Aksi
Donasi Rp2 T dan (Adakah) Rasa Malu para Penyinyir Gantyo Koespradono ; Mantan Wartawan, Pemerhati Sosial Politik |
MEDIA INDONESIA,
27 Juli
2021
PADA saat pemerintah dan
masyarakat, khususnya penyintas covid berperang melawan covid-19, ada
sekelompok orang yang terus mendompleng bencana kemanusiaan itu untuk
menjatuhkan pemerintahan dan mengecilkan Presiden Jokowi yang disebut gagal
mengatasi pandemi. Ada pula bocah telat
dewasa yang menyimpulkan Indonesia sebagai failed nation. Padahal dulu
bapaknya justru yang lebih sering melakukan aksi failed dan error tingkat
dewa yang membuat dan menyuburkan kaum radikalis semakin tidak beradab dan
anti-Pancasila. Mereka itulah yang selama
ini bersorak-sorak gembira ketika jumlah kasus positif covid bertambah.
Mengucapkan belasungkawa dan prihatin pun tidak saat jumlah warga masyarakat
yang meninggal dunia karena covid bertambah. Padahal dulu orang-orang itu
saat berkuasa sering mengucapkan prihatin meskipun untuk menangisi nasibnya
sendiri. Mengamati kelakuan mereka, membuat tidak saja pemerintah terganggu
dalam menangani covid, tetapi juga membuat masyarakat sebal bukan kepalang.
Karena mereka sama sekali tidak punya empati dan peduli. Saya tak tahu apakah
mereka tidak punya malu ketika di penjuru negeri banyak warga masyarakat yang
berjibaku menyingsingkan lengan baju membantu pemerintah mengatasi pandemi
covid, mereka justru tertawa dan nyinyir tiada akhir. Padahal di saat
bersamaan warga masyarakat terkapar tak berdaya di halaman rumah sakit karena
harus antre masuk ke UGD. Sampai-sampai tokoh sekaliber Christianto Wibisono
meninggal di Rumah Sakit Sitanala Tangerang, sebuah rumah sakit yang selama
ini dikenal sebagai rumah sakit khusus penderita kusta. Ia menjadi rumah
sakit pilihan terakhir warga Tangerang jika sakit. Benar, rumah sakit itu
sekarang memang sudah berganti wajah menjadi rumah sakit umum dan modern,
namun kesan rumah sakit yang dulu distigmakan sebagai rumah sakit yang
pasiennya harus diajuhi tetap melekat begitu kuat. Ya, di rumah sakit inilah
Christianto Wibisono menghembuskan napas terakhir setelah tubuhnya
dicabik-cabik covid. Tidak cuma Christianto, guru besar fikih, ulama perempuan
Dr Huzaemah Tahido Yanggo juga meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Serang, Banten karena covid. Padahal perempuan berusia 77 tahun ini tinggal
di Jakarta. Bak oase di padang gurun,
kita terkejut, ternyata ada sosok mulia– paling tidak ahli warisnya– yang
membantu pemerintah untuk mengatasi penyebaran covid dengan memberikan donasi
yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung, Rp2 triliun! Sebagaimana diberitakan
di banyak media arus utama dan media sosial beberapa hari lalu, Pemprov
Sumatera Selatan (Sumsel) mendapat bantuan dana hibah sebesar Rp2 triliun
untuk penanggulangan covid-19 dari pihak yang mengatasnamakan keluarga
almarhum Akidi Tio. Banyak orang sampai saat
ini bertanya-tanya siapa Akidi Tio? Laki-laki ini disebut-sebut berasal dari
Aceh dan semasa hidupnya dikenal sebagai pengusaha yang bergerak di dunia
kontraktor, kontainer, dan besi. Tapi, yang membuat kita tercengang adalah
besar sumbangannya itu lho, Rp2 triliun! Orang awam seperti saya tidak pernah
membayangkan, apalagi para penyinyir yang belakangan populer dengan sebutan
covidiot itu yang cuma bisa memberikan 'sumbangan' di era covid ini berupa
nyinyiran, kritikan, kebencian dan makian. Di mana rasa malu mereka?
Dalam suasana nan penuh duka ini, saya jadi ingat Iyyas Subiakto, teman saya
yang beberapa hari lalu di Facebook menulis dan mempertanyakan ke mana
orang-orang kaya kita? Dari awal pandemi, menurut Iyyas, salah satu yayasan
kemanusiaan yang selalu kelihatan di depan adalah Buddha Tzu Chi, mereka
selalu sigap di setiap ada bencana. Sepertinya tidak satu pun
setiap ada bencana alam mereka lewatkan untuk hadir. Ribuan rumah dibangun
saat tsunami Aceh, NTB, dan Palu. Ratusan ribu APD dan masker dibagikan
diawal pandemi tahun lalu. Kita tahu yayasan ini dibantu oleh ratusan pengusaha
Tionghoa yang menyisihkan sebagian dananya. Saat ini, masih menurut
Iyyas Subiakto, di saat virus menggila lagi-lagi mereka hadir nyata, belum
lagi orang kaya yang ada seperti Sinar Mas, Sukanto Tanoto, dan lainnya yang
tidak disiarkan media. Saat kita kekurangan oksigen, tiba-tiba bantuan dari
Tiongkok sudah sampai di Tanjung Priok, begitu juga dari Sukanto Tanoto, dan
Sinar Mas yang menyumbang 1.200 ton oksigen setiap bulan yang ekuivalen
dengan 1 juta botol tabung oksigen. Soal oksigen berikut
tabungnya, saya punya pengalaman menarik. Sebagai anggota satgas covid di
komunitas wilayah gereja, kami bahkan mendapatkan pinjaman tiga tabung
oksigen (gratis) dari komunitas bernama Paguyuban Warga Klaten (PWK) di
Jakarta. Kami tempo hari sempat kelimpungan ketika ada warga gereja kami yang
terpapar covid dan saturasinya di bawah 70. Sekali lagi saya
mempertanyakan di mana rasa malu para penyinyir dan orang-orang kaya yang
mungkin menjadi bohir para mahasiswa covidiot yang tempo hari akan mendemo
Presiden Jokowi? Di mana empati kalian kepada negeri sendiri yang tengah
dirundung duka, sementara kalian dengan begitu mudahnya mengumpulkan donasi
dan menyebarluaskan kotak amal ke mana-mana ketika ada dua negara berkonflik
di Timur Tengah sana? Kalian ini sebenarnya siapa sih? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar