Perspektif
Baru Melihat Biodiversitas sebagai Indikator Keberlanjutan Suria Tarigan ; Guru Besar pada Fakultas
Pertanian dan Centre for Transdisciplinary and Sustainability Sciences, IPB University |
KOMPAS, 07 Juni 2021
Biodiversitas sering
didengung-dengungkan sebagai indikator penting keberlanjutan oleh masyarakat
global, tetapi terasa abstrak bagi masyarakat lokal. Hal ini disebabkan
rancunya pemahaman biodiversitas. Biodiversitas yang
dipromosikan oleh masyarakat global selama ini condong kepada biodiversitas
yang terkait dengan spesies liar (wild species), misalnya orangutan. Bagi
masyarakat lokal, makna biodiversitas seperti ini sering dianggap sebagai
sesuatu yang bersifat mewah (luxurious) dan tidak esensial. Perbedaaan pengertian
biodiversitas berdasarkan persepektif global dan lokal ini sering menimbulkan
polemik dalam negosiasi dan perbincangan masalah keberlanjutan
(sustainability). Misalnya, saat masyarakat global mengkaitkan isu
keberlanjutan perkebunan monokultur dengan habitat orangutan, masyarakat
lokal sering memandang hal tersebut kurang relevan dan terlalu dibuat-buat
karena isu kemiskinan (poverty) masyarakat lebih penting dari isu
permasalahan orang utan. Biodiversitas pada
indikator keberlanjutan (misalnya SDGs) tidak terkait biodiversitas spesies
liar semata. Hilangnya biodiversitas atau keanekaragaman hayati (biodiversity
loss) tidak hanya terkait dengan lanskap hutan (deforestasi), tetapi juga
biodiversitas fungsional (functional biodiversity) yang terkait dengan
lanskap pertanian. Contoh dari biodiversitas
fungsional adalah biodiversitas berbagai ragam organisme tanah yang penting
dalam siklus air dan hara, biodiversitas serangga penyerbuk, dan
biodiveristas musuh alami hama. Biodiversitas fungsional ini juga disebut
agro-biodiversitas, yaitu biodiversitas yang tidak hanya memperbaiki fungsi
ekologi, tetapi juga meningkatkan daya regenaratif dan produktivitas lanskap
pertanian monokultur. Persepektif yang berkembang
selama ini berpendapat bahwa fungsi biodiversitas sebuah lanskap hanya dapat
disediakan lanskap asli (pristine landscape), seperti hutan primer. Pandangan
tersebut menyebabkan terabaikannya perhatian terhadap biodiversitas
fungsional atau agro-biodiversity yang dapat disediakan oleh lanskap
pertanian selama ini. Menurut Pimentel et al. (1992), lanskap pertanian
adalah lanskap yang paling banyak menyimpan biodiversitas dunia yang
berfungsi untuk meningkatkan fungsi ekologisnya. Lanskap
penting Lahan pertanian merupakan
lanskap penting di Indonesia dengan total luas sekitar 58 juta hektar (31
persen luas daratan). Sektor pertanian merupakan penyumbang PDB terbesar
kedua setelah sektor industri. Lanskap monokultur menggunakan input yang
intensif dengan produktivitas tinggi, tetapi kemungkinan menghapus
(depleting) fungsi ekologis modal alam (natural capital) sehingga tidak
regeneratif. Ada tiga faktor strategis
kenapa kita harus memperhatikan agro-biodiversitas ke depan. Pertama, produk
pertanian monokultur nasional banyak dipasarkan secara global. Kontribusi
komoditas pertanian nasional cukup dominan pada neraca perdagangan
internasional, misalnya produk sawit, kopi, cokelat, dan karet. Saat ini semakin banyak
perusahaan global yang bergerak dalam bidang rantai pasok (supply chain)
produk pertanian memasukkan komponen biodiversitas dalam proses-proses
pengambilan keputusan (decision-making processes) dan operasional perusahaan
(corporate operations). Hal ini tecermin dari munculnya narasi baru dalam
perdagangan global (misalnya Trade and Sustainability Development/TSD) yang
berpotensi memasukkan indikator komponen biodiversitas dalam trade agreement
bilateral maupun multilateral. Ke depan, setiap usaha untuk perbaikan
komponen keberlanjutan (misalnya aspek biodiversitas) pada rantai pasok
pertanian akan memperbesar daya saing produk pertanian kita di pasar global. Kedua, fungsi
biodiversitas merupakan komponen penting dalam pencapaian target SDGs yang
berkontribusi kepada pencapaian target pada Goal 12, 13, dan 15 (healthy
diets and nutrition resilient livelihoods, sustainable land use, agriculture
and forestry). Ketiga, adanya potensi
sinergi (win-win tradeoff), dimana peningkatan fungsi biodiversitas juga
akhirnya akan berkontribusi pada peningkatkan fungsi produksi (produktivitas)
lanskap pertanian monokultur. Salah satu strategi yang
dapat ditempuh untuk meningkatkan fungsi biodiversitas lanskap pertanian
monokultur adalah dengan sistem multi-fungsi lanskap. Pada sistem
multi-fungsi lanskap, fungsi ekologis (biodiversitas) dan fungsi produksi
bersinergi pada satu lanskap yang sama. Dalam literatur ilmiah sistem
multi-fungsi lanskap sering disebut dengan konsep land-sharing
(Raudsepp-Hearne et al. 2010; Macfadyen et al. 2012; Maestre et al. 2012;
Landis 2017; Manning et. al. 2018; Kleijn et al. 2019; Grass et al. 2020). Saat ini merupakan
momentum penting di mana pengelolaan biodiversitas melalui sistem
multi-fungsi lanskap perlu diterapkan, yaitu pada program peremajaan
(replanting) kebun sawit monokultur, dan pengembangan food estate. Peremajaan
kebun sawit yang umumnya dilakukan dalam siklus 25-30 tahun, yakni setelah
masa 25-30 tahun tanaman kelapa sawit harus ditanam ulang. Saat ini terdapat
kebun sawit monokultur yang harus diremajakan adalah seluas 2,78 juta hektar. Momentum peremajaan kebun
kelapa sawit ini dan pengembangan food estate adalah saat yang tepat untuk
mengubah sistem budidaya monokultur yang selama ini diterapkan menjadi
budidaya yang lebih biodiversity-friendly (misalnya, melalui implementasi
multi-fungsi lanskap) yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing di
pasar global dan sekaligus meningkatkan daya regeneratif lanskap monokultur. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar