Memosisikan
Pancasila M Nurul Fajri ; Pengajar Hukum Tata Negara, Alumni
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Erasmus Scholarship pada
Radboud University, Belanda |
KOMPAS, 18 Juni 2021
Apabila ditarik secara
historis, menurut para pendiri negara dan perdebatan akademik setelah itu,
Pancasila dipahami sebagai sumber nilai dan haluan yang disatukan dalam satu
dokumen hukum, yaitu UUD 1945. Meskipun para pendiri negara Indonesia telah
menyepakati bahwa Pancasila, pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh dan
penjelasan UUD 1945 dalam periode yang terpisah, tetapi pada saat UUD 1945
ditetapkan sebagai konstitusi Indonesia pada 18 Agustus 1945, keseluruhannya
dipandang dan dinyatakan sebagai satu kesatuan dokumen konstitusi. Pancasila diletakkan pada
alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 yang mana bagian pembukaan tersebut berisikan
nilai dasar sekaligus cita-cita didirikannya negara Indonesia. Hingga 1999,
ketika dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 sampai tahun 2002, para pengubah
konstitusi juga bersepakat untuk tidak mengubah bagian dari pembukaan UUD
1945. Antara
hukum dan doktrin Sebagai negara hukum yang
sangat terpengaruh tradisi civil law, ajaran legisme dalam penyelenggaraan
negara sangatlah kental dalam tradisi hukum Indonesia. Segala tindakan organ
negara, khususnya pemerintah, harus berdasarkan atas hukum. Praktik ini terus
ditata lewat jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang puncaknya
ada pada UUD 1945. Artinya juga berdasarkan
kepada Pancasila, karena Pancasila secara normatif ditemukan pada pembukaan
UUD 1945. Selain itu, Pasal 2 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyatakan secara eksplisit bahwa Pancasila merupakan
sumber segala sumber hukum negara. Sekalipun Pancasila telah
menyatu dalam konstitusi, sayangnya ada yang memaknai Pancasila sebagai
entitas yang terpisah dengan konstitusi itu sendiri. Pembuktian akan hal itu
tidak sulit untuk ditemukan. Karena dari waktu ke waktu, perdebatan akan
finalitas Pancasila terus ada. Sudut pandang yang
memisahkan entitas Pancasila sebagai bagian dari konstitusi dan sebagai
konsepsi sejatinya amat berbahaya. Bahkan patut diduga menjadi dasar atau
pintu masuk bagi kendali politik atas implementasi Pancasila. Diarahkan ke
zona abu-abu. Lima sila yang klausulnya sangat umum, tetapi kaya nilai.
Memungkinkan berbagai macam tafsir atas Pancasila lahir. Sebuah keadaan
rentan terhadap tafsir atas Pancasila dibuat atau dikendalikan berdasarkan
relasi kuasa atau dominasi mayoritas. Apalagi lima nilai yang
terkandung dalam kelima sila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi,
dan keadilan) bersifat sangat umum sehingga ada jarak yang sangat luas antara
bagaimana menurunkan nilai kelima sila tersebut ke dalam praktik. Sementara
itu, untuk menjelaskan dan menemukan titik pandangan yang sama terhadap
nilai-nilai dari kelima sila tersebut masih dimungkinkan terjadi perdebatan
yang sangat luas dan panjang. Institusionalisasi nilai
Pancasila ke dalam pembentukan hukum juga tidak menjamin sebagai instrumen
menciptakan sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi sampai
harus bertanya, ”Apakah benar Pancasila terkandung di dalam seluruh peraturan
perundang-undangan di Indonesia?” Jarak yang sangat luas
antara nilai dan praktik tersebutlah menghadirkan masalah terhadap penerapan
Pancasila. Konsepsi nilai Pancasila yang masih abstrak membuka kesempatan
penafsiran yang sangat bergantung pada situasi politik. Tidak mengherankan
jika dalam sejarahnya, Pancasila kerap dijadikan alat kekuasaan untuk
menyerang lawan politiknya dengan merepresi dan labelisasi. Apabila ditarik mundur,
baik kelahiran maupun perdebatan akademik, lima konsep atau nilai dasar
Pancasila tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan
adalah konsepsi yang sangat terbuka dan mengandung semangat universalisme.
Dalam sejarahnya pun, para pendiri negara yang berdebat merumuskan Pancasila
memang bermaksud memberikan satu konsep yang dapat memayungi semua perbedaan
yang ada di Indonesia. Sekalipun pada waktu itu
para pendiri negara menekankan nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang
bukan versi Barat, melainkan keluasan makna dalam kelima sila Pancasila,
membuat berbagai macam nilai sejatinya dapat dipromosikan dengan Pancasila
sebagai dasar dan acuannya. Apalagi sejak awal, konstitusi Indonesia tidak
mengenal pembedaan apa pun terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan. Karena proses persiapan
kemerdekaan yang amat singkat, bisa dimaknai bahwa konstitusi yang
dibentuk—dalam arti juga Pancasila—memang dipersiapkan untuk menghindari
perdebatan yang terlalu lama. Karena itu, dipilihlah diksi atau klausul yang
dapat menjadi jalan tengah. Aktualisasi Seyogianya, solusi atas
bagaimana penerapan Pancasila itu terletak pada bagaimana negara dalam
melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan, terutama menyangkut pemenuhan dan
penghormatan terhadap hak-hak warga negara. Aspek ini tentu akan sangat
tecermin lewat arah kebijakan politik, khususnya lewat undang-undang yang
dibentuk. Sayangnya, hal itu selama
ini masalah itu hanya dipandang sebagai proses teknis legislasi. Barulah
beberapa waktu terakhir, persoalan pembentukan undang-undang menjadi sorotan
serius setelah beberapa paket pembentukan undang-undang dinilai telah
menabrak aturan hukum bahkan prinsip-prinsip dasar dalam demokrasi. Dalam pembentukannya
sangat sulit mengatakan bahwa undang-undang yang dihasilkan memiliki
legitimasi akademik yang mumpuni dan legitimasi aspirasional yang kuat
apabila disandingkan dengan sifat erga omnes undang-undang. Karena terjadi
simplifikasi dalam metode perumusan naskah akademik dan pembahasan pasal demi
pasal, yang berkaitan dengan ruang atau kesempatan dalam partisipasi
masyarakat. Sebab, diskusi kelompok
terfokus (FGD), seminar, diskusi publik, lokakarya, dan lainnya sejatinya
tidak cukup mumpuni memberikan gambaran akan kebutuhan hukum masyarakat dalam
sebuah negara dengan lebih dari 200 juta penduduknya. Bagaimana mungkin
kegiatan sebagaimana tersebut mampu menjawab legitimasi keterwakilan
kebutuhan hukum dan kecocokan dengan undang-undang yang bersifat erga omnes?
Khususnya menyangkut hak atau kewajiban sebagai warga negara. Untuk itu, sulit
menjelaskan bagaimana dan di mana nasib aspirasi masyarakat dalam sebuah
proses pembentukan undang-undang yang telah dilakukan. Meskipun ini dapat
dikategorikan sebagai kritik atas metodologi dalam pembentukan undang-undang,
tetapi hal tersebut merupakan wujud untuk memastikan jaminan hak
konstitusional warga negara. Baik terlibat dalam pemerintahan atau bisa masuk
ke dalam klasifikasi hak prosedural dalam pembentukan undang-undang. Dengan kata lain, dalam
konteks negara hukum, implementasi Pancasila dalam pembentukan hukum sebagai
penjabaran lebih lanjut dari Pancasila nyatanya sangat tergantung pada
dinamika politik kekuasaan. Bukan terhadap dinamika aspirasional masyarakat
itu sendiri sebagai wujud dari nilai-nilai yang hidup. Secara nilai dan konsep,
Pancasila sangat relevan dan terbuka dengan segala zaman, termasuk
mempromosikan nilai-nilai yang mungkin selama ini dianggap tabu. Namun, untuk
menjawab kebutuhan tersebut menuntut adanya pergeseran paradigma. Pancasila
hanyalah sebatas terminologi tentang haluan negara, tetapi secara konsep ia
telah menyatu dengan konstitusi sehingga yang mesti diperkuat adalah
konstitusionalisme. Tidak lagi menempatkan Pancasila seolah-olah entitas yang
berbeda dengan UUD 1945. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar