Ruang
Seleksi Kepemimpinan 2024 Yunarto Wijaya ; Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia |
KOMPAS, 23 Juni 2021
Dalam beberapa pekan
terakhir terjadi eskalasi penyebutan nama para kandidat Pemilu Presiden
(Pilpres) 2024. Pemantiknya adalah rilis survei dan juga opini para pengamat
maupun politisi. Eskalasi dari survei berasal dari ramainya rilis hasil
survei baik dari lembaga survei yang namanya sudah dikenal maupun yang baru belakangan
muncul. Atensi publik dan media tak jauh dari soal tingkat keterkenalan dan
elektabilitas kandidat secara perorangan. Di sisi lain, pengamat dan
politisi juga mulai melempar wacana mengenai format pasangan. Yang menarik,
ada dua kategori kandidat yang ternyata masih sering disebut bahkan kadang
ditonjolkan: ketua umum parpol dan politisi kawakan, yaitu politisi yang pada
2024 nanti sudah berusia minimal 70 tahun. Membatasi
Seleksi Di satu sisi, pemunculan
nama-nama ketua umum (ketum) parpol itu merupakan hal lumrah. Normatifnya,
setiap parpol niscaya memajukan kader terbaiknya. Dan, asumsi yang digunakan:
posisi ketum adalah penghargaan yang diberikan kepada kader terbaik partai. Kecenderungan seperti ini
lebih terasa lagi terjadi di parpol yang bertipe partai figur. Pemunculan
nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Prabowo Subianto, contohnya. Partai
Demokrat dan Partai Gerindra merupakan contoh partai figur yang personal,
personalistik dan juga personalis. Partai personal adalah
partai yang bertumpu pada karisma pendirinya yang sekaligus memfasiltasi
penyediaan sumber daya secara patronistik (Calisse, 2015). Mirip dengan itu,
partai personalistik adalah partai yang sengaja didirikan untuk memenuhi
ambisi politik pendirinya (Gunther dan Diamond, 2003). Partai personalis
adalah yang ditandai pemusatan pada pemimpin partai, sekaligus dengan
kapasitas organisasi kepartaian yang minimum atau dilemahkan (Kostadinova dan
Levitt, 2014). Pemunculan nama Muhaimin
Iskandar atau Puan Maharani dan juga Megawati konsekuensi logis ketika partai
massa bertransformasi jadi partai personalis. Mengikuti Kostadinova dan
Levitt, dalam konteks kepemimpinan, PKB adalah partai personalis yang tak
bertumpu pada karisma pemimpin, tetapi lebih keterampilan politik Muhaimin
dalam menancapkan pengaruhnya di PKB. Sebaliknya, PDI Perjuangan
(PDI-P) menjadi partai personalis karena kombinasi karisma dan keterampilan
politik Megawati mendominasi struktur partai. Tapi, pemunculan nama ketum tak
melulu berasal dari partai figur. Nama Airlangga Hartarto, umpamanya, harus
dibaca sebagai strategi politik secara kelembagaan. Mengikuti tipologi
Kostadinova dan Levitt, Golkar merupakan partai yang terinstitusionalisasi.
Kekuatan utamanya pada kapasitas organisasi, bukan daya tarik ketua partai. Terlepas dari tipe partai,
pemunculan beberapa nama ketum parpol memiliki motif yang cenderung
berkelidan. Kebutuhan meningkatkan awareness (Muhaimin, Airlangga, Puan)
ataupun melentingkan elektabilitas (Prabowo, AHY) bertemu dengan kebutuhan membangun
daya tawar politik maupun mengonsolidasikan partai. Pada saat yang sama,
pemunculan politisi kawakan sesuatu yang di luar ekspektasi banyak kalangan. Sebelumnya, ada semacam
asa Pilpres 2019 akan jadi ajang terakhir bagi politisi generasi baby boomer
(kelahiran 1946 hingga 1964). Harapan ini berpotensi kandas. Setidaknya,
karena dua hal. Pertama, politisi dari silent generation (lahir sebelum 1946)
rupanya masih bisa berkontestasi dan punya kans untuk menang. Keterpilihan
Biden (lahir 1942) ataupun Ma’ruf Amin (lahir 1943) seakan jadi justifikasi
usia lanjut tak selalu jadi penghambat dari sisi elektoral. Kedua, dalam konteks
Indonesia, penyebutan nama para politisi kawakan menjadi lebih menggema
ketika dikaitkan dengan wacana presiden boleh tiga periode. Jika wacana ini
bisa lolos di MPR-DPR, tak hanya Joko Widodo (Jokowi) yang berpeluang. Susilo
Bambang Yudhoyono/SBY (lahir 1949) disebut-sebut akan jadi lawan paling
sepadan dengan Jokowi. Tak hanya itu, Jusuf Kalla
(lahir 1942) juga dinilai punya peluang besar menjadi wapres untuk ketiga
kalinya. Diapungkannya kembali
pasangan Megawati-Prabowo yang pernah berpasangan di Pilpres 2009 menunjukkan
politisi kawakan masih diperhitungkan punya kans memenangi kontestasi.
Terlebih, faktualnya, politisi kawakan punya posisi sangat strategis dalam
menentukan kandidat yang kelak akan diusung partai mereka. Megawati dan
Prabowo adalah ketum parpol, SBY ketua dewan pembina di Partai Demokrat.
Bahkan, meski tak punya posisi strategis, Kalla diyakini masih punya pengaruh
dalam skala tertentu di Golkar. Tapi, di sisi lain,
pewacanaan ketum dan politisi kawakan secara dini dan masif juga dapat
dimaknai sebagai upaya membatasi proses seleksi calon pemimpin di 2024. Dalam
hal ini, proses seleksi hendak dibatasi pada satu calon saja, setidaknya di
tingkat internal tiap partai. Ini bagian dari politik simbol untuk
mengingatkan kader partai itu untuk tak melakukan manuver. Juga jadi pesan
politik pada kandidat di luar partai bahwa kesempatan mereka diusung hanya maksimal
sebagai pendamping. Selain pewacanaan, upaya
membatasi proses seleksi juga dilakukan dengan cara mendorong agar Pilpres
2024 nanti hanya diikuti dua pasang kandidat sebagaimana Pilpres 2014 dan
2019. Salah satu caranya dengan tetap mempertahankan ambang batas presiden
(presidential threshold) yang ada saat ini. Beriringan dengan itu, ada upaya
mendorong terbentuknya koalisi sejak dini dengan alasan klasik seperti
mewujudkan koalisi permanen, mengefisienkan pemilu dan mendorong terbentuknya
pemerintahan yang kuat. Memilih
kalah Meski begitu, peluang
bukan sama sekali tertutup bagi kandidat non-ketum parpol. Sejumlah partai
menengah dan kecil belum bersikap atau membuka pintu bagi calon dari internal
atau eksternal partai. Nasdem malah mengambil langkah berani ‘mencuri
panggung’ dengan gagasan konvensi. Meski bukan ide baru, gagasan ini secara
telak antitesis dari upaya membatasi proses seleksi itu. Adalah tantangan
buat Nasdem untuk membuktikan konvensi yang akan dijalankannya tak berakhir
anti-klimaks seperti pernah terjadi pada Demokrat. Yang tak kalah penting,
pilpres masih sekitar dua tahun lebih. Politisi yang sekadar kader biasa atau
yang tak berpartai (kepala daerah, pemuka agama, selebritas hingga unsur
TNI/Polri) masih punya peluang diusung. Politik Indonesia cukup dinamis,
segala kemungkinan masih cukup terbuka. Asumsinya, pada saatnya parpol akan
bersikap rasional. Pada akhirnya, mereka akan melihat tren elektabilitas.
Kandidat yang berpotensi menang akan didukung. Problemnya, asumsi itu bisa
saja terlanggar. Setidaknya, ada tiga faktor yang bisa jadi penyebabnya.
Pertama, parpol percaya kalkulasinya sendiri. Dalam hal ini, parpol tetap
mendukung ketum partainya sendiri yang tren elektabilitasnya rendah atau
stagnan. Mereka berkeyakinan hasil survei masih bisa berbalik seiring proses
kampanye. Kalkulasi ini bukan sekadar ilusi. Setidaknya, Pilpres 2014 dan
2019 menunjukkan peluang mengejar kandidat yang semula diprediksi bisa menang
dengan margin besar nyaris bisa dilakukan. Contoh keberhasilan kuda
hitam memenangi kontestasi politik cukup banyak. Ini umpamanya dilakukan
Donald Trump ketika mengalahkan Hillary Clinton di pilpres AS 2016 lalu.
Dalam konteks pilkada, hal serupa pernah dilakukan pasangan Ahmad
Heryawan-Dede Yusuf pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat 2008, Ganjar
Pranowo-Heru Sudjatmoko pada Pilkada Jawa Tengah 2013, Jokowi-Ahok pada
Pilkada DKI Jakarta 2012 atau juga Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilgub
DKI Jakarta 2017, untuk menyebut beberapa contoh. Kedua, parpol secara sadar
memilih strategi ‘bunuh diri elektoral’. Maksudnya, parpol sengaja tetap
mengusung ketum partai meski sudah berkalkulasi akan kalah. Yang dikejar
adalah efek ekor jas (Coat-Tail Effect) dari pencalonan itu. Dalam hal ini,
pilpres hanyalah agenda tambahan untuk mendukung agenda utama: pemilu
legislatif (pileg). Ini bisa jadi pilihan menarik karena meyakini koalisi
permanen tak akan terwujud sebagaimana terjadi di pilpres 2019 lalu.
Kesempatan meraih posisi menteri di kabinet tetap akan terbuka, terlebih jika
meraih kursi yang signifikan di DPR. Masih terkait itu, ketiga,
ada upaya pengendalian risiko. (Ketum) partai berupaya mencegah kerugian
lebih besar. Dalam hal ini, parpol bersikeras mencalonkan ketumnya sendiri
daripada mengusung kader partainya yang secara elektoral lebih besar
peluangnya untuk menang. Pilihan ini dilakukan karena elite parpol
memprediksi adanya potensi kerusakan reputasi organisasi yang fatal jika
kader itu justru memenangi pilpres. Sebab, kader itu diduga
bisa atau terpaksa membuat kebijakan-kebijakan yang berlawanan dengan garis
politik parpol. Selain itu, ketum sangat mungkin punya prediksi bahwa kader
biasa itu bisa saja kemudian terdorong mengambil alih kepemimpinan partai
setelah terpilih menjadi presiden atau wakil presiden. Harus
berkoalisi Timbul pertanyaan, apakah
sikap parpol untuk tak realistis tadi bisa dieksekusi? Jika ambang batas
presiden tak diturunkan, hanya PDI-P yang bisa. Mereka bisa mencalonkan diri
secara mandiri karena jumlah kursi di DPR lebih dari batasan minimal 20
persen, persisnya 22,26 persen. Artinya, partai-partai figur lain yang
bersikeras ngotot mencalonkan ketumnya sendiri harus berkoalisi. Perkoalisian
akan membuka pintu bagi calon dari kalangan bukan ketum, baik sebagai capres
atau cawapres. Tak hanya itu, kemungkinan
adanya lebih dari dua pasangan kandidat masih cukup terbuka. Ini artinya
lebih besar lagi peluang bagi kandidat non-ketum parpol untuk ‘manggung’.
Seperti ini ilustrasinya. Katakanlah PDI-P dan Gerindra berkoalisi (36
persen), minimal masih ada dua slot pasangan tersedia. Misal saja ada koalisi,
sebut saja Anak Bangsa (Nasdem, PKS dan PPP yang totalnya sekitar 22 persen
kursi di DPR) dan koalisi demokrasi (Demokrat, PKB dan PAN, sekitar 27
persen). Masih ada Golkar yang bisa bergabung dengan salah satu dari tiga
koalisi tersebut atau membelah dua koalisi terakhir. Alternatif lain, tetapi
jauh lebih sulit, adalah Golkar memastikan dukungan dari parpol non parlemen.
Golkar bisa melakukan ini jika memiliki kandidat yang kompetitif, selain
tetap memajukan Airlangga Hartanto sebagai cawapres, misalnya. Dus, ini akan
menjadi ruang bagi kandidat non-ketum untuk tampil dalam pentas Pilpres 2024
nanti. Seturut uraian di atas,
upaya menyempitkan jalur bagi tampilnya kandidat non-elite (baca: ketum
parpol) akan berhadapan dengan realitas politik (persyaratan pencalonan).
Pada saat yang sama, kandidat-kandidat non-ketum justru makin giat bermanuver
untuk melentingkan elektabilitasnya. Ini jelas menimbulkan gangguan
psikologis politik bagi para ketum parpol. Tidak
jaminan Pesan utama tulisan ini
sederhana saja: peluang kompetisi politik harus lebih terbuka. Ketum parpol
dan yang bukan ketum parpol seyogianya memiliki kesempatan yang relatif sama
untuk dicalonkan. Dalam sistem presidensial, parpol normanya akan mencari
kandidat terbaik dan tentunya yang paling mungkin untuk menang. Ini berbeda
dengan sistem parlementer di mana ketua partailah yang diajukan sebagai
kandidat menjadi perdana menteri. Meski demikian, harus
diakui, tak ada jaminan kita akan mendapatkan kandidat terbaik, sungguhpun
peluang pencalonan menjadi lebih terbuka. Seperti diingatkan Pakulski (2013),
di era pemusatan kepada pemimpin, kontestasinya lebih terarah pada citra
ketimbang kebijakan atau ideologi. Ini tak lepas dari peran besar media
massa. Kandidat yang memiliki keterkenalan dan elektabilitas tinggi tidak
menjamin memiliki kompetensi yang tinggi juga. Lebih pada itu, Pakulski
juga mengingatkan kemungkinan terjadinya apa yang ia sebut sebagai kevakuman
kepemimpinan. Ini bukan karena tak ada pemimpin yang tersedia untuk dipilih
melainkan tak adanya calon-calon pemimpin yang berkualitas. Dalam situasi seperti ini,
panggung politik hanya akan diisi oleh para calon pemimpin medioker. Tipe
pemimpin seperti ini, kata Pakulski, cenderung oportunis, demagog dan
menghamba pada kemenangan ketimbang kesetiaan pada (ideologi) partai. Ini
jelas menimbulkan kerapuhan bagi demokrasi. Dan, akhirnya setiap
kekuasaan selalu punya virusnya sendiri. Salah satunya apa yang disebut Musella
(2018) dengan istilah hukum besi kepemimpinan. Intinya, ketika memegang
tampuk kekuasaan, figur yang demokratis dan berkualitas pun tak tertutup
kemungkinan untuk terus tergoda mempertahankan kekuasaannya atau memperluas
kekuasaannya. Yang terakhir ini dapat saja terjadi pada kandidat non-ketum.
Setelah terpilih, mereka dengan satu atau lain alasan, dapat saja tergoda
untuk merebut kepemimpinan partai yang mengusungnya. Ini jelas akan
mengganggu jalannya pemerintahan. Kita tentu berharap akan
mendapatkan pemimpin terbaik pada 2024 nanti. Tapi, juga perlu menyiapkan
diri untuk mendapatkan pemimpin dengan kualitas medioker saja. Karena itu,
pekerjaan rumah kita yang utama adalah penguatan kelembagaan demokrasi. Kita
perlu, umpamanya, memastikan check and balances berjalan, demokratisasi
internal di parpol terlembagakan dan juga terwujudnya tata kelola
pemerintahan yang baik dan bersih. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar