Partai
Peserta Pemilu Moch Nurhasim ; Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI |
KOMPAS, 19 Juni 2021
Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVIII/2020 terkait Pengujian Materiil Pasal 173
Ayat (1) Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD
1945 telah mengubah aturan mengenai verifikasi parpol peserta pemilu (Kompas,
5/5/2021). MK memberi tafsir baru
bahwa partai-partai yang lolos ambang batas parlemen Pemilu 2019 tak perlu
verifikasi faktual, Komisi Pemilihan Umum (KPU) cukup melakukan verifikasi
administratif. Artinya, sembilan partai yang saat ini memiliki kursi DPR
secara otomatis akan menjadi peserta Pemilu 2024. Putusan MK ini bisa
dianggap kemunduran dibandingkan putusan MK sebelumya yang tetap mewajibkan
partai yang memiliki kursi DPR tetap mengikuti verifikasi faktual oleh KPU. Dalam khazanah teori
politik, parpol merupakan organisasi utama dalam sistem demokrasi. Partai
sebagai organisasi dalam keterhubungannya dengan pemilu bisa dikategorikan
dalam dua tipe, yakni partai sebagai peserta pemilu dan partai yang bukan
peserta pemilu. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, peserta pemilu tak selalu
sama. Peserta Pemilu 1955 adalah
parpol, organisasi massa (ormas) dan calon perseorangan. Pemilihan anggota
DPR diikuti 36 parpol, 34 ormas, 48 calon perorangan. Sedangkan pemilihan
anggota Konstituante diikuti 39 parpol, 23 ormas dan 29 calon perorangan
(Anri, 2019). Model kepesertaan pemilu
era Pemilu 1955 ini tak pernah digunakan kembali. Di era Orde Baru, peserta
pemilu adalah partai dan organisasi fungsional (Sekber-Golkar). Sedangkan
pada era Reformasi, peserta pemilu legislatif (DPR dan DPRD) adalah
organisasi parpol. Konsep peserta perseorangan hanya untuk pemilihan anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan calon kepala daerah (provinsi dan
kabupaten/kota). Partai peserta pemilu di
era Reformasi jumlahnya pun tidak ajek. Pada Pemilu 1999 sebanyak 48 partai
sebagai peserta dan hanya 20 partai yang memiliki kursi di DPR. Pemilu kedua
(2004) jumlah peserta pemilunya mengalami penurunan, hanya 24 partai. Dari
jumlah itu, sebanyak 16 partai yang memiliki kursi di DPR. Pemilu 2009 jumlah peserta
pemilunya mengalami kenaikan menjadi 34 partai, dan hanya sembilan partai
yang memiliki kursi. Demikian pula Pemilu 2014, sebanyak 12 partai sebagai
peserta dan dua partai tidak lolos ambang batas parlemen. Terakhir pada
Pemilu 2019, partai peserta pemilunya sebanyak 14, dan hanya sembilan yang
memiliki perwakilan di DPR. Fluktuasi peserta pemilu
tersebut sebagai dampak dari reformasi sektor kepemiluan yang membedakan dua
ranah partai, partai dalam proses pendirian dan partai sebagai peserta
pemilu. Paradigma reformasi kepartaian di Indonesia menganut prinsip, kebebasan
pendirian organisasi diwujudkan melalui pemberian kesempatan kepada setiap
orang dalam mendirikan partai. Pendirian partai di
permudah, tetapi syaratnya mengalami pengetatan pada dua tingkat, syarat yang
berat saat pendaftaran sebagai badan hukum dan saat menjadi peserta pemilu.
Akibatnya, partai di Indonesia ada yang tergolong sebagai organisasi partai
tak berbadan hukum (hanya partai papan nama), partai berbadan hukum tetapi
tak pernah jadi peserta pemilu, dan partai berbadan hukum peserta pemilu. Paradigma kepesertaan
pemilu yang dianut ialah setiap partai yang ingin jadi peserta pemilu perlu
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan melalui verifikasi
administratif dan faktual oleh KPU. Konsensus itu yang lebih dipilih sebagai konsekuensi
substantif untuk memenuhi keadilan konstitusional terhadap partai lama dan
partai baru. Keadilan bagi partai lama
dan partai baru juga berkaitan dengan jaminan atas kesiapan partai dalam
memenuhi segala ketentuan dalam sistem kepartaian. Keterhubungan untuk
menjamin bekerjanya sistem kepartaian dengan sistem pemilu melalui audit
organisasi peserta pemilu. Audit ini selain untuk memenuhi unsur-unsur
pelembagaan sistem kepartaian, juga untuk mengukur tingkat kelembagaan dan
pelembagaan partai sebagai organisasi modern. Meniadakan audit faktual
melalui siklus lima tahunan pemilu untuk mengukur kesiapan organisasi partai
sebagai peserta pemilu bisa berdampak memudarnya kinerja organisasi partai.
Padahal, partai satu-satunya organisasi yang diberi amanat oleh UUD 1945
sebagai sumber kepemimpinan nasional dan pengisian jabatan-jabatan penting
dalam kekuasaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa dibayangkan apabila
tak ada audit organisasi untuk memastikan kesiapan struktural, fungsional dan
kelembagaan sebagai syarat minimal bagi bekerjanya organisasi partai yang
diamanatkan konstitusi negara, organisasi partai bisa mengalami kemunduran.
Asumsi bahwa kinerja elektoral partai, di mana partai yang lolos ambang batas
parlemen secara otomatis akan menunjukkan kesiapan organisasi sebagai parpol,
bisa dianggap asumsi yang “keliru”. Mengapa demikian? Pertama,
untuk memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu, selama ini partai-partai
besar yang sudah berkali-kali lolos ambang batas parlemen pun “tertatih-tatih”,
akibat manajemen organisasi partai yang dikelola secara apa adanya. Kedua,
kalau mau jujur, hampir sebagian besar partai yang lolos ambang batas
parlemen tak semua bisa lolos lubang jarum sebagai peserta pemilu jika KPU
secara rigid dan sungguh-sungguh melakukan verifikasi administratif sekaligus
faktual yang ketat. Artinya, substansi
verifikasi administratif dan faktual justru ingin mendorong agar pemilu bukan
hanya sebagai “keranjang sampah” bagi parpol yang tak layak dan tak siap.
Jaminan kesiapan organisasi, manajerial, personal (SDM), baik secara
struktural maupun kultural sangat berarti bagi warga negara. Tujuannya agar pemilu
sebagai bagian utama sistem demokrasi memberikan kepastian bahwa partai yang
diberi amanat oleh kedaulatan rakyat benar-benar memiliki performa
kelembagaan dan pelembagaan sebagai organisasi partai politik, bukan sebagai
organisasi yang “katanya partai politik”. Hakikat
ambang batas parlemen Ambang batas parlemen
(parliamentary threshold) seyogianya hanya dimaknai sebagai jalan pintas
untuk membatasi jumlah partai yang memiliki kursi parlemen. Belum ada satu
kajian pun yang menyebut bahwa ambang batas parlemen berkaitan dengan
kesiapan organisasi partai yang diwujudkan melalui terlembaganya atau
pelembangaan organisasi partai. Dalam sejarah pemilu di
Indonesia, partai yang cenderung dikelola secara personal, catch all party,
dan bukan partai kader (partyID) justru yang biasanya paling banyak mendulang
suara. Tipe partai kader seperti PSI yang didirikan oleh Sutan Syahrir dengan
mudah digeser posisinya oleh partai massa seperti PNI, PKI, Masyumi dan NU.
Padahal, secara organisasi PSI jauh lebih matang dibandingkan dengan tipe
partai massa lainnya. Oleh karena itu, asumsi
akademik para hakim MK yang menilai partai yang lolos ambang batas parlemen
tak perlu diverifikasi secara faktual bisa jadi hambatan dalam mendorong
modernisasi organisasi parpol yang lebih baik ke depan. MK idealnya bisa
memberi tafsir progresif dalam pengujian ambang batas parlemen sebagai jalan
konstitusional untuk membenahi organisasi parpol sekaligus memutus mata
rantai pengelolaan partai secara personal, dan menghindarkan penguasaan
partai oleh para oligark dan pemodal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar