Aktivisme
dan Politik Emmy Hafild Usman Hamid ; Direktur Amnesty International Indonesia dan
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STHI) Indonesia Jentera |
KOMPAS, 15 Juli 2021
Menarik untuk
mendiskusikan sosok dan jejak perjalanan seorang aktivis seperti Emmy Hafild,
namun belakangan bertransformasi menjadi politisi. Terlebih karena kalangan
umum cenderung memahami sifat biner dari dunia aktivisme dan politik, dengan
mengatakan idealisme aktivis pasti luntur begitu terjun ke dunia politik. Saya ingin memulainya
dengan cerita. Suatu hari saya terjebak macet parah di bilangan Rempoa,
Bintaro. Kemacetan di jalan sempit bertambah sesak akibat terik matahari dan
tak satu pun pengendara yang mau mengalah. Saya ke luar dari mobil
dan mencoba mengurai kemacetan. Tiba-tiba terdengar lantang suara
memanggil-manggil. Sambil mengatur, saya mendekati arah suara yang berasal
dari seseorang yang terlihat dari jendela kendaraannya. Ternyata Emmy Hafild. “Usman, kamu ngapain di
sini?” tanya dia. Saya bertanya balik, “Loh Mbak mau ke mana, dan mengapa
tidak mau mengalah?” Dia jawab cepat, “Mereka
salah, kenapa kita yang mengalah”. Kami berdua tertawa. Keras dan tidak mau
mengalah. Itulah kesan sebagian aktivis pada sosok ini. Politik
aktivisme Selama hidupnya, dia
memang dikenal keras karena sikapnya yang blak-blakan, berprinsip, dan tanpa
kompromi. Barangkali karena ia terlahir dan tumbuh besar di Pertumbukan,
Sumatera Utara, wilayah yang logat bicaranya dianggap keras dan tegas. Perempuan kelahiran 3
April 1958 ini belajar mendalami agronomi pada Institut Pertanian Bogor (IPB)
dan meraih master di Universitas Wisconsin. Ia berkiprah sebagai aktivis
lingkungan, mulai dari Yayasan Indonesia Hijau (1982-1984), Sekretariat
Kerjasama Kelestarian Hutan Indonesia (1984-1988), hingga yang terlama di
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/Walhi (1982-1999). Walhi beroperasi di
wilayah-wilayah terjadinya eksploitasi alam oleh korporasi yang didukung
negara. Bukan cerita baru jika anggota mereka ditangkap, diserang, atau
dibunuh. Menjadi aktivis Walhi yang
kritis pada pemerintahan Orde Baru, ia juga dikenal peduli kawan-kawannya,
dan berani menghadapi komandan militer demi membebaskan aktivis yang ditahan.
Selain negara, dia juga mengkritik Bank Dunia yang mengabaikan hak-hak
masyarakat adat. Negara atau korporasi, baginya, harus dimintai
tanggungjawab. Atas dedikasinya, ia
dinobatkan oleh majalah TIME sebagai salah seorang pahlawan lingkungan
(Heroes of the planet) pada 1999. Pasca Walhi, dia terus
membela lingkungan, hingga dipercaya memimpin organisasi berskala
internasional bernama Green Peace, yang terkenal karena kapal “Rainbow
Warriors” dan aksi-aksi hebatnya membela lingkungan. Saat memimpin Green Peace
Asia Tenggara, ia mengkritik negara dan korporasi di kawasan. Ia gencar
meminta siapa pun di Indonesia termasuk saya agar ikut mendanai organisasi
ini. Hanya sedikit aktivis yang mengembangkan strategi penggalangan dana demi
kemandirian organisasi. Kita harus melepaskan ketergantungan aktivisme pada
hibah donor, katanya. Baginya memajukan
lingkungan bukan hanya membutuhkan solidaritas lintas-bangsa, tapi juga
mensyaratkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Itu sebabnya ia
semakin menyoroti isu ini saat menjabat Sekretaris Jenderal Transparansi
International Indonesia yang pertama. Ia meyakini perlunya
konvergensi antara aktivisme dan politik elektoral. Awalnya terlihat ketika
dia menjadikan Walhi sebagai pemantau Pemilu 1999, pemilihan pertama sejak
berakhirnya Orde Baru. Selanjutnya, dia selalu memperhatikan kualitas
elektoral yang diyakininya sangat menentukan hitam-putihnya tata kelola
lingkungan di Indonesia. Suatu hari, menjelang
pemilihan legislatif April 2004, dia dan aktivis-aktivis senior seperti Teten
dan Munir mengajak aktivis-aktivis muda seperti saya, Bivitri Susanti dan
Luky Djani untuk melawan caleg-caleg yang tergolong “politisi busuk.” Ketika merumuskan kriteria
“busuk”, terjadi selisih paham. Emmy mengkritik keras kawan-kawan yang hanya
menyoroti caleg-caleg terindikasi korup. Ia ngotot, politisi busuk itu harus
termasuk yang berpoligami. Zero tolerance untuk korupsi dan poligami,
katanya. Akhirnya kami berkampanye
“tolak politisi busuk” berbasis kriteria korupsi, perusak lingkungan,
kekerasan, dan poligami. Dampaknya lumayan, sejumlah politisi gagal terpilih.
Efek negatifnya pun ada. Aktivis KontraS Ori Rahman gagal terpilih sebagai
anggota Komnas HAM saat fit and proper test di DPR, lantaran dipersoalkan
oleh politisi partai terbesar yang namanya “terdaftar busuk”. Masih dalam konteks
pemilu, tepatnya menjelang putaran II pemilihan presiden, September 2004,
Munir meninggal. Dua bulan berikut, tepatnya 13-14 November, kami--termasuk
Emmy—mendengar informasi dari Belanda tentang racun arsen di tubuh Munir dan
memutuskan untuk mendatangi Kabareskrim Polri keesokan harinya. Emmy berkali-kali memarahi
Kabareskrim ketika terkesan melempar tanggungjawab kepada Kementerian Luar
Negeri yang belum memberitahu keluarga Munir. Meskipun alot, Kabareskrim
setuju melibatkan kami dalam tim investigasi. Usai pertemuan yang
melelahkan, kami “dikepung” wartawan yang telah menunggu lama. Tiba-tiba Emmy
berteriak “mengusir” wartawan agar menjauhi istri Munir yang terlihat sangat
sedih. Itulah Emmy. Keras, tetapi niatnya baik. Aktivisme
politik Lama tak terdengar,
tiba-tiba Emmy aktif berpolitik, tepatnya menjadi Ketua DPP Partai Nasional
Demokrat (NasDem). Momen masuknya aktivis ke
partai politik mulai marak pada tahun 2004. Untuk pertama kalinya,
diselenggarakan pemungutan suara langsung untuk presiden dan wakil presiden.
Mulai terlihat banyak aktivis yang terlibat dukung-mendukung kandidat
presiden. Di saat bersamaan,
aktivis-aktivis tengah mereposisi gerakan sosial berbasis kajian Universitas
Oslo Bersama Demos pimpinan Asmara Nababan yang menyimpulkan bahwa
aktivis-aktivis prodemokrasi ternyata mengambang secara sosial dan
terpinggirkan secara politik. Akibatnya, terjadi pembajakan
demokrasi/reformasi. Kajian ini
merekomendasikan agar aktivis-aktivis go politics. Sejumlah aktivis lalu
bertransformasi menjadi politisi. Misalnya, Nursyahbani Katjasungkana
bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menjadi anggota DPR-RI.
Keberadaan aktivis di parlemen saat itu dinilai berhasil mempengaruhi
pembuatan undang-undang, antara lain UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (Mietzner 2012). Di tahun-tahun
selanjutnya, Teten Masduki bersama aktivis yang menjadi politisi Rieke Dyah
Pitaloka maju di Pilgub Jawa Barat--didukung Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P). Meski gagal, Teten terus berpolitik, mendukung Joko
Widodo dan kini menjabat Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UMKM). Baru belakangan, Emmy
memutuskan terjun politik. Barangkali darahnya mengalirkan spirit politik
orangtuanya yang merupakan pendukung Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Mungkin juga karena aktivis-aktivis lingkungan sejak era Erna Witoelar hingga
Nur Hidayati (pimpinan Walhi saat ini), memang meminati politik, bahkan
mendirikan Partai Hijau Indonesia (PHI). Tapi ketentuan ambang batas
elektoral mempersulit pendirian partai baru. Itu sebabnya mungkin Emmy
memilih partai mapan. Sebagai politisi,
langkah-langkah Emmy terbilang kontroversial dan bukan tanpa kritik. Pertama,
saat dia membela Gubernur Basuki Tjahaja Purnama terkait penggusuran warga
miskin kota di Jakarta. Kedua, saat membela korporasi yang membangun PLTA di
Batang Toru, Sumatera Utara, terkait kerusakan lingkungan dan perlindungan
orang utan, termasuk kematian advokat Walhi Sumatera Utara, Golfrid Siregar,
yang diduga meninggal secara mencurigakan. Meski dikritik, Emmy
sendiri tetap pada sikapnya. Dari kisah ini, kita belajar betapa tidak mudah
aktivis berkonvergensi ke dunia korporasi dan politik. Tak mudah karena
kuatnya tarikan kekuasaan, intelektualitas, dan ilmu pengetahuan. Kini, suara lantang
aktivis cum politisi ini tidak lagi terdengar. Akhirnya, sebagaimana juga
kita sebagai manusia, Emmy bukanlah dinding langit yang tak retak. Selamat
jalan, Mbak. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar