Melecut
Kibar Vaksin Merah Putih Djoko Santoso ; Guru Besar Kedokteran Unair,
Ketua Badan Kesehatan MUI Jatim |
KOMPAS, 03 Juni 2021
Riset menuju vaksin
nasional, yakni vaksin Merah Putih, terus mengalami kemajuan. Agar nanti
mulus dalam pengakuan internasional, upaya membangun vaksin Merah Putih ini
perlu segera dimasukkan ke dalam laman WHO. Saat ini calon vaksin kita belum
termasuk 284 calon vaksin di sana. Isu kemandirian vaksin mencuat
seiring tragedi India. Gelombang kedua Covid-19 yang melanda India tak hanya
melumpuhkan sistem kesehatan di sana, tapi juga membuat banyak negara lain
ketakutan. Tragedi India ini langsung menebarkan dua ancaman, yaitu
mengekspor varian mutan ganas ke banyak negara lewat perjalanan warga
negaranya; dan tak kalah penting, membatalkan rencana ekspor vaksin ke
negara-negara yang membutuhkannya. Sebelumnya, India
berkomitmen akan mengekspor vaksin produksinya ke negara-negara yang
membutuhkan, terutama yang belum mampu memproduksi vaksin. Namun, setelah
kejadian ritual Kumbh Mela (The Great Pitcher) di Sungai Gangga yang
mengakibatkan gelombang infeksi baru, sempat lebih dari 400.000 kasus per
hari dengan kematian lebih dari 4.000 orang per hari, Pemerintah India
langsung membatalkan rencana ekspor vaksin. Akibatnya, banyak negara yang
belum mampu memproduksi, atau masih dalam proses riset dan pengembangan, jadi
kelabakan. Indonesia termasuk
beruntung karena sudah menjalin kontrak impor dengan enam produsen vaksin
luar negeri, seperti Sinovac, Moderna, AstraZeneca, Pfizer, Sinopharm, dan
Novavax, seperti tertuang dalam Keputusan Menkes 28 Desember 2020. Namun,
semua negara di dunia antre untuk mendapatkan vaksin sehingga kapasitas
produksi semua produsen itu belum bisa untuk memenuhi kebutuhan global,
apalagi dengan kejadian tragedi India. Perkembangan
calon vaksin Syukurlah, Indonesia
termasuk dalam salah satu negara yang ikut dalam perlombaan riset
pengembangan vaksin Covid-19. Indonesia tak terlalu terlambat karena sejak
Maret 2020 atau tiga bulan setelah Pemerintah China mengumumkan munculnya
virus SARS-CoV-2 di Wuhan, Kemenristek sudah menyiapkan konsorsium riset
vaksin nasional yang beranggotakan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, LIPI,
Unair, UI, ITB, UGM, dan Universitas Udayana. April atau sebulan setelah
dibentuk konsorsium, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI dan Eijkman langsung
start meriset dengan target membuat vaksin. Sama-sama menggunakan metode
protein rekombinan. Pada riset Eijkman, gen yang meng-kode kapsul protein
dari sekuens RNA virus SARS-CoV-2 diambil dan disisipkan ke dalam vektor atau
pembawa gen yang disebut plasmid, kemudian dimasukkan ke dalam sel bakteri.
Dengan cara ini, vaksin bisa melatih antibodi untuk mengenali virus yang
hendak menginfeksi sel. Riset LIPI menggunakan gen
yang meng-kode protein spike secara utuh, mengambil berbagai bagian dari
spike, termasuk receptor-binding-domain (RBD). Tujuannya, menciptakan variasi
antibodi penetral yang mampu melumpuhkan virus. Jika bisa mengikat RBD,
bagian-bagian RBD dan sekitarnya, virus tak akan mampu lagi menginfeksi sel.
Ini untuk menjawab ancaman bahwa vaksin kurang ampuh melawan varian mutasi
virus terbaru. Unair dan ITB menggunakan
metode berbeda, yaitu dengan memodifikasi adenovirus sehingga tak bisa
memperbanyak diri dan tak berbahaya di tubuh manusia. Adenovirus hasil
modifikasi ini digunakan sebagai vektor atau pembawa gen yang meng-kode
protein spike pada SARS CoV-2. Ketika vaksin adenovirus dimasukkan ke tubuh,
ia akan memasukkan gen itu ke dalam sel. Kemudian, sel tubuh kita sendirilah
yang akan memproduksi antigen virus korona sehingga akan memicu respons
sistem pertahanan tubuh. Jika virus korona masuk ke tubuh, sistem pertahanan
kita sudah terlatih untuk melawannya. Riset di Unair menggunakan
gen yang diisolasi dari virus yang menginfeksi pasien Indonesia. Artinya,
isolat virusnya berasal dari pasien lokal, bukan impor. Unair juga mendesain
vaksin dari gen varian mutasi dan subunit. Jadi, ada tiga desain vaksin: desain
protein utuh, protein mutannya, dan bagian dari protein. Dengan demikian,
nanti bisa dibandingkan antara galur asli, mutan, dan subunitnya. Saat ini
telah memasuki tahap kloning gen, ditargetkan konstruksi gen siap dimasukkan
ke dalam vektor adenovirus pada akhir September, dan uji praklinis pada hewan
ditargetkan November. Riset Unud mengembangkan
prototipe m-RNA, gen yang membawa instruksi ke dalam sel yang memproduksi
protein. Metode ini berpotensi untuk mengembangkan vaksin secara lebih cepat
dengan kemurnian tinggi. Untuk uji praklinis, Unud bekerja sama dengan Unair
yang memiliki fasilitas lab BSL3 (Bio Safety Level-3). Sementara UI menggunakan
platform DNA, yang hampir sama dengan metode m-RNA dalam memunculkan respons
imun. Bedanya, vaksin DNA harus dimasukkan sampai ke dalam inti sel, menembus
dinding sel. Saat sel kita sedang membelah, DNA bisa masuk ke dalam inti sel.
Namun, problemnya sebagian besar sel kita tak sedang membelah sehingga
dinding inti sel masih utuh. Untuk bisa menembus dinding inti sel dan
memasukkan DNA ke inti sel, inilah tantangan terbesarnya. Vaksin DNA yang
dikembangkan UI dikabarkan sudah memasuki tahap praklinis. Semangat
dalam keterbatasan Riset pengembangan vaksin
adalah pekerjaan rumit, tetapi proses produksi massalnya juga tak kalah
kompleks. Mulai dari penyediaan bahan vaksin, proses produksinya, pembotolan,
pengemasan, pelabelan, dan distribusinya yang perlu tempat khusus,
administrasi pencacatannya, semuanya harus dijaga dan dijamin bisa
berlangsung dalam kondisi yang aman. Diperlukan tak kurang dari 200 item
jenis barang dan pekerjaan hingga vaksin siap disuntikkan. Karena itulah, tahapan
produksi massal ini diserahkan ke lembaga yang punya fasilitas produksi
hingga distribusi, SDM, legalitas, dan pengalaman. Dalam hal ini, Bio Farma,
BUMN yang sudah lama dikenal sebagai produsen vaksin kelas dunia dan diakui
WHO. Namun, dalam perjalanannya ada keterlibatan PT Biotis yang bekerja sama
dengan Unair. Domain LIPI, Eijkman, Unair, UI, ITB, UGM, dan Unud adalah riset
sampai pada tahap uji praklinis. Selanjutnya memasuki tahap uji klinis yang
melibatkan banyak sukarelawan, dikerjakan bersama Bio Farma, yang akan
memproduksi vaksin secara massal. Eijkman dan Bio Farma
sejak akhir Februari 2021 sudah memulai proses transisi vaksin. Dalam masa
transisi ini, ahli dari Eijkman bekerja di Bio Farma, dan ahli Bio Farma
bekerja di Eijkman. Tujuannya, agar proses transisi mulus. Ahli Bio Farma
mempelajari proses pengembangan bibit vaksin di Eijkman, dan ahli Eijkman
memastikan sistem di Bio Farma siap untuk melanjutkan proses produksi massal
atau hilirisasinya, agar tidak berangkat dari nol. Menurut target awal, ada
bibit vaksin tahap pertama seharusnya sudah jadi sekarang. Menurut berita, vaksin
Merah Putih baru bisa digunakan awal 2022. Memang termasuk lambat
dibandingkan vaksin lain yang sudah digunakan beberapa negara. Namun,
terlambat sedikit tak apa, yang penting mampu memproduksi vaksin nasional
sehingga mengurangi ketergantungan pada impor. Tahun lalu Kemenristek mengumumkan
menyediakan dana Rp 300 miliar untuk menunjang program riset vaksin Merah
Putih ini. Hanya Rp 300 miliar, jelas tak mencukupi. Belum lama Menkeu
menyatakan menyediakan Rp 73,3 triliun untuk memenuhi target impor 663,6 juta
dosis vaksin di 2021. Tentu dengan catatan harga tidak naik karena negara-
negara kaya mulai memborong vaksin sejak tragedi gelombang kedua di India. Membandingkan dana riset
vaksin Merah Putih yang hanya Rp 300 miliar dengan dana impor vaksin Rp 73,3
triliun jelas tak berimbang. Bagaikan setitik susu di tengah kubangan nila
sebelanga. Meski begitu, semangat membuat vaksin Merah Putih terus menyala,
demi membuat vaksin nasional dan berkontribusi dalam solusi pandemi global. Tak
masuk daftar WHO Ada soal lain, yaitu
transparansi pengembangan vaksin Merah Putih di panggung global. Di laman WHO
(who.int), di kanal Health Topics, ada Overview: The Covid-19 candidate
vaccine landscape and tracker. Di sana disajikan file
matriks excel berisi daftar semua riset pengembangan vaksin SARS-CoV-2 di
seluruh dunia. Di laman itu, semua negara di dunia, baik negara maju maupun
berkembang, mencatatkan riset vaksinnya agar bisa dilihat perkembangannya
secara terbuka kepada semua warga dunia. Tercatat jelas lembaga riset,
metode, atau platform vaksin, hingga penjelasan platformnya. Kemudian, dipisahkan
berdasar mana yang baru sampai tahap praklinis, mana yang sudah uji klinis,
dan mana yang sudah dapat izin penggunaan darurat atau sudah digunakan.
Daftar dimutakhirkan tiap minggu. Dalam publikasi 21 Mei 2021, ada 101 calon
vaksin fase klinis, dan 183 praklinis. Total 284 calon. Lengkap dengan
akronim platform, penjelasan, tipe, dosis, jadwal, dan lembaga riset
pengembangnya. Developer vaksin terkenal ada di sana, seperti Sinovac,
Novavax, Sinopharm, AstraZeneca, Moderna, dan Pfizer. Thailand mencatatkan
setidaknya tiga calon vaksin yang sudah tahap praklinis: calon vaksin
berbasis DNA dengan elektroporasi (kejutan listrik) yang dikembangkan Chula
Vaccine Research Center; calon vaksin berbasis protein subunit yang
dikembangkan oleh perusahaan farmasi pemerintah bersama Universitas
Chulalongkorn; dan calon vaksin berbasis virus like particle yang
dikembangkan Universitas Mahidol bersama perusahaan farmasi pemerintah. Turki mencatatkan enam
calon yang semua menggunakan platform protein subunit, masing-masing
dikembangkan lima lembaga riset perguruan tinggi dan satu perusahaan farmasi
Turki. Mengherankan, di daftar
ini sama sekali tak tercatat ada riset calon vaksin dari Indonesia. Enam
lembaga dan universitas papan atas yang sedang meriset calon vaksin dengan
platform yang berbeda tadi sama sekali tak tercatat di laman WHO ini. Mengapa
ini bisa terjadi? Apakah pemerintah, Kemenkes, atau universitas dan lembaga
ini tak berinisiatif untuk mencatatkan riset vaksinnya masing-masing di WHO?
Buat apa keenam lembaga kita bersusah payah riset mengembangkan vaksin,
tetapi tidak tercatat di WHO? Yang jelas, jika riset
vaksin oleh enam lembaga kita ini tercantum di laman WHO, pasti akan menambah
rasa bangga kita kepada para ilmuwan yang ikut berjuang untuk menghasilkan
vaksin ini. Dan ketika upaya pembuatan vaksin Merah Putih nanti betul betul
gol, tak sulit mendapat pengakuan internasional sehingga vaksin Merah Putih
lebih cepat ”berkibar” tanpa keraguan. Ayo, segera masukkan calon vaksin
Merah Putih ke daftar WHO. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar