Mengapa
Investor Migas Hengkang Junaidi Albab Setiawan ; Advokat, Doktor ilmu hukum UGM, Direktur
Pusat Studi Hukum Energi (PUSHENERGY) |
KOMPAS, 26 Juni 2021
Pemerintah menargetkan produksi
1 juta barrel per hari (bph) minyak dan 12 miliar kaki kubik per hari (bscfd)
gas pada 2030. Tekad itu menegaskan kenyataan bahwa migas masih jadi sumber
utama penerimaan negara dan penggerak utama pembangunan. Tanpa upaya luar biasa
dalam menarik investasi, sulit mencapai target yang ditetapkan. Kenyataanya,
lifting terus mengalami penurunan, dan kesenjangan produksi dan konsumsi
migas semakin melebar. Migas adalah komoditas
global, yang menjadi ukuran dalam bisnis ini adalah mekanisme pasar global
yang dilengkapi dengan best practice yang telah berlaku umum. Sekalipun
bisnis migas adalah bisnis antara negara yang diwakili pemerintah dengan
perusahaan, namun jika pemerintah menjalankanya dengan cara lebih
mengedepankan kekuasaan dengan aturan kaku, berbelit serta menutup mata
terhadap dinamika pasar dalam merespons alam, maka Indonesia akan dihukum
pasar dengan hengkangnya investor. Daya tarik utama bisnis
migas adalah potensi keuntungan besar dalam iklim usaha yang fair. Namun
dibalik potensi keuntungan besar itu terdapat resiko usaha yang besar pula,
karena bisnis hulu migas butuh waktu lama, berbiaya mahal dana diliputi
ketidakpastian hasil. Maka Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (K3S) tak cukup berbekal keahlian dan data-data sumur, seismik dan
komersial, lebih dari itu juga harus mampu membaca fenomena perubahan zaman
baik dalam lingkup global maupun nasional di mana investasi dilakukan. Hengkangnya kontraktor
migas meninggalkan komitmen-komitmen bisnis yang telah dibuat dengan
pemerintah (Kompas, 2/6/2021), sesungguhnya fenomena bisnis biasa, di mana
secara keekonomian investasi itu dipandang tak menarik lagi. Salah satunya
diakibatkan usia sumur eksisting yang sudah tua (mature), sehingga mengalami
penurunan produksi alamiah sangat tajam. Menurut Menteri ESDM,
tanpa temuan baru, Indonesia tinggal memiliki cadangan terbukti (proven)
minyak bumi sebanyak 2,44 miliar barel untuk 9,5 tahun dan cadangan gas 43,6
triliun untuk 19,9 tahun. Ditambah saat ini hampir
seluruh pelaku bisnis migas mengalami kerugian yang cukup besar akibat
pandemi Covid-19. Wabah yang belum diketahui kapan akan berakhir ini telah
mengakibatkan rendahnya permintaan migas dunia. Pandemi menyebabkan hampir
semua sektor usaha mengalami kemunduran karena daya beli rendah, yang berakibat
pertumbuhan ekonomi juga melambat. Upaya pencegahan wabah dengan membatasi
pergerakan orang mengakibatkan berkurangnya aktivitas industri. Mobilitas
industri yang sangat berkurang menyebabkan kebutuhan akan migas juga menurun
drastis. Momentum perlambatan
ekonomi ini rupanya digunakan oleh kontraktor untuk mengevaluasi diri sembari
secara selektif memilih keputusan bisnis yang tepat dalam menghadapi
tantangan zaman. Maka, hengkangnya para kontraktor migas dari Indonesia
adalah keputusan bisnis yang pasti sudah dipertimbangkan secara masak. Selain pertimbangan
ekonomi dan pandemi, kontraktor juga mempertimbangan faktor tren energi ramah
lingkungan (clean energy) yang melanda dunia dan faktor cadangan migas laut
dalam. Faktor
"clean energy" Secara global telah
disadari bahwa energi fosil adalah penyumbang utama gas rumah kaca penyebab
perubahan iklim akibat meningkatnya pemanasan global yang mengganggu
keseimbangan ekosistem maupun kehidupan manusia dan pada gilirannya
mengakibatkan berbagai bencana alam. Untuk mengatasi itu,
negara-negara bersepakat melalui Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang
ditandatangani 175 negara 22 April 2016, mulai meninggalkan energi fosil.
Untuk tujuan itu pula Indonesia berkomitmen dan sedang merumuskan kebijakan
dan kerangka hukum untuk menyiapkan transisi ke pemanfaatan energi ramah
lingkungan. Pandangan Indonesia
tercermin dalam acara Global Commission on People-Centred Clean Energy
Transitions yang diselenggarakan oleh International Energy Agency (IEA). Pemerintah
berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca yang tertuang dalam Nationally
Determined Contribution (NDC), guna mendukung pencapaian net zero emission. Mengingat transisi energi
merupakan inti pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dalam
Rencana Energi Nasional, porsi energi baru terbarukan ditargetkan mencapai 23
persen pada 2025 dan 32 persen pada 2050. Tekanan global untuk
mengupayakan clean energy secara drastis juga mulai direspons oleh para
pelaku utama industri migas dunia dengan tindakan nyata. Raksasa industri migas
Eropa secara serius mulai mengubah visi dan misinya sebagai perusahaan migas
menjadi perusahaan energi untuk mengakomodasi diversifikasi dan transformasi
ke arah energi ramah lingkungan. Sementara, beberapa raksasa
industri migas AS mulai selektif dalam menjalankan bisnis migas. Kebijakan
Presiden Trump yang tak peduli kepada pemanasan global dan berusaha menarik
diri dari Kesepakatan Paris, dirombak oleh Presiden Biden dengan perintah
eksekutif berupa tekad AS untuk lebih serius melakukan pengurangan emisi
global hingga angka nol. Kebijakan itu direspons
oleh perusahaan-perusahaan migas dengan menyeleksi ladang-ladang migas dengan
prospek yang kurang ekonomis, margin kecil dengan tingkat pengembalian yang
rendah, mulai ditinggalkan sembari menyiapkan diri bertransformasi menuju
clean energy. Faktor
laut dalam Harus dipahami bahwa saat
ini mencari migas semakin sulit karena potensi sumber migas yang tersisa
berlokasi di laut dalam. Akibatnya untuk memperoleh cadangan migas saat ini
dibutuhkan modal yang besar, sehingga tidak banyak perusahaan-perusahaan yang
berani mengambil risiko itu. Pengalaman saat dimulainya
eksplorasi migas laut dalam di tahun 2013, banyak kontraktor migas asing yang
rugi besar akibat gagal mendapatkan cadangan migas yang ekonomis. Ditambah kemudian proyek
Indonesia Deepwater Development (IDD-II) yang dikembangkan Chevron melalui
empat Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) yaitu PSC Ganal,
Rapak, Makassar Strait dan Muara Bakau, sempat terkatung-katung bahkan
ditinggalkan inisiatornya akibat sulitnya menemukan mitra yang berani ambil
risiko. Kesemuanya adalah
pelajaran berharga yang menunjukkan betapa sulit dan mahalnya memperoleh
migas laut dalam. Situasi itu membuat berkurangnya
minat investasi dan investor lebih memilih berpikir ulang sehingga berakibat
Indonesia akan semakin sulit memperoleh investor yang berkemampuan. Situasi
itu ditambah dengan persaingan antar negara yang berlomba-lomba menyuguhkan
tawaran investasi yang lebih atraktif untuk menarik investor. Perlu diingat bahwa
hubungan antara pemerintah dengan kontraktor adalah hubungan bisnis yang
tujuan utamanya untuk saling menguntungkan. Untuk membuat agar iklim
investasi migas terus menarik bagi investor, maka sebaiknya pemerintah
bersikap adaptif lebih luwes menyesuaikan diri dengan fenomena alam dan
dinamika pasar global dalam mengupayakan kebutuhan energi. Pemerintah juga
harus fleksibel dalam merumuskan aturan-aturan yang pasti, namun juga
menghargai posisi masing-masing yang saling membutuhkan. Dan terakhir adalah sikap
akomodatif antara pemerintah dan investor terus saling memberikan masukan dan
melakukan evaluasi dan koreksi “tambah kurang” saling melengkapi demi
terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan, jika perlu memberikan
insentif kemudahan usaha. Di atas semuanya itu
seluruh kebijakan harus dilengkapi dengan kesadaran akan terbatasnya modal
dan kerasnya persaingan bisnis migas, sementara potensi migas Indonesia terus
menipis dan terletak di area yang semakin sulit. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar