Politik
Kemandirian Iptek Gutomo Bayu Aji ; Peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS, 16 Juni 2021
Dalam sebuah webinar
tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belum lama berselang, seorang
pembicara menceritakan kegelisahan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri
terhadap kemandirian iptek. Sudah lebih dari enam
dasawarsa sejak Presiden ke-1 RI Soekarno meletakkan tonggak kemandirian
iptek dengan visi besar yang membuat kita sebagai negara-bangsa baru tidak
minder di hadapan negara-negara adidaya saat itu, kemandirian iptek masih
terasa bagai menggantang asap hingga kini. Perjalanan masa malah
membuat kita mengelus dada karena modal kelembagaan dan sumber daya manusia
iptek serta industri strategis yang disemai semasa Soekarno tidak mendapatkan
perhatian, bahkan terkesan dipinggirkan. Institusi-institusi pasar bebas
turut berperan dalam konstelasi politik kemandirian iptek, mengendalikan arah
iptek serta industrialisasi masa kini. Arus deras globalisasi
telah membentuk kembali kemandirian iptek, bukan lagi sebagai diskursus
kedaulatan, melainkan sebagai komoditas yang dinegosiasikan, dikuasai, dan
dijadikan alat eksploitasi. Dengan kata lain, pembentukan kembali diskursus
itu telah menggeser visi kemandirian iptek menjadi pasar besar yang disebut
masyarakat konsumen Indonesia. Kegelisahan Megawati yang
disampaikan pada masa kepresidenan Joko Widodo bisa dilihat sebagai kegelisahan
negara-bangsa, sebuah pencarian identitas keindonesiaan melalui iptek yang
pada kenyataannya justru tergerus oleh sifat intrinsiknya sendiri ketika
berada di bawah kekuatan-kekuatan pasar bebas. Dalam spirit keindonesiaan
inilah, Jokowi terpanggil oleh visi besar yang diwariskan oleh Soekarno,
tetapi dengan kenyataan berupa persoalan pelik yang harus dihadapi saat ini.
Persoalan itu tidak lain adalah kelembagaan dan SDM iptek yang berada di
dalam pusaran neoliberalisme serta deindustrialisasi pascakrisis moneter
tahun 1997-1998 yang belum kunjung pulih. Apakah restrukturisasi
kelembagaan iptek, yaitu Kemenristek menjadi BRIN dan Kemendikbudristek akan
mendekatkan pada kemandirian iptek? Dua
tantangan Mungkin akan terkesan
simplistis apabila persoalan di atas hanya disandarkan pada restrukturisasi
kelembagaan iptek, tanpa menimbang fenomena deindustrialisasi. Namun, dengan
membincangkan kedua pilar riset itu, setidaknya akan turut membuka ruang
partisipasi publik, khususnya komunitas epistemik, untuk turut berdialog
mengenai kemandirian iptek. Di komunitas epistemik,
restrukturisasi itu telah memicu kecemasan. Setidaknya ada kecemasan yang
mengemuka. Pertama, terkait budaya organisasi di satu sisi dan otonomi
peneliti di sisi lain. Restrukturisasi yang
diikuti konsolidasi sumber daya iptek dipandang merombak kelembagaan iptek
dan budaya organisasinya yang telah dibangun selama setengah abad terakhir.
BRIN akan membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun kembali budaya
organisasi di tengah perbedaan karakter lembaga-lembaga ristek seperti LIPI,
BPPT, Lapan, Batan, Lembaga Eijkman, serta keterbatasan jabatan kepala badan
di antara kementerian terkait. Sementara itu, kalangan
peneliti mencemaskan otonomi di antara relasi pengetahuan dan kekuasaan yang
berkembang di bawah BRIN. Bukan pada subyektivitas sebagaimana pada pemikiran
Foucault, melainkan pada eksistensi peneliti di bawah bayang-bayang kekuasaan
yang dikhawatirkan akan memperlemah independensi. Kedua, terkait SDM iptek
yang berdasarkan tiga indeks global tampak menyedihkan, yaitu PISA (Programme
International Student Assessment) 2018, Education Index dari Human
Development Reports 2017, dan GKI (Global Knowledege Index) 2020. Ketiga
indeks itu menempatkan Indonesia di kelompok peringkat terbawah, bahkan di
ASEAN. Selain itu, dilihat dari
pendidikan tinggi, jumlah universitas riset kita sangat terbatas.
Restrukturisasi mungkin disertai kehendak untuk memberikan otoritas atau
sarana untuk mengembangkan ristek di kalangan swasta, terutama sektor industri
sebagai pilar ketiga. Namun, seberapa besar investasi telah memulihkan
deindustrialisasi? SDM
unggul Di era keterbukaan saat
ini, rasanya akan seperti bangsa yang aneh jika kita menolak investasi
global. Fakta bahwa sektor industri berdiri di garis depan globalisasi dan
pengarah kebutuhan iptek. Persoalannya terletak pada politik yang
menaunginya; apakah ketiga pilar iptek, yaitu BRIN, perguruan tinggi, dan
industri, bisa mewujudkan kemandirian iptek sebagai kepentingan bersama suatu
bangsa? Kunci dari persoalan ini
ada pada SDM iptek di mana politik yang menaunginya saat ini percaya bahwa
teori modal manusia menjadi pendekatan utama penciptaan SDM unggul.
Pemerintah bahkan optimistis dengan dividen demografi yang akan dipanen dalam
kurun waktu yang panjang hingga 2045. Namun, tanpa pembenahan indeks
pendidikan di atas, SDM yang diciptakan bisa selalu tertinggal dalam
kompetisi penguasaan iptek di tingkat global. Politik kemandirian iptek
mungkin perlu melihat kembali upaya penciptaan SDM unggul itu dengan
menekankan pada penguasaan dan kompetisi iptek di tingkat global serta
internalisasi nilai-nilai keindonesiaan untuk mencapai kepentingan politik
bersama sebagai sebuah bangsa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar