Merawat
Relasi Negara-Masyarakat Boni Hargens ; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI);
Mengajar di sejumlah universitas di Tanah |
KOMPAS, 14 Juni 2021
Selain “menyejahterakan rakyat”,
apa agenda teleologis negara demokrasi yang memungkinkan alibi dan narasi
kekuasaan mendapatkan justifikasi moral dalam beragam situasi kontroversial?
Mungkinkah relasi negara-masyarakat berada pada titik keseimbangan yang
harmonis? Tahun 1956, sosiolog
Amerika, Wright Mills (1916-1962) menerbitkan naskah berjudul The Power
Elite, elite kekuasaan. Pada bagian awal, Mills berbicara soal hidup banyak
orang yang acapkali tidak dibentuk oleh kehendak dan rancangan sendiri,
tetapi diciptakan oleh kepentingan segelintir orang yang lebih berkuasa
daripada kebanyakan dalam masyarakat, terutama pada gatra politik dan
ekonomi. Mereka ini yang disebutnya
“elite kekuasaan” atau “orang-orang hebat” (great men) dalam bahasa sejarawan
budaya Swiss, Carl Jacob Christoph Burckhardt (1818-1897). Meski berbicara
soal dinamika demokrasi Amerika Serikat pada masanya, tesis Mills selalu
relevan dalam beragam konteks. Membaca realitas
sosial-politik dalam paradigma kekuasaan, terutama bila diletakkan dalam
perspektif elitis, sebetulnya membaca dua kelas: “yang berkuasa” dan “yang
dikuasai”. Demokrasi, sejak awal, mewartakan esensi kedaulatan rakyat sebagai
roh utama dari demokrasi—yang dalam praksis dipercayakan kepada segelintir
wakil yang duduk dalam ruang kekuasaan untuk bertindak atas dasar dan demi
kemaslahatan rakyat an sich. Sejarah membuktikan, di
tangan elite politik, naluri kekuasaan tak selalu selaras dengan esensi moral
dari kekuasaan per se. Sebagian elite bertindak “atas nama rakyat” untuk
mengenyangkan diri. Korupsi politik dan politisasi identitas kelompok,
terutama politisasi agama, merupakan contoh praksis pragmatis yang mengikis
kandungan moral kekuasaan. Tanggalkan
isu dangkal Kita baru di ujung paruh
pertama 2021, wacana Pemilihan Presiden 2024 sudah menguat. Nama-nama bahkan
berseliweran di media massa. Di tengah pandemi yang memunculkan variasi
keresahan sosial, kita disuguhi berita politik dangkal, temporal, dan jauh
dari pergumulan hidup rakyat jelata. Sebagian orang merasa itu
dinamika biasa. Pasalnya, politik selalu berbicara siapa mendapatkan apa,
kapan, dan bagaimana. Namun, hal yang bisa disangkal, pengadilan moral
berlangsung dalam wilayah nurani. Setiap kita yang memiliki kepedulian etis
terhadap bangsa dan negara tentu tidak bahagia dengan tontonan serupa. Bagi seorang negarawan,
keselamatan rakyat dan kepentingan negara adalah dua realitas yang tak
terpisahkan, bahkan saling mensyarati. Tanpa keselamatan rakyat, negara
serentak kehilangan esensi ontologis dan tujuan teleologisnya. Sebaliknya,
tanpa merawat kepentingan negara (konstitusi, kebijakan, keamanan perangkat
negara, keutuhan wilayah, ketahanan ideologi, dan sebagainya), mustahil
keselamatan rakyat terwujud. Apakah salah kalau ambisi
elite politik selalu mendominasi berita media massa? Ini bukan perkara salah
atau benar, melainkan perihal etis atau tidak. Pemerintahan Presiden Joko
Widodo baru berakhir tiga tahun lagi. Di tengah kompleksitas sosial hari ini,
rakyat berada di titik paling rawan. Dituntut imajinasi moral dan tanggung
jawab etis dari elite politik untuk memprioritaskan nasib rakyat daripada
agenda pragmatis pemilu yang masih jauh. Kemelut
relasi negara-masyarakat Situasi hari ini tak
sesederhana kelihatannya. Benturan sosial yang keras sebelum dan setelah Pemilu
2019 masih menyisakan turbulensi berkelanjutan yang, bagaimanapun, berpotensi
sebagai bom waktu di masa depan. Radikalisme, terorisme,
dan separatisme merupakan ancaman kasatmata yang dihadapi bangsa dan negara.
Konsolidasi di tengah masyarakat dan di tataran elite belum tuntas dalam
merespons tiga ancaman tersebut. Otonomi khusus untuk Papua
masih mendapat perlawanan keras. Saat yang sama, isu “radikalisme” mengalami
politisasi kebablasan, terutama oleh sebagian oposisi politik. Hal itu dapat
melemahkan kerja deradikalisasi yang sudah berjalan. Sebagian oposisi menilai
radikalisme adalah terminologi bentukan rezim untuk membungkam lawan politik.
Pandangan macam itu tentu masalah serius, bahkan lebih berbahaya daripada
radikalisme itu sendiri. Narasi ketidakadilan yang
diusung kelompok populis kanan, terutama setelah Arab Spring sukses di Timur
Tengah pasca-gebrakan besar di Tunisia tahun 2010, terus meningkatkan
ketegangan konfliktual dalam relasi negara-masyarakat. Ini persoalan yang
melampaui urusan pemilu. Ironisnya, sebagian elite politik memperlakukan isu
macam ini sebagai amunisi elektoral. Para sarjana terus
berdebat soal apakah konsolidasi demokrasi sejak 1998 sudah berhasil atau
berjalan di tempat. Kapan kita bisa keluar dari fase transisi politik?
Perdebatan epistemologis macam ini memiliki implikasi praktis yang mendalam.
Ujungnya kita akan berbicara soal keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan beragam lembaga tambahan (auxiliary bodies) yang dibentuk untuk
mendorong percepatan konsolidasi demokrasi di negara post-otoritarian. Dalam sebuah diskusi
publik, saya katakan sebagai respons terhadap seorang aktivis sosial,
konsolidasi demokrasi belum tuntas. Indikator utamanya adalah keberfungsian
pranata dasar demokrasi yang kita kenal sebagai “trias politika”. KPK
hakikatnya lembaga ad hoc, sementara. Dia bisa dibubarkan ketika yudikatif
dinilai sudah kuat untuk menjalankan fungsi penegakan hukum. Faktum korupsi politik
yang masih menggurita tentu membawa kita jauh dari lilin di ujung terowong
yang gelap. Implikasinya, keberadaan KPK masih dibutuhkan, butuh terus
didukung, dan diperkuat. Apakah Tes Wawasan
Kebangsaan (TWK) merupakan ancaman? Dalam konteks partikular, kompleksitas
sosial tak bisa diatasi dengan sudut pandang tunggal. Ada persoalan
radikalisme yang mengancam ketahanan ideologi Pancasila di satu sisi—dan
telah lama menjalar di banyak institusi negara, dan ada kebutuhan penciptaan
pemerintahan yang bersih di lain sisi. Keduanya fundamental dan sedapat
mungkin diatasi secara bersamaan. Dalam lensa ini, TWK perlu
dilihat secara optimistis sebagai upaya memperkuat keberadaan dan peran KPK,
terutama dalam hal menjaga komitmen moral orang-orang di dalamnya untuk
berkiblat pada ideologi negara, bukan pada ideologi lain—meskipun sepintas
tujuannya kelihatan serupa! Tujuan sama tak membenarkan perbedaan pendekatan.
Perjuangan melawan korupsi harus diletakkan dalam kerangka ideologi negara,
bukan pada ideologi lain. Meski demikian, keresahan
tentang pelemahan KPK, setelah adanya peralihan status pegawai independen
menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), perlu menjadi refleksi seluruh elemen,
terutama masyarakat sipil dalam peran pengawasan terhadap kekuasaan. Rekomendasi Rumitnya hubungan
negara-masyarakat hari ini mencerminkan ketaksebangunan (incongruence) dalam
sejumlah aspek. Pertama, ada pertentangan antara paradigma negara dan para
masyarakat terhadap sejumlah isu strategis seperti TWK. Dalam situasi macam
ini, sulit adanya harmoni pandangan. Maka, sebaiknya isu TWK
dikesampingkan dan kita kembali pada aturan hukum yang sudah baku sambil
menanti pembuktian KPK dalam hal penguatan kinerja. Protes masyarakat perlu
diterima sebagai refleksi sepanjang itu baik untuk kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara. Kedua, kesan adanya relasi
konfliktual antara negara dan masyarakat menguat sejalan dengan penegakan
hukum yang berjalan dengan tegas terhadap kelompok oposisi politik, terutama
oposisi jalanan terseret kasus ujaran kebencian, tindak pidana kekerasan, dan
propaganda radikal. Meski negara benar, strategi keseimbangan tetap
dibutuhkan untuk mencegah ketegangan menjadi bom waktu di masa depan. Ketiga, ketegangan
relasional negara-masyarakat tentu tak terpisahkan dari agenda Pemilu 2024.
Isu ketidakadilan, perlawanan terhadap pemerintah, dan beragam propaganda di
ruang publik perlu dievaluasi kritis untuk membedakan permainan politik dari
suara murni rakyat. Keempat, perlu pembenahan
komunikasi pemerintah, terutama dalam merespons serangan oposisi di media
massa. Skenario penggalangan sering kali lebih efektif dibandingkan strategi
ofensif. Kritik keras perlu direspons dengan cara yang berbeda dengan tetap
menjaga keseimbangan frekuensi supaya wibawa negara tidak diremehkan. Berikut, promosi prestasi
pemerintah dan kerja keras aparat negara adalah upaya alternatif untuk
menekan perlawanan oposisi politik tanpa masuk ke arena konflik yang sengaja
diciptakan. Ada banyak contoh untuk ini. Pembangunan masif di Papua adalah
bentuk kontribusi konkret pemerintah melawan propaganda kaum separatis. Terowongan penghubung
Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta adalah upaya membangun monumen
toleransi. Pendekatan positif macam ini perlu ditingkatkan, bukan untuk
menang atas oposisi, melainkan untuk membawa relasi negara-masyarakat pada
titik keseimbangan yang harmonis. Selain itu, terutama, untuk merawat
persepsi kolektif tentang keindonesiaan kita yang demokratik, toleran, dan
cinta damai. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar