Perlindungan
Peternak Sapi Rochadi Tawaf ; Dewan Pakar PB ISPI dan Komite Pendayagunaan
Petani Indonesia |
KOMPAS, 25 Juni 2021
Pemerintah dalam kerangka
membina dan mengembangkan industri gula dan petani tebu telah mengeluarkan
berbagai kebijakan yang mampu melindungi petani tebu. Kebijakan tersebut,
antara lain, menetapkan harga beli tebu petani dengan harga tinggi. Kebijakan ini sangat
efektif dalam merangsang peningkatan produksi dan produktivitas industri gula
di dalam negeri. Selain itu, menurut ISO 2019 (International Sugar
Association), Indonesia sebagai negara importir neto gula telah membeli
raw-sugar dengan harga tertinggi di dunia, yakni 3,97 dollar AS per metrik
ton. Namun, kondisi sebaliknya
terjadi pada komoditas daging sapi. Sejak Presiden Jokowi pada 2016 meminta
harga daging sapi harus di bawah Rp 80.000 per kilogram, berbagai upaya
jungkir balik (istilah Jokowi) atau kebijakan-kebijakan kontroversial telah
dilakukan pemerintah. Kebijakan itu, antara
lain, pembebasan impor daging dan sapi melalui Peraturan Menteri Pertanian
(Permentan) Nomor 17 Tahun 2016, Permentan No 34/2016, dan Peraturan Menteri
Perdagangan No 59/2016. Sebelumnya, daging yang diimpor dibatasi dengan
rasio. Kemudian, kebijakan
membuka impor daging kerbau dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan
kuku (PMK) melalui Peraturan Pemerintah No 4/2016 dan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No 2556/2016. Sebelumnya, ada larangan untuk mengimpor dari
negara-negara yang belum masuk zona bebas PMK. Selanjutnya, kebijakan
rasio impor sapi bakalan dengan indukan lewat Permentan No 02/2017 Pasal 7.
Padahal, bisnis penggemukan sangat berbeda dengan pembiakan. Selain itu, kebijakan
perubahan berat badan sapi bakalan impor dari 350 kilogram menjadi 450
kilogram melalui Permentan No 49/2016 jo Permentan No 02/2017 Pasal 15. Sesungguhnya, bisnis
penggemukan ditujukan untuk memperoleh nilai tambah di dalam negeri. Namun,
seluruh kebijakan itu tak mampu menahan lajunya kenaikan harga daging sapi di
dalam negeri yang terus meningkat dari sekitar Rp 110.000 per kilogram pada
2016 menjadi Rp 120.000-an per kilogram pada 2021. Dampaknya, telah terjadi
deindustrialisasi terhadap industri feedlot, yaitu terhentinya bisnis 14
perusahaan dan 29 feedlot menuju kebangkrutan, dengan nilai bisnis puluhan
triliun rupiah. Harga
daging sapi Pada hakikatnya, harga
daging sapi yang terbentuk dapat terjadi berdasarkan kesepakatan antara
penjual dan pembeli serta tunduk pada hukum permintaan dan penawaran. Jika penawaran akan daging
sapi itu lebih besar dibandingkan dengan permintaannya, dengan sendirinya
harga akan cenderung rendah. Demikian juga sebaliknya. Terbentuknya harga
sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara penetapan statistik
harga daging sapi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) adalah dengan
menentukan daging yang berasal dari ”paha belakang”. Sebenarnya harga yang
berlaku saat ini merupakan harga ”keseimbangan baru” yang terbentuk atas
kemampuan produksi atau ketersediaannya dengan kemampuan daya beli konsumen
sejak dua tahun terakhir. Jika harga keseimbangan ini diturunkan, tentu yang
akan dirugikan usaha peternakan di dalam negeri. Menurut penelitian Tawaf
(2013), harga produk ternak memberikan pengaruh nyata (38 persen) terhadap
upaya pengembangan skala usaha ternak. Artinya, harga merupakan komponen
insentif bagi pengembangan usaha peternakan rakyat di dalam negeri. Jika pemerintah
berkeinginan menurunkan harga, sesungguhnya itu identik dengan tidak
menginginkan peternakan sapi di dalam negeri berkembang. Tentu saja pendapat
ini belum tentu benar. Namun, siapa sesungguhnya yang menikmati murahnya
harga daging itu? Jika pemerintah berpihak
kepada konsumen, menurut Soedjana (2016), partisipasi konsumen daging sapi
itu hanya 16 persen dari penduduk Indonesia yang ada di perkotaan. Kelompok
masyarakat ini relatif tidak peduli dengan fluktuasi harga daging sapi. Jika dilihat dampaknya
terhadap gejolak ekonomi, fluktuasinya pun relatif rendah dibandingkan dengan
komoditas cabai dan daging ayam. Jika alasannya untuk pemenuhan konsumsi
protein hewani, negeri ini sangat kaya dengan protein hewani yang berasal
dari ikan, unggas, dan ternak lainnya. Perlindungan
peternak Menurut Numbeo (2021),
harga daging sapi di Indonesia menempati peringkat ke-71 dari 107 negara
sebagai responden. Artinya, harga daging di Indonesia relatif murah jika
dibandingkan dengan 107 negara lainnya. Sesungguhnya, tidak ada
alasan jika harga daging di Indonesia lebih mahal daripada kondisi saat ini.
Sebab, peningkatan harga yang terjadi akan merangsang peternak sapi di dalam
negeri untuk mengembangkan usahanya. Jika disimak fenomena yang
terjadi jelang Idul Kurban saat ini, sapi-sapi jantan ternyata ditahan oleh
peternak rakyat dan akan dipasarkan saat Idul Adha. Hal ini disebabkan harga
yang sangat kondusif pada saat Idul Kurban, yaitu Rp 60.000-an per kilogram
berat hidup. Artinya, jika dikonversi ke harga daging, sekitar Rp 150.000 per
kilogram. Jika saja kondisi pasar Idul
Kurban dijadikan patokan harga, tentunya peternakan di dalam negeri akan
tumbuh dan berkembang dengan baik. Posisi harga daging ini masih berada di
peringkat ke-40-an dunia. Dampaknya tentu akan mampu memperbaiki bisnis sapi
pedaging yang terpuruk beberapa tahun terakhir ini. Dalam rangka melindungi
peternak sapi di dalam negeri agar tumbuh dan berkembang secara kondusif,
panduan harga daging yang terjangkau dapat dijadikan dasar sebagai
pertimbangan sepanjang peningkatannya terjadi sejalan dengan perkembangan
inflasi di perekonomian nasional. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar