”Responsibility
to Protect” dan Peran Indonesia Sigit Riyanto ; Guru Besar Hukum Internasional FH UGM; Pejabat
Pelindung pada Komisaris Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (2002-2006) |
KOMPAS, 12 Juni 2021
Sidang Pleno ke-75 Majelis
Umum PBB pada 18 Mei 2021 memutuskan menerima Resolusi terkait pembentukan
mata agenda baru di PBB berjudul The Responsibility to Protect and the
prevention of genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against
humanity. Rancangan Resolusi mengenai The Responsibility to Protect (RtoP)
tersebut berisi, antara lain, pembentukan mata agenda baru tahunan Majelis
Umum PBB tentang RtoP dan permintaan Sekjen PBB untuk menyampaikan laporan
tahunan tentang RtoP kepada Sidang Umum PBB. Dalam Sidang Pleno Majelis
Umum PBB tersebut, Indonesia justru dilaporkan masuk dalam daftar negara yang
menolak Resolusi. Argumen yang dibangun dan disampaikan dan menjadi dasar
penolakan Indonesia adalah bahwa resolusi ini bersifat prosedural dan bukan
resolusi mengenai penolakan atau penerimaan negara terhadap konsep-konsep
pencegahan dan penindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan
sejenisnya. Tampaknya argumen ini
terasa janggal dan layak untuk dikaji dan diuji relevansinya bagi peran
Indonesia di hadapan masyarakat internasional. Dalam sistem hukum
internasional aspek prosedural adalah melekat (inherent) dan tak dapat
dipisahkan dari aspek substantifnya. Praktik negara-negara (state pratices)
dalam kaitannya dengan hukum internasional selalu dikaitkan dengan keyakinan
hukum (opinion juris). Fondasi
normatif-filosofis Doktrin RtoP bermula dari
ajaran tentang intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) yang
dikemukakan oleh Grotius (Hugo de Groot) pada abad ke-17 (10 April 1583-28
Agustus 1645) yang mengajarkan bahwa intervensi dilakukan untuk menghentikan
terjadinya pelanggaran hak-hak dasar manusia yang sangat brutal di suatu
wilayah negara. Dalam perkembangannya,
doktrin RtoP ini makin diterima dan didukung masyarakat internasional
sehingga pada tahun 2005 semua negara anggota PBB menerima konsep ini dan
meneguhkan komitmen politiknya untuk mengakhiri kekerasan dan persekusi di
seluruh wilayah dunia. Doktrin RtoP menyeimbangkan kewajiban negara yang didasarkan
pada prinsip kedaulatan menurut hukum internasional, hak asasi manusia, hukum
dan humaniter internasional vis a vis realitas terjadinya genosida, kejahatan
perang, pembersihan etnis dan kejahatan melawan kemanusiaan. Sejak diadopsi masyarakat
internasional, doktrin R2P telah menjadi inspirasi dan fondasi normatif bagi
upaya melindungi semua penduduk dari kejahatan pelanggaran hak asasi manusia,
termasuk genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan melawan
kemanusiaan. Kekuatan normatif-filosofis doktrin ini didasarkan pada
penghormatan terhadap norma dan prinsip hukum universal, terutama asas-asas
hukum yang berkaitan dengan kedaulatan, perdamaian dan keamanan, hak asasi
manusia, dan konflik bersenjata. Ambiguitas Norma hukum internasional
yang diterima masyarakat internasional sejak berdirinya PBB menegaskan
prinsip non-intervensi dalam Piagam PBB; khususnya Pasal 2 Ayat (4) dan Pasal
2 Ayat (7). Interpretasi Mahkamah Internasional juga menguatkan berlakunya
prinsip ini. Sementara Bab VII Piagam merumuskan landasan normatif intervensi
dan penggunaan kekerasan atas kuasa PBB berdasarkan konsep keamanan
internasional kolektif (international collective security) yang dimandatkan
kepada Dewan Keamanan PBB. Konsep keamanan kolektif
diterima oleh masyarakat internasional dengan tujuan menjaga perdamaian dan
keamanan internasional. Dewan Keamanan PBB dibayangkan sebagai kekuatan
penyangga (buffer power) untuk mencegah terjadinya agresi oleh suatu negara
terhadap negara lain yang dapat memicu terjadinya perang internasional bahkan
perang dalam skala yang lebih luas. Faktanya, intervensi suatu
negara ke wilayah negara lain bukan merupakan hal baru. Dari waktu ke waktu,
intervensi dan pengerahan kekuatan militer untuk masuk ke wilayah suatu
negara sudah banyak terjadi. Konsep dan pemaknaan
intervensi ini telah berkembang secara dinamis sejalan dengan konteks politik
dan hukum internasional. Sejarah mencatat bahwa negara secara mandiri atau
kolektif melakukan intervensi ke negara lain berdasarkan kepentingan, alasan,
dan dalih yang beragam. Rasionalisasi dan rujukan normatif yang digunakan
dalam melakukan intervensi sering kali menunjukkan inkonsistensi dan
ambiguitas. Transformasi
tata kelola global Mengapa intervensi
kemanusiaan dianggap relevan dalam sistem internasional kontemporer? Pada
dasarnya setiap negara berdaulat atas urusan yang terjadi di wilayahnya.
Namun, ketika negara tidak mampu (unable) dan tidak mau (unwilling)
melindungi dan atau menyediakan bantuan yang diperlukan untuk kehidupan
warganya; atas dasar rasa kemanusiaan universal, masyarakat internasional
punya kesempatan untuk membantu. Intervensi dilaksanakan
bukan untuk menguasai, melainkan untuk mencegah dan menghentikan terjadinya
bencana kemanusiaan. Kehadiran masyarakat internasional bersifat komplementer
dan dilakukan manakala diperlukan. Berakhirnya Perang Dunia
Kedua mendorong masyarakat internasional sampai pada kesepakatan bahwa
penghormatan HAM, penyelesaian sengketa secara damai, arsitektur keamanan
kolektif, dan prinsip non-intervensi, sebagai bagian konstitusi politik
internasional yang tertuang dalam Piagam PBB. Realitasnya masyarakat
internasional dan organisasi internasional harus menghadapi peta situasi
konflik yang makin rumit dan memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan
kontekstual. Kerumitan ini dipicu oleh
perubahan dalam model dan karakter konflik dengan kekerasan yang terjadi di
berbagai wilayah dunia. Sebagian besar konflik bersenjata yang terjadi bukan
konflik antarnegara (inter-state), melainkan konflik bersenjata di dalam
negeri (intra state), dan jumlahnya makin meningkat. Konflik yang terjadi
ditandai dan atau sebagai akibat kegagalan negara (State failure) dalam
mengelola dampak globalisasi terhadap transformasi politik, sosial, dan ekonomi.
Gejala semacam ini telah meningkatkan kompetisi untuk menguasai sumber daya
alam maupun dampak ikutannya termasuk terjadinya kekerasan terorganisasi oleh
para pelaku yang mengatasnamakan negara (State actors) maupun bukan atas nama
negara (non-state actors). Konflik dengan kekerasan
di berbagai wilayah dunia telah mengakibatkan korban di kalangan penduduk
sipil (civilians) dan pemindahan manusia secara paksa (forced human
displacement), meningkat secara dramatis sejak tahun 1990-an. Keterlibatan
dan kehancuran otoritas publik di berbagai wilayah yang dilanda konflik
bersenjata telah mengakibatkan terjadinya kekaburan pembedaan antara
combatants dan civilians. Celakanya penduduk sipil telah secara nyata
dijadikan target atau sasaran oleh para pihak yang sedang terlibat dalam
konflik bersenjata. Pada akhir abad ke-20 dan
memasuki abad ke-21, pemahaman tentang kedaulatan sebagai konsep yang absolut
tampak tidak relevan. Kegagalan otoritas nasional dalam mengelola dinamika
politik dan memberi perlindungan hak asasi warganya sebagaimana terjadi di
wilayah Angola, Afghanistan, Myanmar, Somalia, Irak, Rwanda, dan eks
Yugoslavia merupakan landasan sahih bahwa negara tidak dapat menutup diri
dari bantuan masyarakat internasional dengan dalih atau atas nama kedaulatan.
Kedaulatan negara tidak dapat dijadikan perisai (shield) oleh otoritas
nasional untuk mencegah bantuan eksternal kepada warga di negara yang
bersangkutan yang memerlukan bantuan kemanusiaan dan perlindungan
internasional. Kekejaman dan pelanggaran
berat hak asasi manusia di Rwanda (Afrika) dan Yugoslavia (Eropa) pada tahun
1990-an merupakan pengalaman sangat penting bagi masyarakat internasional.
Kejahatan kemanusiaan yang terjadi di kedua wilayah tersebut memicu
transformasi tata kelola global dalam penanganan kejahatan internasional
melalui pembentukan mahkamah pidana internasional, baik yang bersifat ad hoc
(ICTY & ICTR) maupun yang permanen (ICC). Perkembangan lain yang tak
kalah penting adalah munculnya perdebatan dan kesadaran tentang urgensi dan
relevansi intervensi kemanusiaan, dan kontekstualisasi kewajiban universal
untuk memberikan perlindungan bagi warga sipil yang sangat memerlukan, ketika
otoritas nasional negara yang bersangkutan tak bisa diharapkan atau merupakan
bagian dari masalah. Penghormatan dan
perlindungan hak asasi manusia lebih diutamakan daripada kedaulatan negara.
Intervensi kemanusiaan dalam rangka perlindungan hak asasi manusia menemukan
landasan moral dan legal yang sahih dalam sistem hukum internasional
kontemporer. Inilah esensi intervensi kemanusiaan dan doktrin RtoP. Penghormatan dan
perlindungan hak asasi manusia merupakan kewajiban erga omnes bagi setiap
negara. Konsekuensinya, ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia di mana
pun, setiap negara berhak mempertanyakan peristiwa tersebut. Hal ini di
dukung dan diperkuat oleh doktrin hukum universal maupun keputusan peradilan
internasional (case law). Suatu negara yang melakukan pelanggaran berat
terhadap kewajiban tersebut telah kehilangan legitimasi atas kedaulatannya. Kapasitas
Indonesia Bagaimanakah relevansi
Resolusi Majelis Umum PBB dalam sistem hukum internasional? Pandangan
konservatif yang didukung dan didesakkan oleh para politisi di Eropa dan
Amerika meyakini bahwa Resolusi Majelis Umum bukan instrumen yang memiliki
kekuatan hukum mengikat (legally binding). Resolusi Majelis Umum dianggap
sebagai rekomendasi atau imbauan saja (de lege feranda), bukan instumen hukum
yang mengikat secara ketat dan dianggap sebagai soft law. Namun, interpretasi
kontekstual dan didukung oleh fakta-fakta yang relevan menunjukkan bahwa
suatu prinsip yang merefleksikan kepentingan bersama (common interest) yang
diterima dan mendapat dukungan luas masyarakat internasional melalui praktik
yang konsisten dan disertai keyakinan hukum (opinio juris), bahkan dapat
menjelma menjadi norma hukum pemaksa (jus cogens) dalam hukum internasional.
Interpretasi ini didukung oleh bukti tentang pengaruh prinsip tersebut dalam
sikap politik masyarakat internasional dan pembentukan hukum internasional
(law making process) di kemudian hari. Pada tahun 1955, Indonesia
telah membuktikan kapasitasnya sebagai pelopor dan pemimpin bagi
negara-negara di Asia dan Afrika dengan lahirnya Dasa Sila Bandung (Bandung
Principles), yang memuat prinsip-prinsip hukum internasional yang menjadi
inspirasi solidaritas internasional dan pembebasan bangsa-bangsa terjajah di
Asia dan Afrika. Dasa Sila Bandung merupakan bukti faktual Indonesia telah
memimpin pembentukan fondasi normatif solidaritas universal dan proses dekolonisasi
yang berpijak pada hukum dan kemanusiaan sesuai tantangan jaman. Banyak yang berharap,
capaian dan kontribusi strategis di masa lalu menjadi modal kuat dan menjadi
dasar kepercayaan diri Indonesia di hadapan komunitas internasional. Kini
Indonesia diuji kapasitasnya untuk menghadirkan prinsip kemanusiaan yang adil
dan beradab dalam ranah politik dan hukum internasional. Sangat disayangkan,
kali ini kesempatan itu dilewatkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar