Pengeluaran
Pertahanan sebagai Barang Publik Akhmad Bayhaqi ; Alumnus Fakultas Ekonomi UI, bermukim di
Singapura |
KOMPAS, 14 Juni 2021
Anggaran belanja untuk
pertahanan merupakan komponen penting bagi suatu negara. Sebagai barang
publik, pertahanan dan keamanan barangkali adalah satu-satunya komoditi yang
hanya bisa disediakan oleh negara. Dalam perspektif ekonomi, barang publik
memiliki sifat non-rival dan non-eksklusif. Dalam artian konsumsi
barang publik tidak dapat dibatasi siapa penggunanya dan siapa saja yang
dapat memperoleh manfaat dari konsumsi barang publik tersebut. Dalam hal
jalan raya misalnya, pihak swasta bisa dilibatkan dalam penyediaan jasa
transportasi tersebut, dalam bentuk jalan tol misalnya. Namun dalam konteks
pertahanan dan keamanan nasional, negara merupakan satu-satunya institusi
yang berperan penting. Karena itu belanja publik
untuk pertahanan memegang peranan yang utama dalam memastikan manfaat
keamanan optimal yang dapat dirasakan oleh rakyat. Sebagai persentase dari
PDB, di tahun 2020, Indonesia membelanjakan 0,9 persen dari PDB untuk belanja
pertahanan (data dari Stockholm International Peace Research Institute,
https://www.sipri.org/databases/milex). Tentunya angka di atas
masih jauh di bawah negara-negara maju seperti Amerika Serikat (3,7 persen),
Inggris (2,2 persen), dan Perancis (2,1 persen). Sementara itu, negara-negara
di Asia seperti China dan Korea Selatan membelanjakan sekitar 1,7 persen sampai
2,8 persen dari PDB untuk belanja pertahanan mereka. Beberapa anggota ASEAN
seperti Malaysia dan Filipina membelanjakan sekitar 1persen dari PDB;
sementara Singapura menyumbangkan 3,2 persen dari PDB nasional mereka untuk
keperluan pertahanan. Berdasarkan hitungan penulis, secara agregat,
negara-negara maju membelanjakan sekitar 2,3 persen sampai dengan 2,6 persen
dari PDB nya (per tahun) untuk belanja pertahanan selama 2015-2020. Untuk Indonesia, tampak
terjadi pergeseran sesudah krisis finansial Asia tahun 1998. Berdasarkan data
yang ada, pengeluaran belanja pertahanan tertinggi terjadi di tahun 1975 (3,5
persen dari PDB). Sebelum tahun 1998, belanja pertahanan cukup konsisten
untuk berada di atas 1 persen; bahkan masih mencapai 1,5 persen di tahun 1997. Namun sejak 1999, belanja
pertahanan selalu berada di bawah 1 persen dari PDB. Di tahun 2020, belanja
pertahanan per kapita untuk indonesia mencapai 34,3 dollar AS setahun,
sedikit di atas Filipina (34,1 dollar AS); namun terpaut cukup jauh dengan
Malaysia (117,6 dollar AS), dan Thailand (105,2 dollar AS). Dampak
ekonomi belanja pertahanan Walaupun ada kecenderungan
bahwa negara maju membelanjakan porsi PDB yang lebih besar, hal ini belum
menunjukkan hubungan kausalitas yang jelas. Beberapa studi menunjukkan dampak
belanja pertahanan tidak terlalu signifikan dalam meningkatkan produktivitas
ekonomi nasional; karena alokasi untuk sektor pertahanan berarti alokasi yang
lebih sedikit untuk sektor-sektor lain seperti kesehatan, pendidikan dan
infrastruktur. Di sisi yang lain,
diperlukan stabilitas nasional yang memadai untuk menarik masuk investasi
global dan memastikan iklim usaha yang kondusif. Contoh menarik adalah
Singapura, yang merupakan pusat perdagangan dan investasi, membelanjakan
1.855,5 dollar AS per kapita setahun untuk belanja pertahanan. Degan kondisi global
pandemi saat ini, banyak negara dihadapkan pada kondisi resesi dan stagnasi
ekonomi yang menyebabkan defisit fiskal, dan kebutuhan mendesak untuk
menangani krisis kesehatan serta memacu pemulihan ekonomi. Berdasarkan data
historis yang ada, setelah krisis Asia 1998, belanja pertahanan di Indonesia
(sebagai komponen dari PDB) cenderung menurun. Belanja pertahanan Malaysia
juga menurun signifikan setelah krisis global 2008/2009: pengeluaran
pertahanan sebagai komponen dari PDB menurun dari 1,9 persen (2009) menjadi 1
persen (2019). Krisis juga tampak
berdampak bagi negara maju dalam mempengaruhi pola belanja pertahanan mereka.
Setelah krisis finansial global tahun 2008/2009, belanja Amerika Serikat
terlihat menurun dari 4,9 persen (2010) yang terus menunjukkan trend menurun
hingga mencapai 3,3 persen dari PDB pada tahun 2018. Data terakhir tahun 2020
menunjukkan AS menyumbangkan sekitar 3,7 persen dari PDB nasional mereka
untuk pertahanan. Inggris juga mengalami penurunan dari 2,7 persen (2009)
menjadi 1,9 persen pada tahun 2018. Tantangan
ke depan Belanja pertahanan di
Indonesia cenderung menurun, dibandingkan dengan masa Orde Baru. Di satu
sisi, penurunan belanja pertahanan bisa berarti lebih banyak sumber daya yang
dapat dialokasikan ke sektor-sektor lain, seperti sektor pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur. Di sisi yang lain, sebagai
barang publik, sektor pertahanan juga memerlukan prioritas yang tinggi dari
pemerintah. Untuk menunjang iklim investasi yang menarik dan aman bagi
investor, diperlukan ketahanan nasional yang mumpuni. Singapura, sebagai pusat
perdagangan dan investasi global, membelanjakan hampir 2.000 dollar AS per
kapita setiap tahun untuk belanja pertahanan. Industri pertahanan juga
berpotensi untuk dapat berkontribusi terhadap industri nasional, dengan
membangun kapasitas produksi di sektor-sektor usaha terkait seperti
penerbangan, perkapalan, dan pertambangan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar