Mendidik
untuk Menuai Generasi Unggul Masa Depan Anggi Afriansyah ; Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat
Penelitian Kependudukan LIPI |
KOMPAS, 25 Juni 2021
Merujuk pada hasil Sensus
Penduduk 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dari 270,20 juta jiwa
penduduk Indonesia, komposisi penduduk usia produktif (15-64 tahun) sebesar
70,72 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih dalam masa
bonus demografi. Dari segi kategori
generasi, BPS kemudian membagi komposisi ke dalam komposisi pre-boomer (1,87
persen), baby boomer (11,56 persen), gen X (21,88 persen), milenial (25,87
persen), gen Z (27,94 persen), dan post-gen Z (10,88 persen). Dari hasil
Sensus Penduduk 2020 juga diketahui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia
masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (56,10 persen). Sementara itu, untuk
rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia 15 tahun ke atas tahun 2020
mencapai 8,90 tahun atau setara kelas III SMP/sederajat. Jika ditelisik lebih
mendalam, berdasarkan data BPS tersebut, dari segi karakteristik kelompok
masyarakat dengan capaian RLS yang rendah terdiri dari penduduk perempuan,
penduduk yang tinggal di perdesaan, atau penduduk penyandang disabilitas. Data BPS (2020) tersebut
juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih didominasi
oleh pendidikan menengah. Tampak dari 100 penduduk usia 15 tahun ke atas, 29
orang telah menamatkan sekolah menengah/sederajat dan hanya 9 orang yang
menamatkan perguruan tinggi (PT). Tentu saja peningkatan
capaian pendidikan menjadi prioritas penting yang harus digenapi. Data
tersebut menjadi penanda negeri ini masih berhadapan dengan problem mendasar
terkait akses yang memadai bagi semua anak bangsa. Dalam Population,
Education and Development The Concise Report yang dirilis Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2003 dipaparkan berbagai informasi mengenai tren
populasi, pendidikan, dan pembangunan. Pendidikan, sebut laporan tersebut,
memerankan kunci dalam pembangunan nasional dan menjadi komponen utama dari
kesejahteraan individu. Lebih lanjut dipaparkan
bahwa melalui pendidikan, individu memiliki pilihan dan keputusan untuk
memilih pekerjaan, tempat tinggal, keluarga, kesehatan dan gaya hidup, serta
pengembangan diri. Pilihan dan keputusan individu ini kemudian memiliki
konsekuensi besar bagi populasi. Laporan tersebut sudah
berusia 18 tahun, tetapi masih relevan dengan kondisi saat ini meski tentu
saja terdapat ragam tantangan baru yang lebih aktual dibandingkan dengan
beberapa belas tahun lalu. Misalnya saja yang paling tampak adalah adanya
disrupsi akibat teknologi ataupun pandemi. Tantangan ini tentu saja perlu
diperhatikan oleh setiap negara karena jika salah menangani, efek jangka
panjang siap menghadang. Laporan Global Education
Monitoring Report (2020) bertajuk Inclusion and Education: All Means All
menyebutkan, kesetaraan dan inklusi telah menjadi inti agenda 2030. Meski
demikian, merujuk pada laporan tersebut, hingga kini distribusi sumber daya
dan peluang yang tidak merata masih menjadi persoalan utama. Ketidaksetaraan distribusi
sangat terkait erat dengan aspek jender, daerah terpencil, ketimpangan
kekayaan, disabilitas, etnisitas, bahasa, migrasi, pengungsi, penahanan,
orientasi seksual, identitas dan ekspresi jender, agama, kepercayaan, dan
lainnya. Di sisi lain, konteks reproduksi sosial melalui kapital orangtua
dalam memberikan sumber daya, pendapatan, keterampilan, dan jaringan kepada
anak-anak juga sangat berpengaruh. Pasi Sahlberg dalam
pengantar buku Teach Like Finland (2017) karya Timothy D Walkerz memaparkan
bahwa mayoritas siswa Finlandia belajar dalam kelas yang secara sosial campur
tanpa melihat atau memisah-misahkan kemampuan atau status sosial ekonomi
mereka. Menurut dia, dalam empat dekade terakhir semangat inklusivitas ini
telah membentuk pola pikir para guru dan orangtua untuk percaya bahwa setiap
orang dapat belajar apa pun yang diinginkan selama ada dukungan yang layak
dan cukup. Semangat inklusivitas
memang sangat krusial dibangun melalui proses pendidikan. Apa yang disebut
oleh Sahlberg tersebut menjadi salah satu contoh mengenai urgensi membangun
inklusivitas di ruang pendidikan. Meski memang tantangan di Indonesia lebih
berat karena Finlandia tidak seluas dan seberagam Indonesia. Mendorong
mimpi Dalam konteks Indonesia,
pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong mimpi anak
Indonesia meraih pendidikan yang berkualitas. Di level pendidikan tinggi,
sebagai salah satu contoh adalah adanya Beasiswa Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP) yang berfokus pada pengembangan kualitas sumber daya
manusia di berbagai bidang yang menunjang percepatan pembangunan Indonesia. Dalam konsep Barat dikenal
meritokrasi yang menyuguhkan janji, barang siapa yang bekerja keras maka
mereka akan meraih kesuksesan di masa depan. Namun, sayangnya meritokrasi
hanya menjadi sejenis mitos. Gorski (2018) dalam
bukunya, Reaching and Teaching Students in Poverty: Strategies for Erasing
the Opportunity Gap, mengutip beberapa studi yang menunjukkan kegagalan siswa
miskin karena kebijakan pendidikan yang tidak berpihak pada kelompok miskin.
Anak-anak keluarga miskin kemudian tetap miskin karena kebijakan pendidikan
yang bias kelompok elite. Menurut Gorski (2018),
media sering kali terjebak dalam menceritakan kisah-kisah sukses anak-anak
kelompok miskin di bidang akademik. Padahal, menurut dia, jika dibandingkan
secara statistik jumlah anak-anak miskin yang meraih sukses tidaklah banyak.
Dalam konteks Indonesia, studi SMERU (2019) menunjukkan, anak yang lahir dari
keluarga miskin cenderung berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa. Paparan dari berbagai
referensi tersebut perlu diperhatikan dalam perencanaan pendidikan di negeri
ini. Tanda di mana akses pendidikan bagi semua masih belum genap dipenuhi.
Problem akses, kesetaraan, juga model pendidikan yang responsif secara sosial
kultural ataupun konteks generasi semakin urgen untuk diperhatikan. Pola baru pendidikan bagi
generasi gen Z ataupun post-gen Z, misalnya, perlu mengedepankan penguatan
teknologi metode baru. Perluasan akses teknologi bagi semua kalangan perlu
diakselerasi dan merupakan keniscayaan. Hal penting lain yang perlu
diperhatikan adalah upaya menjadikan ruang pendidikan untuk membangun
masyarakat demokratis yang terbuka dan komunikatif (Tilaar, 2009). Berbagai daya upaya perlu
dilakukan agar dapat menuai generasi unggul dan berdaya saing di masa depan.
Dan, itu semua dapat dimulai dari dunia pendidikan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar