Subsidi
Pupuk dan Impor Beras Suwidi Tono ; Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”, Ketua
Perkumpulan Bangun Nusa Berkelanjutan |
KOMPAS, 14 Juni 2021
Presiden Joko Widodo
beberapa waktu lalu kembali menegaskan, pemerintah tak akan impor beras;
setidaknya sampai akhir Juni 2021 jika produksi dalam negeri mencukupi. Sebelumnya (Kompas,
12/1/2021) Presiden mempertanyakan efektivitas subsidi pupuk untuk
meningkatkan produksi padi yang menyedot belanja pemerintah puluhan triliun
rupiah setiap tahun dan telah berlangsung sejak 2003. Dua hal yang mendapat
perhatian Presiden itu memiliki keterkaitan erat satu sama lain. Isu serius
ini belum pernah ditinjau menyeluruh agar kemudian melahirkan solusi berupa
kebijakan substansial, terintegrasi dan akuntabel untuk mengamankan ketahanan
pangan nasional. Data impor beras yang
dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) selama sepuluh tahun terakhir tercatat
fluktuatif dengan impor terendah pada 2015 sebesar 305.000 ton dan tertinggi
2016 sebesar 1,283 juta ton. Tahun 2020, total impor beras mencapai 356.000
ton. Data impor ini di luar penugasan untuk pengadaan stok Badan Urusan
Logistik (Bulog). Dari data total produksi
nasional 31 juta ton sampai 33 juta ton beras per tahun dan tingkat konsumsi
hampir setara, tetapi dengan laju pertumbuhan terus meningkat sejalan dengan
pertambahan penduduk, menjadikan impor sebagai keniscayaan. Kebutuhan impor
terutama untuk penguatan stok ataupun antisipasi risiko gagal panen dan
keperluan mengendalikan harga yang berhubungan dengan inflasi. Tidak
tepat Subsidi input pertanian
(pupuk dan benih) yang dipertanyakan efektivitasnya oleh Presiden sudah
saatnya dikoreksi berdasarkan data-data faktual yang lebih relevan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Pertama, sejumlah regulasi
sebagai payung hukum alokasi subsidi tidak sinkron atau kompatibel satu-sama
lain. Undang-Undang (UU) Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 19/2003 tentang BUMN, UU No
1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah, UU No 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan, UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian, UU No 19/2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No 22/2020 tentang Sistem
Budidaya Pertanian Berkelanjutan, dan Peraturan Presiden No 15/2011 tentang
Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai Barang dalam Pengawasan belum cukup
sinergis mendukung kedaulatan, ketahanan, dan keamanan pangan sesuai amanat
UU No 18/2012 tentang Pangan. Kedua, efektivitas alokasi
subsidi pupuk tidak signifikan meningkatkan produksi padi. Sepanjang 2015-2020,
alokasi subsidi pupuk rata-rata mencapai Rp 29 triliun, tetapi rerata
produktivitas areal lahan petani penerima subsidi ajek bertahan pada kisaran
5,2 ton per hektar (Kementan, 2020). Dapat disimpulkan bahwa
kucuran subsidi lebih merupakan upaya untuk mempertahankan ambang
produktivitas (leveling-off) rata-rata nasional ketimbang mendorong kenaikan
produktivitas. Ketiga, inventarisasi
masalah laten subsidi pupuk belum tertangani dengan baik. Terdapat enam
indikasi distribusi tidak tepat, yaitu tidak tepat jenis, jumlah, harga,
tempat, waktu, dan kualitas. Peristiwa pupuk langka dan harga melejit yang
terus berulang saat berlangsung musim tanam merupakan salah satu petunjuk
asimetri program subsidi ini. Keempat, alih fungsi lahan
di Jawa, terutama lahan sawah beririgasi teknis baik, mencapai 100.000 hektar
per tahun, sedangkan laju cetak sawah baru di luar Jawa selalu kurang dari
10.000 hektar per tahun. Laju konversi lahan sawah
dengan kecepatan tinggi yang tidak dikompensasi dengan pembukaan lahan baru
akan terus memberi tekanan terhadap stok dan pengadaan beras nasional.
Pembukaan lumbung pangan baru (food estate) jelas tidak dimaksudkan sebagai
substitusi instan karena membutuhkan proses bertahap dan jangka waktu cukup
lama untuk memperoleh manfaatnya. Kelima, belajar dari
negara-negara yang sukses memajukan pertanian dan menciptakan ketahanan
pangan, petani selalu menjadi subyek dari seluruh ikhtisar kebijakan
pemerintah. Sebagai subyek, petani lewat asosiasi dan wakil-wakilnya
mendorong pembuatan regulasi yang menjamin keberlanjutan, kemajuan produksi,
dan kesejahteraannya. Subsidi
”output” Salah satu usulan yang direkomendasikan
dan lebih tepat guna untuk mengatasi asimetri subsidi pupuk dan produksi padi
adalah mengalihkan alokasinya untuk subsidi output dalam bentuk intervensi
harga padi atau beras. Implikasi peralihan subsidi ini akan memberi dampak
signifikan, lebih transparan, dan akuntabel. Pertimbangannya sebagai
berikut. Pertama, rumah tangga pertanian (RTP) gurem dengan skala pemilikan
lahan kurang dari 0,5 hektar tahun 2019 jumlahnya mencapai 16,7 juta petani
atau hampir 60 persen dari total RTP. Subsidi input, khususnya
pupuk, hanya dinikmati petani pemilik lahan luas (lebih dari 2 hektar) yang
jumlahnya kurang dari 10 persen RTP dan 40 persen petani penggarap yang
sewaktu-waktu dapat beralih tidak menanam padi jika margin keuntungan tidak
layak. Pengalihan ke subsidi output akan mengurangi mis-alokasi alias
ketidakadilan ini. Kedua, pendekatan output
price support akan menciptakan positive sum game (semua diuntungkan), bukan
zero sum game (ada yang dikorbankan). Ekosistem produksi memberi
ruang ekspresi setara dan saling mendukung. Petani berlomba meningkatkan
produksi dan kualitas karena mendapat jaminan keuntungan memadai. Produsen
benih, pupuk, dan sarana produksi lainnya akan memasok input berkualitas. Singkatnya, tercipta
simbiosis mutualisme sehingga menjamin kelangsungan ekosistem produksi yang
sehat. Ketiga, penerapan alokasi
subsidi baru dengan pendekatan model: Hpt = A+b (HL–A), di mana Hpt = harga
padi di tingkat petani, A = break event point plus 10 persen margin, dan HL =
harga lelang. Syaratnya, biaya per unit
juga dinyatakan dalam output, bukan semata-mata biaya input per satuan luas
lahan. Dengan pendekatan ini, kepastian petani menerima keuntungan layak
dijamin pemerintah. Subsidi jadi terkontrol karena tidak terjadi mismatch
antara kuantitas gabah/beras dengan besaran penyaluran subsidi. Bahkan, alokasinya dapat
menggunakan mekanisme dana talangan agar secara bertahap tidak membebani
APBN. Keempat, perubahan alokasi
subsidi ke harga output diyakini dapat mempersempit ruang gerak pemburu rente
karena kepastian model penetapan harga telah terbentuk sejak di tingkat
petani produsen dan berlaku nasional. Kondisi ini akan membantu
mewujudkan berkembangnya korporasi petani baik yang berbasis koperasi ataupun
gabungan kelompok tani. Desain korporasi petani yang melibatkan jejaring
institusi pembiayaan, penjaminan risiko, resi gudang, offtaker, koperasi, dan
kelompok tani sangat dianjurkan untuk mengatasi problem teknis budi daya dan
tata kelola usaha yang menjadi tantangan besar selama ini. Geospasial Perlu ditekankan,
keputusan perubahan alokasi subsidi ke target output perlu kajian dan
persiapan matang. Kendala berupa melekatnya watak egosektoral harus dikikis
lebih dahulu. Syarat utamanya harus berbasis data tunggal dan sahih. Proyeksi produksi berbasis
kerangka sampel area (BPS), prognosa (Kementan), dan stok pasar (Kemendag dan
Bulog) dikalibrasi dan disinergikan sehingga tidak menimbulkan interpretasi
beragam. Untuk petani dan lahan
harus berbasis data geospasial agar perumusan kebijakan dan implementasinya
mendekati akurat. Teknis implementasi dalam bentuk kartu tani atau
sertifikasi komunitas tani akan sangat mendukung tingkat akurasi dan
kemanfaatannya. Terakhir, tetapi tak kalah
penting, akan lebih elok jika istilah subsidi diubah menjadi belanja publik
(public spending) karena konotasi subsidi seperti belas kasihan atau beban
anggaran, padahal sewajarnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk
melindungi petani dan konsumen, sekaligus untuk keperluan mengendalikan
inflasi. Dalam jangka panjang, jika
desain subsidi output dijalankan secara tepat menggunakan mekanisme dana
talangan, ekosistem produksi dan pasar yang terbentuk justru secara bertahap
mengurangi beban anggaran dan malahan dapat mendorong terciptanya struktur
baru yang sehat, lebih menggairahkan petani, dan menjamin ketahanan pangan
nasional. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar