas erat kaitannya dengan hubungan antara jabatan politik dan jabatan karier
birokrasi yang belum pernah ditata dengan baik. Posisi subordinasi pejabat
birokrasi pemerintah di bawah kendali jabatan politik menjadikan sangat sulit
bagi pejabat birokrasi lepas dari pengaruh politik pemegang jabatan politik
yang jadi atasannya. Model
hubungan kerja birokrasi dan politik Di Amerika Serikat (AS),
dalam perkembangan ilmu politik dan ilmu pemerintahan (public
administration), lebih didahulukan untuk mengenalkan ilmu politik daripada
ilmu public administration. Ilmu politik dikembangkan dengan mengemukakan
kajian yang tekanannya untuk merumuskan kebijakan (Warren Bennis, 1966),
sedangkan ilmu public administration dikembangkan untuk melaksanakan
kebijaksanaan (Martin Albrow, 1970). Kedua ilmu itu dikembangkan
dengan baik sekali sehingga bisa diterapkan dalam aktivitas lembaga
pemerintahan dalam sistem demokrasi. Dalam menata hubungan kerja antara
pejabat birokrasi dan pejabat politik, banyak model yang dikemukakan.
Sebagian model sudah pernah diterapkan di negara kita untuk masa pemerintahan
yang cukup lama. Model hubungan kerja
antara pembuat keputusan dan pejabat yang merealisasikan keputusan tidak
co-equality. Yang terjadi, dalam setiap sistem organisasi kepemerintahan,
gambaran yang ada adalah antara pejabat yang berkuasa dan pejabat yang
dikuasai, atau secara lebih eksplisit antara pejabat politik dan pejabat
birokrasi dikuasai oleh kekuasaan pejabat politik. Dalam model Marxis yang
dikenalkan oleh Karl Marx, atau model executive ascendancy (AS), pejabat
birokrasi dikuasai pejabat politik. Model ini pernah dilaksanakan selama
lebih dari 32 tahun oleh Presiden Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru. Dalam pemerintahan Orde
Baru saat itu, hanya ada tiga kekuatan politik: dua berupa partai politik, dan
satunya golongan bukan partai politik, tetapi bertindak sebagai partai
politik. Satu kekuatan politik yang tidak berupa partai politik menguasai
pemerintahan dan kenegaraan. Birokrasi pemerintah dikuasai oleh kekuatan
politik yang bukan partai politik. Ini termasuk model yang
aneh, belum ada di negara mana pun yang menggunakannya, tetapi bisa berjalan
lama sekali selama 32 tahun pada pemerintahan Orde Baru. Model yang belum pernah
dicoba atau model yang masih menjadi angan-angan adalah model di mana kekuatan
birokrasi mempunyai kedudukan yang sama dengan kekuatan politik (co-equality
with the executive). Kekuatan birokrasi itu adalah kekuatan keahlian,
kekuatan kompetensi, dan kekuatan profesionalisme. Birokrasi itu diambil dari
calon-calon yang terdidik dari bawah sampai pendidikan tertinggi melalui
pelatihan. Oleh karena itu, jika kekuasaan politik itu memberikan reward pada
pengalaman pejabat birokrasi, akan terbentuk tim kerja (teamwork) yang saling
mengisi kekurangan di satu pihak dengan kelebihan pihak lain. Dahulu, pada zaman
pemerintahan Orde Baru, ada dua nomenklatur yang menyebut suatu organisasi
pemerintah yang dipimpin oleh menteri. Satu nomenklatur disebut kementerian,
untuk menamakan organisasi politik yang dipimpin menteri dari partai politik,
dan satu lagi disebut departemen, untuk kementerian. Istilah departemen
menunjukkan bahwa di kementerian itu ada pejabat birokrasi yang berperan
selain menteri. Suatu contoh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa juga
disebut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dipimpin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Model ini di AS dinamakan bureaucratic sublation model, yang
mendudukkan kekuatan birokrasi co-equality with the executive. Jika model ini
diberlakukan, penataan karier aparatur sipil negara (ASN) bisa dilakukan oleh
pejabat birokrasi karier. Pejabat pembina karier birokrasi harus dipegang pejabat
karier birokrasi, dalam hal ini sekretaris jenderal di kementerian dan
sekretaris daerah di tiap-tiap pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan
kota. Bukan seperti sekarang
ini, dalam Undang-Undang ASN ditentukan bahwa pejabat pembina karier ASN dipegang
oleh pejabat politik, dari presiden didelegasikan kepada menteri, dan kepala
daerah. Semoga model bureaucratic
sublation yang mendudukkan pejabat birokrasi sederajat dengan kedudukan
pejabat politik bisa menjadi pertimbangan model hubungan kerja pejabat
birokrasi dan pejabat politik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar