Permainan
Rakyat Trias Kuncahyono ; Penonton sepak bola |
KOMPAS, 18 Juni 2021
I Sepak bola adalah
permainan rakyat. Begitu kata sejarawan sepak bola Inggris James Walvin.
Sebagai the people’s game, sepak bola begitu sukses karena telah menjadi
simbol kesamaan kesempatan dan perubahan. Dan, kemudian kata R Giulianotti
dan R Robertson, dalam Globalization and Sport (2007), dipadu secara sempurna
dengan karakteristik utama masyarakat industri Barat modern—kerja tim dan
kompetisi—menjadi sangat berhasil. Maka itu, sepak bola
menjelma menjadi kerajaan besar: jangkauan kekuasaannya lebih luas dari
demokrasi, ekonomi pasar, bahkan internet. FIFA, yang didirikan tahun 1904
sebagai induk organisasi ini, anggotanya lebih banyak daripada Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Saat ini anggota FIFA, 211 bangsa; anggota PBB, 193 negara. Hong Kong dan Makau, yang
bukan anggota PBB, adalah anggota
FIFA. Palestina—yang statusnya di PBB sebagai non-member states, seperti
Takhta Suci Vatikan—adalah anggota FIFA. Kata Giulianotti, sepak bola adalah
permainan tanpa batas. Sepak bola mengatasi dominasi politik, hingga
identitas nasional diakui melalui tim nasional sepak bola, mendahului pengakuannya sebagai negara. Satu hal yang
menarik—sesuatu yang khas—adalah, olahraga ini menyimpan ”semangat religius”.
Misalnya, stadion ibarat kata sebagai altar tempat ”ritus” keagamaan itu
dilakukan, yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain; selain pemain dan wasit
dan penjaga garis. Ritus itu dimulai dengan lagu, dan semua ”yang beribadah”
mengenakan pakaian khusus dan warna khusus; sepanjang ”ritual” diiringi oleh
lagu-lagu. Meski demikian, sepak bola tetap bukanlah agama. Agama, dalam bahasa Karl
Marx, ”adalah candu masyarakat”. Sepak bola pun memiliki kekuataan, daya
hipnotis seperti itu. Sepak bola mampu mengalihkan perhatian orang, bahkan
mendikte dan memengaruhi cara hidup dan perilaku orang. Ada orang yang bisa
mengalami perasaan transendental di lapangan (stadion) atau malah mungkin
”hanya” di depan televisi. Meski sepak bola bukan agama, tidak sedikit orang
yang mau melakukan apa pun, banyak hal demi sepak bola (seperti demi agama). Kerumunan penonton sepak
bola adalah paduan suara, bukan sekadar penonton belaka. Mereka layaknya
umat. Tidak aneh, kalau ada orang yang sangat fanatik memilih mendukung klub
tertentu, ada yang dengan alasan rasional, ada pula yang tidak rasional. Ia
memilih klub A, bukan B. Orang menjadi fanatik, militan, bahkan ekstrem. II Sekalipun sepak bola
adalah ”permainan rakyat”, ia berkembang dan terus berubah mengikuti tuntutan
kebutuhan geopolitik seturut tatanan dunia baru. Dan, menjadi simbol
perubahan dan kesetaraan. Misalnya, dengan Piala Dunia 2010 di Afrika
Selatan, negara-negara di Benua Afrika mengambil kesempatan untuk menegaskan
kehadiran di panggung dunia, baik di bidang politik, ekonomi, maupun
olahraga. Ada banyak pemain sepak
bola di Eropa yang berasal (atau sekurang-kurangnya, nenek moyangnya) dari
Afrika. Misalnya, penyerang muda Perancis Kylian Mbappe, ayahnya berdarah
Kamerun, sedangkan ibunya dari Aljazair. Ia hanya satu dari sejumlah pemain
Perancis berdarah Afrika, seperti Paul Pogba (Guinea), N’Golo Kante dan
Moussa Sissoko (Mali), Ousmane Dembele (Pantai Gading), juga Karim Benzema
(Aljazair) Striker Belgia Romelu
Lukaku, kedua orangtuanya dilahirkan di Republik Demokratik Kongo. Ada pemain
berdarah Afrika lain di Belgia, misalnya Michy Batshuayi dan Christian
Benteke (RDK), juga Jeremy Doku (Ghana). Di kesebelasan Jerman, orangtua
Antonio Rüdiger berasal dari Sierra Leone, lalu ada Leroy Sane (Senegal),
Serge Gnabry (Pantai Gading), dan Jamal Musiala (Nigeria). Di kesebelasan Austria,
ada David Alaba yang orangtuanya berasal dari Nigeria, Valentino Lazaro (ayah
asal Angola), dan Karim Onisiwo (ayahnya dari Nigeria). Di skuad Swiss ada
Breel Embolo yang lahir di Kamerun, Denis Zakaria (ayahnya dari RDK, ibu
Sudan), serta Kevin Mbabu (ibu dari RDK). Ayah pemain depan Belanda,
Memphis Depay, berasal dari Ghana. Adapun, ayah Nathan Ake dari Pantai
Gading. William Carvalho, pemain Portugal, lahir di Angola; dan Danilo
Pereira lahir di Guinea-Bissau. Masih banyak lagi pemain Eropa berdarah
Afrika, seperti Bukayo Saka yang main di Inggris. Setelah Afrika Selatan,
Qatar yang pada 2022 akan menjadi tuan rumah Piala Dunia punya kesempatan
untuk mempromosikan Dunia Timur Tengah dan Islam. Apabila nanti Piala Dunia
Qatar 2022 berhasil, sukses, tidak hanya citra Qatar yang naik, tetapi juga
Timur Tengah yang selama ini dianggap sebagai pusaran konflik. Pelaksanaan Piala Eropa
kali ini saja—yang tersebar di 11 negara—terlepas dari karena adanya ancaman
pandemi Covid-19, juga menunjukkan ”perubahan, kesetaraan, dan keadilan”.
Dari contoh-contoh ini jelas bahwa berbicara tentang perbatasan sepak bola
baru, berarti berbicara tentang bagaimana sepak bola telah berubah dan sedang
mengubah aset politik dan ekonomi, yang melihat Eropa dan seluruh Barat
kehilangan otoritas secara bertahap terhadap wilayah baru dunia ini. Terlebih
dengan munculnya China dan India sebagai kekuatan besar di Timur. Namun, apa pun perubahan
yang terjadi, sepak bola tetap the people’s game. Kekuatannya ada di
”rakyat”, penonton. Bukankah kompetisi sepak bola entah di Italia, Inggris,
Jerman, Spanyol, termasuk Indonesia, selama pandemi ini, ibarat pasar ilang
kumandange, sepi, kurang menarik. Maka, Piala Eropa kali ini
meski dengan jumlah yang terbatas, bisa dihadiri oleh para ”umatnya.” Dan,
hidup kembali. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar