Wabah
Disinformasi Irwan Julianto ; Wartawan Senior, MPH Harvard University,
Dosen Fikom UMN |
KOMPAS, 28 Juni 2021
Adalah David Rothkopf,
jurnalis dan pakar ilmu politik yang menciptakan kata infodemic ketika
menulis kolom opini di The Washington Post 11 Mei 2003 tentang pandemi SARS
atau severe acute respiratory syndrome yang melanda dunia waktu itu. Seperti kita ketahui, SARS
adalah sindrom pernapasan akut dan parah yang disebabkan virus korona yang
masih semarga dengan SARS- CoV-2, virus penyebab Covid-19. Pandemi yang
menjangkiti hampir seluruh negara di dunia ini hingga kini belum terkendali,
termasuk di Indonesia. Menurut Merriam-Webster
Dictionary, kata infodemic bukan kata baru, melainkan paduan kata information
dan epidemic atau an Epidemic of Information. Begini kutipan opini Rothkopf:
“SARS adalah kisah tentang bukan cuma satu epidemi melainkan dua, dan epidemi
kedua adalah wabah yang memiliki implikasi jauh lebih besar dibanding
penyakitnya sendiri. Ini karena ia bukan epidemi virus, namun lebih ke
“epidemi informasi” yang telah mengubah SARS dari suatu krisis kesehatan
regional China yang ditangani dengan ceroboh menjadi suatu bencana ekonomi
dan sosial global. Epidemi informasi –atau "infodemic—telah membuat
krisis kesehatan masyarakat menjadi lebih sulit dikontrol dan dibatasi ruang
geraknya.” Rothkopf lebih lanjut
memperjelas apa yang dimaksudnya dengan infodemic: “Sejumlah kecil fakta,
berbaur dengan ketakutan, spekulasi dan rumor, diamplifikasi dan disebarkan
dengan cepat lewat teknologi informasi modern, telah berdampak terhadap
ekonomi, politik dan bahkan keamanan nasional maupun internasional sedemikian
rupa yang sama sekali tak sebanding dengan realitas awalnya. Ini adalah suatu
fenomena yang kita saksikan dalam frekuensi dahsyat beberapa tahun terakhir
–bukan cuma reaksi kita terhadap SARS, namun juga reaksi kita terhadap
terorisme dan bahkan masalah yang relatif sepele.” Wabah
disinformasi Setidaknya ada dua kamus
lain yang juga membuat rumusan tentang infodemi. Cambridge English Dictionary
menyebut infodemi situasi di mana banyak informasi palsu yang disebar masif
hingga membahayakan. Sedang Kamus Oxford mendefinisikan infodemi sebagai
melimpahnya informasi yang sebenarnya tak dapat diandalkan tentang suatu
masalah, yang menyebar dengan cepat dan membuat penanganannya menjadi lebih
sulit. Ketika Covid-19 yang
berawal di kota Wuhan di China pada akhir 2019, kemudian merajalela ke
seluruh dunia sejak awal 2020, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan
bahaya lain: “disinformasi yang berkelindan di seputar pandemi Covid-19
adalah suatu infodemi yang masif dan memperparah pandemi itu sendiri.” Adalah
UNESCO yang kemudian menciptakan terminologi baru, memodifikasi kata infodemi
menjadi disinfodemi, karena memang ancaman pandemi Covid-19 dibayangi oleh
wabah disinformasi. Julie Poseti dan Kalina Bontcheva tahun lalu menulis
Policy Brief 1 UNESCO berjudul Disinfodemic – Deciphering Covid-19
Disinformation. Menurut Poseti dan
Bontcheva, mengapa akses terhadap informasi berkualitas, penting selama
krisis Covid-19, karena setidaknya ada dua hal. Pertama, konektivitas digital
berkecepatan tinggi adalah saluran vital yang membantu kita mengatasi pandemi
dengan memungkinkan para wartawan dan media yang kredibel menjangkau khalayak
luas tentang Covid-19. Juga menghubungkan para pakar kedokteran satu sama
lain, termasuk dengan perantara seperti para wartawan secara real time. Kedua, pada saat yang sama
konektivitas massa membawa ancaman informasi yang sesat dan palsu yang
diproduksi dan dibagi secara viral. Akibatnya, para wartawan dan tenaga medis
yang mengungkap disinformasi ini justru menjadi target serangan mereka yang
sudah termakan oleh disinformasi. Contoh paling gamblang
adalah soal tokoh seperti Bill Gates yang sudah memperingatkan ancaman
pandemi virus korona seperti SARS dan MERS pada 2015 dan perlunya masyarakat
dunia menyiapkan diri dengan penelitian, termasuk penciptaan vaksin terhadap
infeksi virus korona, tetapi malah dituding dengan aneka teori konspirasi.
Kegiatan vaksinasi Covid-19 untuk menciptakan herd immunity (imunitas
kawanan) sempat menghadapi resistensi di beberapa daerah Indonesia. Ada pula
seorang pesohor awak band yang menuding Ikatan Dokter Indonesia adalah kacung
WHO. Kaitan
dengan “Post-Truth” Baik kata infodemi maupun
disinfodemi sebenarnya berkaitan erat dengan kata post-truth, kata yang
dinobatkan oleh Kamus Oxford sebagai kata paling populer pada 2016 gara-gara
pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) yang dimenangi Donald Trump. Trump menaklukkan Hillary
Clinton dengan cecaran dan semburan disinformasi, kebohongan, hoaks, hasutan,
fitnah, ujaran kebencian, hingga pembunuhan karakter. Taktik agitasi ini
lazim dikenal sebagai firehose of falsehood yang sebenarnya diciptakan di
Rusia ketika menganeksasi Semenanjung Crimea. Mantra firehose of falsehood
sebenarnya mirip demagogi Adolf Hitler, yaitu bahwa kebohongan yang
dicecarkan berulang kali akhirnya akan diterima sebagai kebenaran. Trump juga memanfaatkan
strategi propaganda politik komputasional dengan microtargeting terhadap para
pemilih AS menggunakan data demografi/psikografi mereka dari hasil penyedotan
data puluhan juta akun Facebook oleh Cambridge Analytica. Ini menjadi skandal
politik yang mencoreng reputasi Mark Zuckerberg, pemilik Facebook. Cambridge
Analytica pun akhirnya tutup, walau sempat masuk ke Indonesia sebelum
Pemilihan Presiden 2019. Membaca data ratusan ribu
akun Twitter netizen Indonesia, Cambridge Analytica membagi profil psikografi
pemilih Indonesia menjadi tiga kluster. Selain kluster calon pemilih yang
cenderung golput (25 persen), ada kluster calon pemilih lain sebanyak 33
persen yang bersifat altruistik atau gampang iba. Terhadap kluster altruistik
ini rupanya sudah ada rencana pesan yang diciptakan, yaitu seorang perempuan
pada awal Oktober 2018 mengaku ia dipukuli sampai babak belur di Bandung. Terbukti kemudian ia
menjalani operasi plastik di Jakarta. Bisa dibayangkan, jika kebohongan ini
tak terungkap, maka sebagian besar dari 33 persen calon pemilih akan beralih
pilihan atau jadi golput. Semakin besar golput, akan menguntungkan salah satu
calon dan merugikan calon lain. Ini juga terjadi di pilpres AS 2016 yang
dimenangi Trump dan referendum Brexit di Inggris. Post-truth sendiri adalah
suatu keadaan di mana individu atau sekelompok orang lebih memercayai apa
yang sesuai dengan emosi mereka ketimbang logika dan fakta. Tak berlebihan
jika hoaks yang tak lain adalah disinformasi, dijuluki Haryatmoko SJ sebagai
“anak kandung” post-truth. Agar post-truth bermanifestasi, dibutuhkan
prakondisi yaitu “ruang gaung” (echo chamber). Orang dan masyarakat yang
dicecar dengan semburan propaganda dan demagogi ala Hitler dan Trump dengan
frekuensi tinggi dan diulang-ulang, di bawah sadar mereka akan terbentuk
pembenaran terhadap informasi sesat atau disinformasi tadi. “Share-bait”
dan “Dark Social” Menghadapi gempuran dan
wabah disinformasi atau disinfodemi, seperti dirumuskan oleh Poseti dan
Bontcheva untuk UNESCO di atas, kita membutuhkan media pers dan wartawan yang
kredibel. Apalagi saat ini media arus utama/konvensional seperti media cetak
dan media elektronik makin terdisrupsi oleh media baru berbasis internet atau
digital. Memang sekarang media konvensional nyaris semuanya memiliki portal
berita/opini online. Namun alih-alih menjadi
portal berita/opini yang kredibel seperti induknya, sebagian lalu tergoda
membuat berita sensasional, mengejar kesegeraan dan click-bait. Dari sekitar
40.000-an portal berita/opini online yang ada di Indonesia, hanya sekitar
200-an saja yang terverifikasi di Dewan Pers. Jika media konvensional
ditambah media daring di Indonesia jumlahnya puluhan ribu, maka jumlah akun
media sosial (Facebook, Twitter, Youtube dan Instagram), di negeri ini mencapai
sekitar seratusan juta. Melubernya informasi dan disinformasi di media sosial
jauh lebih dahsyat lagi. Namun yang paling spektakuler jumlahnya adalah akun
jejaring sosial seperti WhatsApp, Line dan lain-lain, yang mencapai lebih
dari 300 jutaan, melebihi jumlah penduduk Indonesia. Di jejaring sosial yang
dinamai dark social oleh Alexis Madrigal inilah terjadi aktivitas berbagi
informasi dan disinformasi yang luar biasa. Click-bait media online
ditaklukkan oleh share-bait. Semuanya mengakibatkan maraknya epidemi
disinformasi atau disinfodemi. Menyambut hari lahir ke-56
Harian Kompas tanggal 28 Juni ini, makin penting mencamkan pendapat dan saran
Ashadi Siregar, agar media arus utama seperti Kompas tetap mempertahankan
diri menjadi media pers yang kredibel. Menjadi rumah pencerah (clearing
house), tidak tergoda mengejar sensasi dan jurnalisme berselera rendah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar